Gomenasai Anime Smiley trisillumination: April 2014

Sabtu, 05 April 2014

[SHORT STORY] NAFAS KEHIDUPAN SEORANG MOZART


Pernah mendengar tentang musisi klasik legendaris hebat yang sampai karyanya tak pernah mati dimakan zaman? Ludwig Van Beethoven a.k.a Beethoven dan Wolfgang Amadeus Mozart atau Mozart dua nama orang musisi klasik beda generasi yang selalu saja familiar untuk siapapun yang mendengarnya. Yah, Beethoven dan Mozart dilahirkan dalam generasi berbeda, hingga melahirkan jenis musik yang berbeda yang menyamakan keduanya adalah mereka sangat hebat dalam penciptaan suatu karya klasik baik pada zamannya maupun zaman mendatang. Mozartlah inspirasi Beethoven saat berkarya hingga menghasilkan banyak karya yang luar biasa.

Lalu pernahkah kau membayangkan jika Beethoven dan Mozart ada di generasi yang sama dan kaulah yang menjadi piano kebanggaan mereka? Jika tidak sepertinya kalian wajib mendengar kisahku. Kisah tentang persahabatan seorang Mozart, Piano dan Beethoven.

Pedih mengingat kisah kebanggaanku itu. Tapi itulah nyatanya. Kenanganku bersama mereka.

Alun sebuah simphony
Kata hati disadari
Merasuk sukma kalbuku
Dalam hati hati ada satu

“Rioo” Panggilku terhadap laki-laki yang tengah menikmati perjalanan dikoridor sekolahku.
“Hey my piano” Jawab Rio tersenyum sumringah.
“Ma-Ri-o jangan panggil aku kayak gitu ah, Ga enak didenger Alvin” Bantahku
Rio terkekeh “Kenyataannya piano yang didepanku saat ini memang milik seorang Mozart kan? Sedangkan Beethoven sedang mencari piano lainnya” Goda Rio.
“Rio apaan sih. Tapi tetep aja. Ayo langsung ke Ruang musik” Rajukku terhadap laki-laki ini.
Rio mengangguk lalu menggandeng tanganku dan melangkah ke Ruang musik berbarengan.

Entah apa yang membuatku menamai Rio, Mozart saat pertama kali bersahabat dengannya. Padahal tingkahnya jauh dari Sifat asli Mozart. Mungkin sifatnya yang begitu tenang saat bermain piano dan berpikir saat ada masalah membuatnya lebih mirip Mozart ketimbang Beethoven yangh ekspresif.

^^^

Manis lembut bisikkan mu
Merdu lirih suaramu
Bagai pelita hidupku

Alunan Piano terbaik milik Beethoven saat di duetkan dengan Grieg, Gershwim dan Bach menyambut indah langkahku bersama Rio saat memasuki Ruang musik itu.
“Seperti biasa, dia begitu semangat latihan” Ucap Rio
“Jangan lupa, kamulah yang membuatnya begitu. Kamu yang menyarankannya. Makanya aku bilang kisah kalian seperti Mozart dan Beethoven, dimana kamulah sumber inspirasi Alvin dalam semangat bermusik” Ujarku.
“Bukan begitu Fy” Sanggahnya padaku “Kisah yang sebenarnya karena kemauan Beethoven sangat tinggi dalam berkarya, bukan karena Mozart yang menjadi inspirasinya Sama seperti Alvin dan aku.. Dan...” Ucapan Rio menggantung.
“Apa?” Tanya ku tak sabar.
“Dalam kisah sebenarnya sang Mozart juga tidak merebut piano Beethoven” Ucap Rio sambil tertawa kecil.
Aku memukul lengan Rio pelan. “Tapi kita persahabatan Mozart, Piano dan Beethoven masa depan. Aku sebagai piano diantara kalian dan memilih mozart sebagai pianisku alias kamu sebagai pendamping aku. Sedangkan Alvin seorang Beethoven yang akan mencari piano lainnya” Jelasku
Rio mengacak poniku sambil tersenyum. Sepertinya puas akan penjelasan ku.
“Eheem” sebuah deheman yang berasal dari Alvin membuyarkan keasyikan kami berdua.
“Hey, Beethoven. How are you now?” Sapa Rio pada sahabatnya –Alvin-
“Ga begitu baik, masih jealous ama loe berdua. Mentang-mentang Mozart lebih dulu mengenal Piano daripada Beethoven. Beethoven sepertinya harus mencari piano lain” Ucap Alvin.
Rio terkekeh. “Ga begitulah Vin. Kita udah berjanji kan biar Piano ini sendiri yang memilih pianisnya?” Tanya Rio sambil merangkul Ify –Aku-
Gantian Alvin yang terkekeh. “Fine, santai aja lagi.” Ucap Alvin datar.
“Gimana tentang kepergian besok?” Tanya Ify.
“Jadi dong. Loe gimana Vin?” Tanya Rio
“Tapi serius kan di Villa loe nanti ada grand piano outdoor?” Tanya Alvin.
“Yes. I’m serious. Loe puas nantinya bermain dan menghibur para pekerja kebun teh” Ucap Rio.
Alvin tersenyum sumringah.
“Okey, besok kita berangkat jam 7 pagi biar ga macet. Sekarang latihan.” Ucap Rio pada kami berdua sambil melangkahkan kakinya kesebuah grand piano.
Aku duduk disebelah. Kami sudah terbiasa berduet dalam bermain piano. Sedangkan Alvin sendiri. Kebetulah sekolah kami memiliki 2 grand piano. Hingga terlantunlah sebuah nada klasik saat Beethoven, Mozart, Chopin dan Schubert berduet dalam grande valse brillante. Kami bermain secara sempurna melebihi biasanya seakan itulah konser akhir yang sebenarnyaa..

Yah, mereka lah kedua sahabat ku Mozart dan Beethoven masa depan. Rio dan Alvin, dan salah seorang diantara mereka Rio –sang Mozart- Telah menjadi Pianis hatiku. Akulah piano diantara mereka. Saat mereka bertanya, mengapa aku memilih menjadi piano bukan seorang Martha Argerich yang bisa memainkan nada secara luar biasa. Dengan mantap kujawab “Karena hidup Mozart dan Beethoven tak akan lengkap tanpa sebuah Piano. Dan aku berharap jadi piano yang bisa melengkapi dan terus menemani kehidupan Mozart dan Beethoven sampai ajal yang menjemput”

^^^

Berkilauan bintang malam
Semilir angin pun sejuk
Seakan hidup mendatang
Dapat kutempuh denganmu

Pagi ini aku siap berangkat menuju kawasan Puncak Jawa Barat. Tujuan kami adalah Villa milik keluarga Rio dikawasan Cisarua.
“Sial, kenapa gue jadi supir gini?” Gerutu Alvin.
Yah, Alvin lah yang memegang kemudi saat ini.
“Yaudah Fy, kamu didepan temani Alvin” Ucap Rio pelan. Entah, aku merasa ganjil terhadapnya. Dari tadi pagi sifatnya lebih diam.
“Hah, ga usah Yo” Tolak Alvin.
“Buat teman ngobrol, Gue lagi ga enak badan” Jawab Rio sekenanya.
“Tapi..” Alvin ingin membantah lagi.
“Kalian bersahabat, dua orang yang ga mungkin nyakitin gue. Dan gue percaya” Ucap Rio tegas.
Alvin hanya mengangkat bahu. Aku akhirnya keluar lagi dari mobil dan pindah duduk didepan bersama Alvin.
Alunan lagu baby einstein milik mozart diputar mengiri perjalanan kami. Jujur disitu aku agak was-was entah karena apa. Belum lagi sikap Rio yang mendadak lebih diam.
“Gimana Yo? Badannya enakan” Tanyaku khawatir sambil menoleh kebelakang melihat Rio agak menggeliat bangun dari tidurnya.
“Kepalaku aja agak pusing” Ucap Rio sekenanya.
“Villa loe masih jauh ga dari sini? Biar loe bisa cepet istirahat” Tanya Alvin.
“Biar gue cepet istirahat atau biar loe langsung konser diperkebunan teh?” Ledek Rio.
Alvin nyengir “dua-duanya lah.” Jawab Alvin.
“Asal jangan mentang-mentang loe beethoven nanti loe maenin lagu Fur Elise lagi karena kasih loe sama Ify tak sampai” Ucap Rio sarkartis.
JLEB
Ucapan Rio barusan benar-benar menusuk Alvin, Alvin tau persis lagu itu. Tau juga tentang sejarah dari lagu itu. Tentang Kasih tak sampai seorang Beethoven terhadap seorang wanita yang lebih memilih pria lain hingga akhirnya membuat Beethoven menutup hatinya dan tidak menikah sampai ajal menjemputnya. Sebuah lagu dengan awal yang melenakan pada kunci A Minor yang merupakan bentuk sedih dari tangga nada C Mayor. Kecemburuan yang sejak kemarin ditahan kembali menguar. Hingga tak sadar Alvin menambahkan kecepatan mobilnya.
Aku dan Rio jujur tidak menyadari tingkah Alvin saat itu. Aku pikir karena jalanan kosong. Wajar Alvin menambah kecepatan bukan?
“Kan ga lucu Fur Elise jadi Fur Alyssa –Nama asli Ify-“ Ucap Rio lagi.
“Rio udah, kamu istirahat lagi deh” Ucapku karena merasa tak enak dengan keadaan ini.
Alvin menjadi diam. Aku lihat tangannya mengcengkram setir kuat. Kecepatan mobil ditambahnya lagi. Aku dan Rio terhentak.
“Vin, jangan gila. Kita bisa celaka” Ucap Rio.
Alvin tak mengucapkan sepatah katapun.
“Vin, rem please” Ucapku panik.
Mobil terus melaju cepat. Dan sepertinya Alvin mulai kehilangan keseimbangan saat menyetir. Kulihat Rio membuka paksa mobil belakang. Mobil mulai oleng, yang kuingat saat itu hanya ada sebuah tangan yang merengkuhku dan menghempaskan tubuhku saat itu kejalanan dan gelap..

^^^

Berpadunya dua insan
Simphony dan keindahan
Melahirkan perdamaian
Melahirkan perdamaian

Kami bertiga memang selamat dari kecelakaan tragis itu. Tapi hubungan kami bertiga tidak. Alvin marah pada Rio karena menurutnya kecelakaan itu adalah Rio penyebabnya. Alvin juga menyalahkan dirinya sendiri karena membuat kakiku patah. Sedangkan Rio? Jauh lebih pendiam dari sebelumnya. Hubunganku dengan Rio menjadi tidak baik. Rencana Indah untuk berlibur habis sudah. Dan memang benar, latihan musik sebelum keberangkatan memang duet terakhir antara kami bertiga. Akibat dari kecelakaan itu membuat Alvin Buta, karena saat itu dia tidak bisa melompat keluar dari mobil. Dan ikut terjatuh kejurang bersama mobil milik Rio. Masih selamat saja  untung mungkin saat itu. Matanya kemasukan serpihan kaca hingga membuatnya kehilangan penglihatan. Sedangkan aku? Kaki kananku patah karena saat ada tangan yang merengkuhku yaitu milik Rio kakiku agak tersangkut dijok mobil dan membuatnya tertekan hebat. Sedangkan Rio sendiri? Dia hanya luka ringan. Mungkin itulah yang membuat Alvin marah padanya. Aku tidak menyalahkan Rio, toh karena dia juga aku selamat. Tapi mungkin aku merasa kesal mengapa aku yang diselamatkan? Mengapa bukan Alvin yang jelas-jelas adalah sahabat kecilnya. Rio seperti menjauh, malu kah dia bersanding dengan gadis cacat seperti ku sekarang?

Syair dan Melody
Kau bagai aroma penghapus pilu
Gelora dihati
Bak mentari kau sejukkan hatiku

Ahh, terlalu banyak pikiran yang bergelayut dipikiranku saat ini. Kini aku berada diruang musik duduk didepan sebuah grand piano sambil memejamkan mata dan mengingat segala kenangan saat Piano, Mozart dan Beethoven berteman baik. Lamunannku buyar setelah mendengar intro lagu yang begitu familiar ditelingaku ditambah suara yang sudah begitu akrab ditelingaku.

Bening matamu pancarkan kesedihan
Tak pernah terlihat selama ini
Senyum pedihmu lukiskan airmatamu
Perihnya hatimu menyentuh bathinku

Sungguh mati aku tidak bisa meninggalkan dia
Walaupun kau dekap aku
Ampun aku bila kini yang terkuat hanya pedih
Yang mungkin menghantui
Hidupmu Hidupku

Detak jantungmu (detak jantungmu)
Tegaskan perih hatimu (perih hatimu)
Hidupmu.. Hidupmu Hidupku...

Sungguh mati aku tidak bisa meninggalkan dia
Walaupun kau dekap aku
Ampun aku bila kini yang terkuat hanya pedih
Yang mungkin menghantui
Hidupmu Hidupku

Sungguh mati aku tidak bisa meninggalkan dia

Oohh,, Aku takut.. bila kini..
Yang terkuat hanya perih..
Yang mungkin menghantui..
Hidupmu Hidupku
Hidupmu Hidupku
Hidupmu Hidupku

Lagu berakhir. Pemuda itu –Rio- yang memainkan dan menyanyikan lagu itu begitu sempurna. Aku terperangah, kekesalanku padanya luntur begitu saja. Rio bangkit dari grand pianonya, aku menubruk tubuhnya. Sepertinya dia tidak siap sehingga sedikit terjerembab kebelakang. Dia menahan. Aku memeluknya erat menumpakan semua emosiku disana. Hey, kenapa dia tidak membalas? Apa dia sudah bertemu dengan yang lain? Apa seorang Mozart telah menemukan Piano baru? Aku melepas pelukanku dan menatapnya protes.
“Kenapa... Kenapa..” Nafasku agak sedikit tersenggal karena menangis. Bukannya menjawab Rio malah langsung mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Aku yang tidak dapat berkata hanya bisa memejamka mata. Hingga sapuan lembut dan hangat menerpa bibirku. Bibir Rio tertaut sudah, aku masih terdiam dan membalasnya hingga akhirnya Rio menjauhkan wajahnya dari wajahku.
“Maaf, tapi aku Cuma mau kamu tahu, aku masih mencintai kamu masih sama seperti kemarin dan sekarang dan mungkin esok pagi” Ucap Rio.
Aku tertunduk. Airmataku leleh lagi.
“Kamu tahu? Bahkan kemarin aku lebih memilih untuk mati dan tidak diselamatkan kamu kalo tau kamu menjauh dari aku” Ucapku.
Rio mengangkat wajahku. “Hey, jangan bodoh. Aku ga akan pernah biarin itu. Maaf udah buat kamu kayak gini” Ucap Rio sambil menunjuk tongkatku “Dan Alvin yang seperti itu. Itu semua salah aku” Ucapnya lagi.
“Kenapa kamu lebih memilih menyelamatkan aku waktu itu. Alvin sahabat kecil kamu” Tanya ku.
Rio memegang kedua bahuku.
“Kamu mau tau jawabannya?” Tanya Rio.
Aku mengangguk pelan.
“Karena seperti lagu tadi. Kamulah hidup aku. Dan Alvin, dialah nafas aku” Ucap Rio tersirat.
Aku menggeleng menyatakan tak mengerti ucapannya.
“Aku lebih memilih tersiksa sendiri karena nafas aku tersenggal dibanding kehilangan seluruh hidup aku. Karena itu akan mempersingkat waktu aku untuk bersama sahabat ku Beethoven dan Favoriteku Piano.” Ucap Rio sambil tersenyum getir.
Aku terdiam, tak bisa berkata apapun. Sedalam inikah rasa yang Rio miliki untukku. Rasa yang mungkin tak akan tergali saat ditelusuri.
“Alvin tak lagi main piano saat ini” Entah mengapa ucapan itu yang meluncur dari bibirku.
Rio tersenyum manis “Biarlah, dia menenangkan diri. Bersatu dengan hatinya. Dan menjadi Beethoven yang penuh semangat dibalik kekurangannya” Ucap Rio.
Aku tersenyum lega mendengar ucapan Rio kali ini. Sungguh aku tak salah memilihnya dalam kehidupanku.

^^^

Burung-burungpun bernyanyi bunga tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali terhibur simphony
Pasti hidupku kan bahagia

Sudah 2 minggu sejak pertemuanku dengan sang Mozart a.k.a Rio. Sejak itu pula Rio seperti ditelan bumi. Tidak masuk sekolah ataupun menghubungiku. Satu hal yang membuatku lega adalah ketika tidak adanya kabar yang mengabarkan kematian sang Mozart itu. Ah, jangan sampai deh. Dan sudah seminggu Alvin mulai masuk sekolah seperti biasa. Walau dalam keadaan Buta. Alvin tetap menjalani aktivitas sekolah dengan bantuan huruf Braille. Yang membuatku lebih senang Alvin mulai kembali menyentuh piano. Mulai bermain walau kekurangan pada indera penglihatannya, begitu aku tanya apa yang membuatnya ingin menyentuh piano lagi, dia hanya berkata..
“Ada seseorang yang mengirim surat padaku yang berisi
---------------------
Love is like playing piano
First, you learn to play it by rules
Then, you forget the rules
Close your eyes
And start playing from your heart

M.M
---------------------

“Surat itu membuat gue semangat lagi. Dan ingin menjadi Beethoven yang sebenarnya. Dibalik segala kekurangan yang gue miliki sekarang gue memilih untuk tetap berkarya bukan hanya hanya mata tapi dari hati” Jawab Alvin.

^^^

Tiga minggu sudah Rio menghilang tidak ada kabar. Alvin juga sudah tiga hari tidak masuk. Aku dengar dia mendapatkan donor mata, tapi aku masih belum sempat menjenguknya karena kegiatan sekolah yang ekstra padat. Aku mengedarkan pandanganku kekoridor luas. Aku melihat Alvin berjalan tanpa bantuan tongkatnya, dan dia menunduk. Hey ada apa?

Alvin berjalan menghampiriku dan lalu menarikku.
“Hey, Vin. Mau kemana? Kamu udah bisa melihat?” Tanya ku.
Tak ada jawaban. Alvin  tetap menarikku dan sepertinya dia sudah bisa melihat karena jalannya begitu lancar. Lalu kenapa dia menarikku seperti ini. Aku hanya bisa pasrah mengikuti. Tujuan akhirnya adalah diruang musik. Alvin menyuruhku duduk tepat didepan grand piano dan Alvin sendiri menyalakan TV dan DVD yang ada diruang musik, memasukkan sebuah DVD kedalamnya dan lalu menarik kursi lalu duduk disebelahku.

Sebuah intro dari Band Familiar dinegeri Indonesia ini mengawalai depan Video.
“Video apa sih Vin?” Tanyaku tak mengerti.
“Liat dulu aja Fy” Jawabnya tanpa menoleh. Aku menurut dan memilih untuk diam saat menonton Video itu.

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya ragaku menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tlah tertahan melawan waktu


Suara Rio. Yap benar aku yakin suara Rio itulah yang menjadi backsound video ini. Tapi ada apa?
Lalu muncullah video Rio yang memangku gitarnya dan bicara..
“Hay my piano udah berapa lama ya kita ga ketemu. Maaf ya aku ga kasih kabar. Mungkin saat ini kita udah ga bisa ketemu lagi. Tapi perlu kamu tahu aku masih tetap mecintai kamu sampai esok pagi seterusnya. Aku ga kasih kabar karena saat seminggu pertama aku dalam keadaan kritis aku ga masuk aku dalam keadaan kritis. Video inipun aku buat saat sesudah insiden kecelakaan itu terjadi. Maaf ya udah buat kaki kamu patah karena ulah aku. Dan untuk Alvin, Beethoven in My life Maaf udah buat loe kehilangan indera penglihatan loe.”

Dan semua keindahan yang memudar
Atau  cinta yang telah hilang

“Aku mengidap Kanker Otak stadium akhir. Itulah yang membuat aku mengatakan kalau kamu hidup aku Fy waktu itu. Aku mau punya hidup dan waktu lebih banyak untuk terus bersama Kamu dan Alvin. Pengen ngehabisin waktu lebih banyak dengan kalian. Menjadi Mozart, Piano, Beethoven masa depan dengan menggelar konser dibanyak negara seperti impian kita bersama. Keren yah ngebayanginnya? Tapi sayang waktu aku Cuma sebentar.”

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

“Sangat menyesal, kebersamaan kita terakhir malah diwarnai ketegangan satu sama lain karena ulah gue. Tapi sekarang semua udah kembali. Yah Cuma loe berdua tanpa gue. Tapi disini gue udah bebas sangat lepas tanpa penyakit laknat itu lagi. Maaf ya kalo gue banyak salah ama kalian? Untuk kamu Fy mama dan papa aku udah nyiapin tempat terapi yang cocok untuk kamu. Aku yang cari loh waktu itu, panas-panasan sampai aku item gini” Ucap Rio tergelak. “Kamu terapi ya my piano? Biar ada yang nemenin Beethoven konser nanti.

Ohh,,, Biarkan aku bernafas sejenak sebelum semuanya hilang
“Vin, gue akui dengan alasan hidup yang ga lama lagi. Gue biarin ego sang mozart berkuasa mengalahkan seorang Beethoven yang ekpresiv untuk memiliki Piano yaitu Alyssa Saufika, Gue minta maaf untuk hal ini. Gue menghalangi cinta loe sama dia. Yah walau gue tau secara gue lebih keren dari loe pasti Ify milih gue. Dan bener kan kenyataannya?” Rio terkekeh

Aku melihat Alvin yang sudah meneteskan airmata karena menonton Video ini. Sedangkan aku? Sudah terisak hebat. Masih belum percaya tentang kepergian sang Mozart dan tawa keperihan yang jelas ada diwajah kekasihnya itu.

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama telah pergi
Bersiaplah para pengganti

“Hey kok pada ga rusuh sih kayak biasanya?” Tanya Rio pada video itu seakan mengajak bercakap.
“Dia bodoh atau apa sih? Suasana kayk gini juga” Gerutu Alvin.
Aku hanya menanggapi dengan senyum. Sang Mozart terlalu tegar untuk ini.
“Ahh, ga seru nih. Gue bercanda sendiri. Jangan bilang loe lagi nangis Vin makanya ga rusuh?” Tanya Rio lagi.
“Mozart kayaknya ga sesinting dia deh” Ucap Alvin
Aku sedikit tersenyum melihat tingkah Alvin.
“Kamu kok juga diem Fy? Kamu nangis ya? Nanti siapa dong yang hapusin air mata kamu? Kan aku udah ga ada” Ucap Rio.
Aku kembali menjatuhan bening air mata itu. Tersadar, lalu menghapusnya secara kasar.
“Jangan nangis lagi ya my piano. Aku rasa kamu perlu pianis baru. Kamu bisa lihat orang disebelah kamu. Aku yakin dia bisa jaga kamu” Ucap Rio.
Ify menggeleng cepat, tidak. Tidak secepat itu melupakan Rio.
“Dan elo Vin. Gue lagi mangku gitar nih. Jangan sampai loe nangis karena video ini. Bisa gue lempar nih gitar ke elo. Seenaknya aja loe nangis. Gue ngasih mata gue ke elo bukan buat memproduksi air mata tapi buat ngingetin Ify kalo gue juga selalu disampingnya” Ucap Rio
“APA?” Ucap Alvin Syok.
“Mata itu milik Rio?” Tanya Ify sambil memandang mata Alvin.
Alvin menggelengkan kepalanya mengisyarakan tidak tahu. Lalu menutup kedua wajahnya dengan telapak tangannya. Frustasi.

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

“Udah ah, gue cape. Dari tadi ngobrol ga ditanggepin gara-gara pada sibuk nangis.. heuu ga asyik” Ucap Rio, wajahnya mengekspresikan seperti anak kecil yang kehilangan mainan.
Ify tersenyum pedih menatap wajah itu. Ingin rasanya memeluk tubuh tinggi itu lagi. Tapi ada daya untuk sekarang.
“Oke guys. Cuma itu yang bisa gue lakukan buat kalian. Untuk Ify. Aku akan masih tetap mencintai kamu dari sini, dan selalu disemping kamu. Untuk Alvin. Tetap jadi sahabat gue, dan tolong jaga Ify semampu loe. Gue sayang kalian berdua” Ucap Rio menutup pembicaraannya.
Tak lama video itu berganti dengan layar hitam dengan tulisan putih mengatakan :

Love is like playing piano
First, you learn to play it by rules
Then, you forget the rules
Close your eyes
And start playing from your heart

M.M
(Mario.Mozart)

Alvin tercengang. Airmata yang tadi ditahannya memaksa untuk memproduksi air mata lebih banyak lagi.. Ify langsung menghadapkan dirinya pada grand piano putih dihadapannya tadi dan mulai memainkan tuts-tutsnya.

Notice me
Take my hand
Why are we
Strangers when
Our love is strong
Why Carry On without me

Everytime I try to fly
I fall without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
You in my dreams
I see your face,
It’s haunting me
I guess I need you baby

I make believe
That you are here
It’s the only way
I see clear
What have I done
You seem to move on easy

Everytime I try to fly
I fall without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
You in my dreams
I see your face,
It’s haunting me
I guess I need you baby

I may have made it rain
Please forgive me
My weakness caused you pain
And this song is my sorry

At night I pray
That soon your face
Will fade away

Everytime I try to fly
I fall without my wings
I feel so small
I guess I need you baby
And everytime I see
You in my dreams
I see your face,
It’s haunting me
I guess I need you baby

“Mario, you’re my favorite pianis”

Seorang Mozart yang dikatakan orang lebih membosankan dibanding Beethoven  justru dapat mengaplikasikan emosi jiwanya kedalam melodi-melodi klasik dengan jiwa ketenangan meski kadang terlalu datar. Yah walau kespontanitasannya dan keromantisannya tidak sebanding dengan  Beethoven yang mengaplikasikan melodinya dengan emosi yang meledak-ledak tapi meletupkan semangat. Tapi pasti sang mozart memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan cintanyaa ..

^^^

Aku mematikan Video itu setelah sekian kalianya kutonton sambil mengingat memory manis tentang sang Mozart. Dua tahun sudah berlalu. Dan aku masih tetap sendiri. Tidak memilih untuk ove on dengan mencari pengganti, biarlah. Biarlah kenangan itu tetap berputar. Mengurungku dalam kesendirian. “Caused you’re my favorite pianis, MARIO”

[SHORT STORY] KESEMPURNAAN ANUGERAH SANG MELODY MALAM

Sebuah harmoni malam yang kini disajikan semesta malam ini sungguh tidak begitu menggambarkan keadaan pemuda yang tengah duduk di balkon kamarnya. Paduan tebaran bintang dan manis teduhnya suara binatang malam, seakan tidak mengusik dirinya untuk mengubah suasana hatinya yang kini tengah dilanda kebosanan. Mario –pemuda itu- terus memainkan gitarnya secara asal. Pemuda tadi –Mario- yang menjadi pujaan kaum hawa disekolahnya hanya dapat terus menggerutu kesal karena 2 hari malam terakhir sebelum kembali beraktivitas kesekolah setelah liburan kenaikan kelas harus dilewati dirumah, tidak seperti malam-malam sebelum ini.


---------------------------------------
From : Alvin ‘Koko’
---------------------------------------

I’m Sorry bro,
malem ini kayaknya gue
ga ikut track, Bokap ngajak
dinner. Sorry Yo.
---------------------------------------

Begitulah kira-kira penggalan sms dari sahabat sekolah dan teman balap liarnya. Sebenernya mungkin bisa saja Rio –Sapaan pemuda tadi- tetap berangkat sendiri dan mengikuti balap liar sesuai hobinya. Tapi tanpa sahabat? Tentunya ada yang ganjal kan?

Jika nada cinta mulai mengalun..
Ketika kau mendapatkannya..
Dia menyentuh kalbumu..

Suatu instrument klasik memecah pikirannya kini. Lacrimosa milik Wolfgang Amadeus Mozart memenuhi indera pendengarannya kini memaksanya untuk mengikuti sebuah alunan yang ber- Requiem In D Minor. Rio menikmatinya dengan mata terpejam. Sejenak dia tersadar. Darimana melody ini berasal. Rio mengecek kamarnya, dia berpikir mungkin radionya yang berputar. Tapi akal sehatnya membantah, lagu ini begitu dekat. Sangat dekat. Rio mengedarkan pandangan kearah luar. Secercah sinar dari kamar dihadapan balkon miliknya kini menyita perhatian.
‘Bukannya rumah itu kosong?’ Bathin Rio. ‘Sejak kapan ada penghuninya? Eh, bentar itu ada cewek maen piano. Apa dia yang maenin lagu tadi ya?’ Banyak pertanyaan sudah bergelayut dibathin Rio.
Rio semakin menajamkan indera penglihatannya. Mencoba menatap sang gadis manis berpiyama biru yang duduk arah menyamping –dari pandangannya- didepan sebuah grand piano putih

Gadis tadi menyadari sebuah tatapan asing yang menatapnya. Kini sang gadis balik menatap kearah Rio yang tengah memandanginya. Berjalan kearah pintu balkon yang tadi bukanya, sang gadis langsung menutupnya. Rio terhentak ‘Manis sih tapi aneh banget. Belum pernah cowok ganteng kali ya’ Bathin Rio percaya diri.

^^^

Melihat tawa mu
Mendengar senandungmu
Terlihat jelas dimatamu
Warna-warna indahmu

Malam berikutnya Rio memutuskan menghilangkan kejenuhan dengan berjalan-jalan disekitar komplek rumahnya. Harmoni malam, masih tetap sama seperti kemarin dengan tebaran berbagai banyak rasi bintang membuat cerahnya sang malam ditambah dengan paduan sebuah klasikal binatang malam disekitarnya

Keasyikan Rio terhenti –mungkin bertambah- dengan pemandangan didepannya kini. Sang gadis malam itu tengah tersenyum manis dan tertawa lepas bersamaa.. Hey bukankah itu Sivia teman sekolahnya? Mengapa bisa? Entahlah, besok kan sudah masuk sekolah. Mungkin Rio bisa menanyakannya. Kini, Rio lebih memilih untuk diam sambil menikmati gurat senyum yang disuguhkan gadis itu meski bukan kepadanya.

^^^

Rio menghempaskan tubuhnya ke ranjang tidur kamarnya. Sebuah senyum tidak juga terlepas dari bibirnya. Entah apa yang membuatnya terus tersenyum. Pikirannya kembali melayang kepada sang gadis sebelumnya akhirnya sebuah melody memotong lamunannya.

Masih dengan tokoh legendaris musik klasik yang sama Mozart –sapaannya- namun dengan lagu berbeda. Lagu yang lebih menenangkan dibanding sebelumnya Romance the Piano Concert #2 kini seakan memenuhi euphoria kamar Rio. Lagu yang menenangkan tapi malah membuat sebuah kegusaran dalam hati Rio, seperti ingin membaca pikiran sang gadis. Rio berusaha untuk melelapkan matanya untuk kembali kesekolah besok.

^^^

Dalam setiap perjalanan..
Selalu saja ada rintangan yang sama..
Yang membedakan..
Adalah saat kau memilih..
Untuk menyerah atau bertahan..

Rio menendang kaleng dihadapannya. Kesal. Kesibukkannya sebagai sang ketua Osis SMA Melodi Bangsa membuatnya lupa untuk menanyakan perihal gadis piano itu. Malam ini Rio memutuskan untuk pergi lagi ketaman tempat kemarin dirinya melihat Sivia bersama sang gadis.

Pucuk dicinta ulampun tiba ! Seperti telah direncanakan. Gadis itu ada dibangku taman dan kali ini tidak bersama Sivia. Dengan modal keberanian yang minim dan Keingintahuan yang luar biasa memuncak Rio memutuskan menghampiri gadis itu.

“Hey” Sapa Rio sambil menepuk pundak gadis itu.
Sang gadis menoleh sebentar, dengan muka tanpa ekspresi –walau tidak mengurangi kecantikkan wajahnya- Lalu kembali membuang pandangannya kearah langit.

Rio melengos. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini? Rio memeriksa penampilannya, mungkin ada yang aneh dengannya sekarang sehingga gadis itu hanya menoleh padanya sebentar.
“Boleh duduk?” Tanya Rio kembali berbasa basi.
Tak ada jawaban dari gadis itu, hanya saja sang gadis menggeser duduknya seakan mempersilahkan.
Tanpa berpikir panjang Rio langsung duduk disamping gadis itu.
“Gue Rio, Mario Stevano” Ucap Rio memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.
Tak ada jawaban tak ada singgungan membalas uluran tangannya, memaksa Rio menarik tangannya.
“Gue suka permainan piano loe” Ucap Rio, berharap bisa membuka percakapan.
Gadis itu menoleh, dan memasang senyum tipis, sangat tipis seakan mengatakan -terima-kasih-
“Sama-sama” Ucap Rio seakan mengerti senyuman gadis itu.
Gadis itu menoleh, mengernyit bingung mengapa Rio mengerti maksudnya.
Rio tersenyum “Dari tadi muka loe datar gitu, tapi pas gue puji loe langsung senyum, Ya walau tipis. Jadi gue simpulin loe bilang terima kasih”
Gadis itu tersenyum lagi walau tipis. Lalu mengarahkan pandangannya ke langit utara dan mengangkat tangannya seperti menunjuk. Rio mengikuti arah tangan gadis itu.
“Rasi bintang phoenix?” Tanya Rio.
Gadis itu mengangguk.
“Terus?”
Tidak menjawab sang gadis hanya menatap langit dengan pandangan semakin berbinar.
“Rasi yang menenangkan dan menghangatkan bukan?” Tanya Rio seperti kembali membaca pikiran gadis itu.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum lagi. Kali ini senyumnya lebih berbinar dari sebelumnya.
Rio ikut tersenyum. Walau gadis ini tidak mengungkapkan dengan sebuah kata, namun tatapan dan bening matanya mampu membuat Rio mengerti.
“Loe suka bintang ?” Tanya Rio.
Gadis itu mengangguk tanpa menoleh pada Rio. Lalu menunjuk kearah langit utara lagi.
“Phoenix?” Tanya Rio.
Gadis itu menggeleng dan menoleh pada Rio. Membentuk tangannya menjadi segitiga, lalu menunjuk kearah langit utara lagi.
“Summer Triangle?” Tebak Rio.
Gadis itu tersenyum sumringah.
“Rasi favorite loe, bukan?” Tebak Rio.
Gadis itu kembali mengangguk dan tersenyum. Rio membalas senyumannya.
Jujur dari tadi Rio agak bingung dengan gadis ini. Sejak awal pertemuan Rio sama sekali belum mendengar celotehan gadis disampingnya. Tapi Rio berpikir mungkin karena baru awal mereka kenal. Tapi penasaran dan pertanyaan masih bergelayut tentang gadis disampingnya.

^^^

Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki

“Sivia” Panggil Rio sambil menelusuri koridor sekolahnya.
Merasa terpanggil Sivia menoleh. “Kenapa Yo?” Tanya Sivia.
“Enggg.. Emm..” Rio jadi bingung memulai dari mana.
“Ribet deh loe, mulai darimana aja deh” Ucap Sivia tak sabar dan mengerti Rio.
“Gini loe, waktu itu malem sebelum kita masuk sekolah loe kan ngobrol ditaman sama cewek itu siapa?” Tanya Rio pada akhirnya.
Sivia memutar bola matanya. Suprised.
“Kenapa?” Tanya Sivia.
“Gue penasaran” Ucap Rio cepat.
Sivia memandang Rio dari atas kebawah. Rio agak risih dipandang Sivia seperti itu.
“Ga usah liai=tin gue kayak gitu deh” Celetuk Rio.
“Gue rasa itu ga penting buat orang se-Perfect loe” Ucap Sivia tanpa mempedulikan ucapan Rio sebelumnya.
“Hey, Vi. Please. Ini bukan masalah ke-Perfect-an atau kesempurnaan. Gue penasaran sama dia” Ucap Rio.
“Just Penasaran? Kenapa?” Tanya Sivia.
“Lebih sih, hmm, kemarin gue juga ketemu dia ditaman dan gue ngobrol banyak ama dia” Ucap Rio.
Sivia membelalakan matanya. “Loe ngobrol sama dia? Yakin” Tanya Sivia aneh
“Ga juga sih, Abis gue ngobrol banyak tapi dia Cuma nanggepin sama anggukan, gelengan, dan senyum” Ucap Rio mengingat-ingat.
“Dia juga senyum?” Tanya Sivia lagi, nadanya kini lebih antusias dianding sebelumnya.
“Iyah, kenapa sih. Kayaknya langka banget” Ucap Rio ga sabar.
“Oh, gapapa” Ucap Sivia. Nadanya dibuat datar seperti sebelumnya.
“Vi, dia siapa sih? Kenapa dia ga ngomong sama sekali sama gue?” Tanya Rio.
“Dia sepupu gue. Ify, Alyssa Saufika. Dia ga akan pernah ngomong sama loe. Dan lebih baik loe mundur sebelum jauh loe mengenal dia” Ucap Sivia datar tanpa menatap Rio.
“Come on Vi. Kenapa dia gitu. Lagian loe Cuma sepupu dia kenapa loe nyuruh gue mundur?” Tanya Rio tak terima.
“Dan loe siapa Ify? Loe juga ga begitu berhak masuk space dia” Ucap Sivia tak mau kalah.
Rio terdiam. “Gue emang bukan siapa-siapa dia. Tapi gue suka senyumnya suka caranya memandang dan pengetahuannya tentang bintang serta permainan Melody malamnya” Ucap Rio sambil membuang pandangan

^^^

Rio menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Frustasi dengan pembicaraannya tadi siang dengan Sivia. Akhirnya Rio memutuskan untuk menyalakan dan mendengarkan Radio. Berharap mendapat pencerahan dari sang Penyiar Sharing Time malam ini.

“101,2 RFR.FM. Selamat malam para pendengar diseluruh penjuru, malam ini kembali lagi bersama saya Fika Aditya diacara Sharing Time. Okey, sesuai dengan tema kita kali ini yaitu arti sebuah kesempurnaan. Hmm, ada gak ya pendengar kita yang sedang galau dengan Apa Sih arti kesempurnaan itu? Oke, bisa langsung join aja di line telepon RFR.FM di. 021 624 1012 Atau diline sms 0 8924 06 1012”

Setelah mendengar tawaran dari sang penyiar, dengar gerakan cepat Rio menyambar BB Bold miliknya dan menekan angka-angka yang telah disebutkan penyiar tadi.

“Oke, guys. Sepertinya kita sudah mendapatkan penelfon yang akan berbagi pengalaman. Oke, perkenalkan diri dulu. Siapa, dimana?” Tanya sang Penyiar.
“Rio di Jakarta”
“Oke, Rio mau cerita apa nih?”
“Gue mau cerita. Salahkah kalo gue Cuma jatuh cinta karena pandangan? Karena gue mengalaminya, dimana gue mengagumi bahkan mungin mencintai dia karena Fisik, dan bakat yang luar biasa. Tapi gue juga suka sama sifatnya”
“Hemm, itu udah cukup dong buat ngebuktiin atau ngeyakinin loe emang benern jatuh cinta sama dia”
“Tapi, gue baru tahu. Dibalik wajah manis. Ada sebuah kekurangan fisik dari dia yang bener-bener membuat gue bingung. Antara memilih untuk tetap bertahan mencintai dia. Atau mundur karena semuanya belum jauh”

“Sepertinya loe beneran galau ya malem ini. Hahaha. Oke, gini Rio. Cinta bukan berguna untuk menyempurnakan sebuah kesempurnaan. Tapi cinta lebih memilih melengkapi suatu kekurangan dengan kelebihan yang ada. Cinta bukan hanya terwujud dari perasaan kita terhadap lawab jenis. Loe pernah denger seorang Beethoven yang memiliki kekurangan terhadap indera pendengarannya? tapi dia mampu, dia bisa untuk bertahan tetap berkarya dalam segala kekurangannya walau pada saat itu banyak yang mencemoohnya. Loe bisa bayangkan? Dia legenda klasik dunia dibalik kekurangannya. Dia tidak memikirkan bagaimana sebuah kekurangan fisik menghalanginya. Yang dia tahu. Dia harus membuka hatinya dan melakukan semua apa yang ingin dilakukan ambisinya dengan hatinya. So, loe ga harus menuntut kesempurnaan dalam kisah loe. Cukup bangun semuanya apa adanya seperti Beethoven yang mencintai musiknya” Akhir sang penyiar panjang lebar.

Rio terdiam. Tak ada hasrat untuk membalas ucapan sang penyiar. Tangannya lebih tergerak untuk mematikan sambungan telepon dan mematikan radio. Kaki Rio lebih memilih melangkah kearah balkon dan memandangi kamar yang ada dihadapannya. Setelah puas, Rio memaksa tubuhnya untuk duduk bersandar ditempat tidurnya sambil memejamkan matanya. Mengingat kilas kejadian percakapan dengan Sivia.

FLASH BACK ON

..............................
“Gue emang bukan siapa-siapa dia. Tapi gue suka senyumnya suka caranya memandang dan pengetahuannya tentang bintang serta permainan Melody malamnya” Ucap Rio sambil membuang pandangan.
“Loe jatuh cinta sama dia?” Tanya Sivia telak.
Rio terdiam, jujur dia bingung apa yang harus dijawabnya, Entah dorongan dari mana yang membuatnya mengangguk pelan.
“Dia bisu” Ucap Sivia.
JDERRR
Rio sontak menoleh menatap Sivia. Matanya memelas berharap apa yang dikatakan Sivia hanya bercanda.
“Gue ga bercanda. Makanya dia ga jawab semua ucapan loe” Ucap Sivia lagi. “Gue udah bilang, tolong mundur sebelum jauh” Ucap Sivia sebelum akhirnya meninggalkan Rio yang terdiam.

FLASH BACK OFF

Belum lagi ucapan Alvin tadi sore via telepon yang membuatnya semakin bingung.

“Serius Yo loe jatuh cinta sama cewe bisu?” Tanya Alvin.
“Gue ga tau” Jawab Rio seadanya.
“Come on Yo, masih banyak cewek cantik diluar. Loe liat Shilla yang ngejar-ngejar loe. Dia model, pinter juga. Cocoklah untuk loe yang perfect” Ucap Alvin.
“Gue ga tau Vin” Ucap Rio lagi.
“Ayolah Yo, apa kata orang lain Yo, orang sekeren loe punya pacar bisu nantinya?”
“Persetan Vin. Lagi pula gue bingung. Jangan ganggu gue dulu” Ucap Rio malas yang langung mematikan sambungan telepon.

“Dua orang udah ngusulin gue buat ngejauh dari loe? Gue bingung” Gumam Rio sambil memandang balkon Ify dari balik tirai jendelanya.
Rio memutuskan untuk mengistirahatkan matanya. Mencoba terlelap diiringi Melody malam milik sang pianis diseberang balkon kamarnya.

Tahukah Rio jika diseberang kamarnya ada gadis yang terisak hebat sambil memainkan alunan Melody malam Piano Violin sonata versi Mozart hanya karena mendengarkan sebuah radio ?

^^^

Ketika kau memutuskan untuk bertahan..
Perlu kau ketahui..
Disanalah titik awal kebahagiaan sebenarnya..
Meski banyak rintangan..
Hanyalah perlu kau anggap..
Itulah sebuah bagian kebahagiaan..

Setelah tadi sore lemparan kertas berisi surat ke balkon Ify disampaikan dan telah dipastikan diterima oleh sang pemilik kamar yang  berisi
--------------------------
Kita ketemuan ditaman lagi ya :)
Seperti malam itu jam 8 :)

Mario
--------------------------

Jadul sih keliatannya, tapi terpaksa dilakukan karena Rio sudah tahu jawaban dari pertanyaannya semalam. Setelah memantapkan hatinya untuk memilih tetap bertahan.


Rio sudah menduduki taman ini lebih dari setengah jam yang lalu. Salah dirinya juga sih, karena memilih menunggu satu jam lebih awal di taman itu. Rio sibuk sendiri menyetem gitar yang sudah dibawanya khusus untuk malam ini hingga ada sebuah tangan menepuk pundaknya.
“Eh elo Fy, duduk” Ucap Rio mempersilahkan.
Ify memandang Rio bingung.
“Gue tau nama loe dari Sivia, dia sepupu loe kan?” Tanya Rio yang mengerti kebingungan diwajah Ify.
Ify mengangguk dan langsung duduk disamping Rio. Balutan dress putih selutut dengan rambut dikesampingkan ditambah flatshoes senada dengan dress. Membuat penampilan Ify sedikit berkilau malam ini. Belum lagi warna dress nya sama seperti kemeja Rio yang ditekuk sampai siku.
Rio memandang Ify yang sibuk memandang langit.
“Apakah langit itu lebih menarik dibandingkan gue?” Tanya Rio.
Ify mengangguk mantap tanpa menoleh. Rio melengos. Membuang nafas secara kasar membuat Ify menoleh.
Ify tersenyum. Senyum manis yang lebih sumringah dari senyum-senyum dahulunya dan membuat Rio agak terperangah, terpesona.

Sifatmu nan s’lalu
Redakan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu

“Senyum loe gue suka” Ceplos Rio tak sadar.
Membuat kedua pipi Ify bersemu.
“Eh” Rio menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal. Bingung memikirkan kata yang pas.
Hening tak ada yang bicara..
“Mario” Panggil seseorang –Alvin-
Rio dan Ify kompak menoleh. Rio mengernyitkan dahinya, bingung. ‘Ngapain Alvin kesini?’ Bathinnya.
“Loe jadi serius sama cewe ini?” Tanya Alvin sarkatis.
“Loe apa sih Vin?” Tanya Rio balik. Tak mengerti.
“Come On Yo. Sadar ga sih ama yang loe lakuin? Dia mana pantes sama loe?” Ucap Alvin sambil menunjuk Ify. Ify menunduk.
“Maksud loe apa sih? Loe ga berhak ngomong gitu.” Bentak Rio.
“Ma-Ri-O ! Loe terlalu perfect untuk cewe bisu ini !” Kecam Alvin.
BUGGG
Bogem mentah milik Rio mendarat mulus dimuka Alvin. Ify menoleh.
“Loe kenapa sih? Loe tega ngehajar gue demi cewe ini? Cewe bisu ini. Sadar Yo, apa bandingan dia sama Shilla the most perfect girl disekolah kita yang ngejar loe?” Ucap Alvin tak mau kalah.
Rio sudah kembali bersiap memukul Alvin lagi tapi langsung dicegah oleh Ify. Pelukan Ify dari belakang menghentikan semuanya.
“Loe ga ada hak buat bandingin Ify sama Shilla. Karena Ify bukan Shilla, jadi tolong berhenti bandingin mereka” Ucap Rio dingin.
Tanpa mengucapkan suatu patah kata apapun Alvin meninggalkan Rio dan Ify.

Rio terdiam, pelukan Ify dan sandaran kepala Ify dipunggungnya meredakan emosinya. Rio mengatur nafasnya yang memburu setelah merasakan punggungnya basah. Ify menangis !

Setelah mengatur emosinya untuk kembali semula Rio melepaskan pelukan Ify dan memutar badannya kebelakang. Rio dan Ify kini berhadapan. Dengan kedua ibu jarinya Rio mulai menghapus air mata Ify.
“Gue udah bilang, gue suka senyum loe. Bukan air mata. Dan itu tulus dari hati gue” Ucap Rio yang lalu menuntun Ify ketempat duduk di taman tadi.

Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu..
Anugerah terindah yang pernah kumiliki

Rio mempersiapkan gitarnya.. Sebuah intro familiar ditelinga siapapun yang mendengarnya mengalun sempurna.


aku mengenal dikau
tlah cukup lama separuh usiaku
namun begitu banyak
pelajaran yang aku terima


kau membuatku mengerti hidup ini
kita terlahir bagai selembar kertas putih
tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
dan terwujud harmoni


segala kebaikan
takkan terhapus oleh kepahitan
ku lapangkan resah jiwa
karna ku percaya kan berujung indah


kau membuatku mengerti hidup ini
kita terlahir bagai selembar kertas putih
tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
dan terwujud harmoni

harmoni, harmoni, harmoni

Rio masih terus memandangi wajah Ify sambil memainkan gitarnya, saat ingin menyanyikan lirik terakhir nafas Rio dibuat tercekat karena Ify menyanyikan bait itu lebih dulu. Ify bersuara.


kau membuatku mengerti hidup ini
kita terlahir bagai selembar kertas putih
tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai
dan terwujud harmoni

Ify menyelesaikan bait terakhir dengan begitu sempurna seperti alunan suara gitar yang mengiringinya. Suaranya pun terbilang halus dan ternilai bagus di indera pendengaran Rio. Rio masih terperangah, tidak percaya apa yang didengarnya kali ini.

“Hey?” Panggil Ify sambil mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Rio.
“Eh,, Ahh,, Ify?” Panggil Rio memastikan, takutnya didepannya hanya jelmaan Ify karena memakai dress putih -_-
“Yes,, My name’s Alyssa Saufika, with nick name Ify. And you Mario Stevano aren’t you?” Ucap Ify bersemangat.
“Tapi?” Rio masih belum bisa berkata banyak.
“Kenapa? Ify yang loe kenal seorang gadis bisu yang selalu memainkan piano dikamarnya bukan?” Tanya Ify.
Rio mengangguk. “Dan gue jatuh cinta sama dia karena itu” Ceplos Rio. “Eh” Ucapnya sambil menutup mulut.
Ify terdiam, tertunduk malu mendengarnya.
Rio mengenggam tangan Ify erat. Dan mengangkat wajah Ify dengan telunjuknya.
“Gue kenal loe emang ga selama lagu yang dinyanyiin tadi. Tapi cukup membuat gue belajar. Apa arti sebuah kesempurnaan, apa itu arti saling melengkapi dan mencintai yang sebenarnya. Gue juga ga peduli seorang Ify yang dibilang bisu ternyata yang bisa nakhlukin hati gue, Mario Stevano, Gue Cuma mau mencintai loe apa adanya seperti Beethoven yang mencintai musiknya. Dibalik semua kekurangan yang ada, dia mampu menutupi semuanya dengan karya cintanya. Dan gue harap nantinya kita akan saling melengkapi terlepas dari kekurangan loe atau gue. Gue suka senyum loe, tapi gue benci air mata loe. Dan gue harap tadi pertama dan terakhir kalinya gue liat air mata loe. Loe juga melody malam yang selalu menyempurnakan Harmoni semesta gue. Fy, would you be my girl and be a missing piece I need?” Ucap Rio.
Ify menunduk wajahnya memerah, lalu mengangguk pelan. Rio ikut terdiam melihat jawaban Ify. Ingin segera hatinya meloncat saking gembiranya, tapi ada yang mengganjal dihatinya dan membuatnya memilih untuk bertanya.
“Jadi?” Tanya Rio.
“Apa?” Tanya Ify balik.
“Kenapa kamu harus berpura-pura bisu?” Tanya Rio.
“Karena aku memang mencari kesempurnaan yang sebenarnya” Jawab Ify sambil memandang langit.
Rio terdiam, melihat pancaran mata Ify yang memandang langit membuatnya bungkam, seakan ada yang ingin diceritakan.
“Dulu aku pernah berpikir kalo akulah Rasi Vega, bagian summer triangle berlambangkan harpa milik Orfeus. Ketika Orfeus mati ga ada yang pernah bisa membuat harpa itu bermusik lagi. Aku berpikir untuk membuat kisahku sama seperti Vega. Tidak akan lagi bersuara setelah kehilangan orang yang sangat berarti. Walau Orfeus lebih memilih Eridik sebagai pendampingnya, tapi pada Vega lah Orfeus berkeluh kesah sehingga membuat potongan kisah sendiri dalam diri Vega. Dulu aku pernah kehilangan Kak Gabriel, kakak kelas sekaligus sahabat aku. Aku menyukainya tapi justru dia berdampingan dengan Kak Zahra yang juga kakak kelas aku. Sampai akhirnya kak Zahra meninggal dalam kecelakaan pesawat, membuat Kak Gabriel frustasi sendiri. Aku jadi tempat curhat dia. Aku sakit, tapi tetap mendengarnya hingga akhirnya Kak Gabriel juga meninggal karena kecelakaan saat Balap Liar. Dari saat itu aku memilih untuk menjadi diam, Tidak ingin bicara kecuali orang terdekat.” Tutup Ify mengakhiri kisahnya.
“Apa yang membuat kamu berubah pikiran?” Tanya Rio.
“Kamu yang buat aku berubah, ucapan kamu saat berantem dengan teman kamu tadi. Menegaskan diri aku memang seorang Ify, bukan seorang Vega. Ucapan itu nyadarin aku” Jawab Ify.
“Enggg, kamu masih suka Gabriel?” Tanya Rio pelan.
“Gabriel bakal punya tempat tersendiri di hati aku. Dan kamu, punya ruang tersendiri untuk itu” Jawab Ify lagi.
“Kenapa memilih aku?” Tanya Rio lagi.
“Jawabannya sama kayak kamu memilih aku, kita sama-sama mencari arti kesempurnaan yang sebenarnya, Dan aku temuin itu dalam diri kamu. Dari awal kita kenal, sifat kamu yang ramah bener-bener buat aku nyaman. Padahal kalo orang lain pasti langsung bilang aku sombong ga mau nanggepin mereka. Kalo yang udah tau aku bisu pasti pada ngeledek” Unek Ify. “Tapi kamu beda, itu yang buat aku pilih kamu” Jawab Ify pada akhirnya.
“Ternyata aku ga salah pilih orang” Ucap Rio sambil tergelak dan mengacak poni Ify. Ify tersenyum manis.
“CIEEEE” Ucap Alvin dan Sivia dari belakang.
“Alvin, Via.. Kok disini?” Tanya Rio.
“Nih semenjak Ify cerita mau ketemu loe malem ini, gue nguntit” Jawab Sivia santai.
“Dan langsung ngehubungin gue buat nguji cinta loe ama Ify serius atau ga. Sialnya malah kena bogem loe” Ucap Alvin.
Rio cengo langsung aja ketawa ngakak “Aduh koko. Sumpah gue ga tau. Gue pikir loe beneran jadi gue kesel” Ucap Rio.
“Yee, gue juga diceritain Via kali tentang Ify makanya mau gue hina tentang kebisuannya juga ga bakal kena timpuk sepatu dari dia” Ucap Alvin santai
“Untung Yayang gue tercinta ini bawa P3K” Ucap Alvin lagi sambil merangkul Sivia.
“Kamu jadian sama dia Vi?” Tanya Ify.
Sivia nyengir.
“PEJEEE” Koor Rio.
“Loe juga” Ucap Alvin.
Semua tertawa. Rio merangkul Ify hangat. “Love youu” bisik Rio hangat.
Ify melepas rangkulan Rio dan membentuk tangannya menjadi “Love” menunjuk Rio “You” dan reflek mencium pipi kanan Rio “Too” bisiknya.
“Ciee” Koor Alvin dan Sivia.
Akhirnya kesempurnaan sebuah sebuah harmoni semesta semakin lengkap dengan adanya sang melody malam. Karena disaat yang bersamaan mereka saling mengisi dan membuat para penikmat malam terbuai akan sensasi manisnya..

The END :)Ancur ya?Maklum masih amatir,minta jejaknya boleh dong..Like dan koment yang berhubungan dengan cerita ini..Makasih..Cheers Trisil
 @tri_susilowati

[SHORT STORY] CINTA MATAHARI #SEKUELDIBALIKKISAH *FANFICTION OF RIFY MANIACS*

---
Seandainya kita..
Dicipta menjadi satu..
Pasti suatu saat..
Kita akan bertemu..
---

Kini aku kembali memandangnya. Hanya memandang untuk kesekian kalinya yang mungkin sudah menjadi kebutuhanku setiap harinya. Seperti bernafas, mungkin inilah diriku. Dirinya sebagai udara yang mampu menyejukkan dikala himpitan. Namun juga sebuah kesesakkan dalam menahan kerinduan.

Senyumku makin mengembang dikala dirinya berjalan riang bersama teman-temannya. Mengibaskan rambut indahnya dan menghempaskan poni didahinya. Mata beningnya mampu memancarkan kehangatan diantara canda tawa dihadapan para sahabatnya.

---
Seandainya kita dicipta..
Untuk tidak menjadi satu..
Walau dekat selalu..
Kau takkan pernah menjadi kepunyaanku..
---

Tunggu, ada yang mengusik pemandanganku kini. Ada sesosok laki-laki yang mengamit lengannya. Tak dapat kupungkiri, ada tatapan berbeda dari laki-laki itu. Bukan tatapan hangat dari sebuah pertemanan. Tapii... Ahh, kutepis semua rasa yang mengusikku saat ini. Hingga tanpa sadar, kuturunkan kaca mobilku dan menatap lekat-lekat sosok laki-laki yang kini bersama.. ehemm.. gadisku. Mencoba menangkap setiap kata yang terlontar dari bibir manis sang gadis dan sosok laki-laki dihadapannya.

Bodoh ! Terlalu jauh tempatnya dan tempatku. Disini, ditempat ini, sepertinya terjadi persempitan udara. Karena entah mengapa kesesakkan mulai merajai dadaku kali ini.

---
Mencintai..
Bukan bagaimana kita melihat..
Tapi..
Bagaimana kita merasakan...
---

Inikah yang disebut para remaja dengan CEMBURU? Apa? Cemburu? Apa berarti aku masih menyukainya seperti dulu? Mencintainya seperti saat itu? Inikah yang dirasakan gadis itu disaat aku bersama gadis lain? Jujur, sampai saat ini aku masih ragu dengan hatiku. Ragu dengan perasaanku terhadapnya. Aku selalu meyakinkan diriku jika dirinya hanyalah batas kekagumanku. Tapi, taukah kau? Hati kecil tak akan bisa berbohong. Aku mencintainya. Mencintai Alyssa Saufika.

---
Dalam setiap perjalanan..
Selalu saja ada rintangan yang sama..
Yang membedakan..
Adalah saat kau memilih..
Untuk menyerah atau bertahan..
---

Saat ini, kembali kuyakinkan diriku jika dialah yang terakhir. Memantapkan diriku jika dialah yang terbaik. Yah aku harus yakin. Aku mengangguk angguk sendiri meyakinkan janji dalam hatiku..
“Rio..” Tiba-tiba ada yang menyapaku.
“Dea?” Ucapku tertahan. Kaget karena sosok dihadapanku ini ialah cinta pertamaku waktu itu. Ingat semua sudah berlalu..
“Gue ga nyangka deh ini elo. Loe makin cakep” Puji Dea.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya, sambil berusaha mencuri-curi pandang kearah gadisku. Oh tidak! Gadis itu memilih pulang bersama sosok laki-laki yang tak kukenal. Damn! Aku terlambat.
“Liat apa Yo?” Tanya Dea sambil mengikuti arah pandangku.
Aku menggeleng cepat.
“Ah, lebih baik loe anter gue pulang yuk? Males gue panas-panasan” Pinta Dea manja.
Inilah kelemahanku, paling tidak bisa untuk menolak permintaan. Akhirnya dengan pasrah kulirik jok disebelahku mengisyaratkan Dea agar masuk dan duduk kedalam Trush hitamku.

***

---
Cinta sejati adalah..
Ketika dia menyakiti..
Kau masih peduli..
Dan ketika dia tidak peduli..
Kau masih menunggunya dengan setia..
---

Untuk kesekian kalinya aku melihat sosok dibalik baja hitam itu. Sosok yang awalnya kupikir menungguku. Tapi perkiraanku salah, dia menunggu sosok lain. Sosok gadis pertama dalam hidupnya. Sosok cinta pertamanya. Tentu saja bukan diriku.

---
Kadang tanpa kau sadari..
Orang yang kau sayang..
Adalah orang yang..
Paling sering menyakitimu..
---

Bodoh! Itulah kata yang tepat untukku saat ini. Masih mengharapkan dirinya. Mengharapkan sosoknya kembali hadir kehidupku. Mengharapkan hati seorang Mario Stevano untuk seorang Alyssa Saufika. Oh, keinginan yang bisa dibilang impossible ! Mengharapkannya saja aku butuh kekuatan untuk bertahan melawan ribuan hantaman ketika ada sosok gadis lain didekatnya. Untuk memilikinyam mungkin aku membutuhkan bantuan kaki orang lain untuk masih bisa berdiri ditempat.

---
Kuakui sosokmu semakin jauh..
Tapi tak bisa kupungkiri..
Rasa itu semakin dekat..
---

Inilah aku. Sosok gadis sederhana yang memiliki rasa yang luar biasa. Sosokmu begitu jauh, tapi mengapa selalu ada dorongan ketika aku memilih mundur? Kau terlalu tinggi, tapi mengapa selalu ada yang memaksaku bertahan disaat aku terhempas jatuh?

***

---
Jangan pernah berjanji..
Untuk sebuah kesetiaan..
Tapi berjanjilah..
Untuk sebuah perasaan..
---

Senyum itu hilang, berpendar dari wajah manisnya. Hey ! kemana senyum itu berhempas? Mengapa aku tidak dapat kembali melihatnya untuk hari ini? Dan, Hey ! Apa-apaan ini? Bahkan dirinya langsung memilih pulang bersama laki-laki yang kemarin mengantarnya.

Himpitan kesesakkan kembali memenuhi rongga paru-paruku. Kembali kuyakinkan diriku dirinyalah cintaku. Dirinya mampu bertahan saat itu. Mengapa aku tidak? Aku pasti bisa. Bisa setia untuknya. Menjaga perasaan ini untuknya.

***

---
Mencintai itu..
Bukan bagaimana kita melupakan..
Tapi bagaimana kita memaafkan..
---

Tak kupungkiri sekarang aku tak lebih dari seorang remaja galau yang bingung dengan perasaan yang kualami. Perasaan sesak itu kembali kualami setelah lama kulalui dalam mempertahankannya.

Tapi inilah aku. Kebodohanku nyatanya mampu meredam semua amarah yang menghimpit dadaku. Dan tak penah menutupi kenyataan. Maaf ini selalu ada untuknya.

---
Terkadang cinta butuh keegoisan..
Namun bukan sebuah kebutaan..
---

Egois. Salahkah rasa itu? Sebuah rasa yang besar untuk memilikimu. Menginginkan hatimu. Aku ingin egois jika untuk memilikimu karena aku begitu menginginkan hatimu.

Egois. Mungkin rasa inilah yang membuatku bertahan selama ini. Bertahan untuk mencoba kembali menjadi pemegang kunci hatimu. Aku ingin. Sangat Menginginkannya.

---
Kebahagiaan tetap dapat ditemukan..
Bahkan disaat tergelap..
Asal kita tidak lupa..
Menyalakan cahaya..
---

Aku meminta diturunkan Oleh Gabriel teman sekelasku dipinggir pantai ini untuk menenangkan diriku. Kurang dari satu jam aku melalui dua peristiwa yang mampu menyesakkan diriku. Pertama melihat tatapan tajam seorang pemuda yang telah lama menjadi penghuni hatiku serta pernyataan cinta dari seorang Gabriel, yang tentu saja langsung kujawab mantap. Aku menolaknya.

Sebenarnya tak akan pernah ada alasan yang tepat untuk menolak seorang Gabriel. Dia tampan, kaya, ramah, dan low profile, Hanya satu alasan ku menolak. Mario Stevano.

Kulangkahkan kakiku dengan ringan kearah pinggiran dermaga. Lalu merentangkan tangan dipinggiran dermaga. Mencoba menghirup oksigen mengisi bagian paru-paruku yang terasa sesak.

***

---
Mencintai seseorang itu mudah..
Bagian paling sulitnya..
Hanya ketika ia yang kamu cinta..
Tidak tercipta untukmu..
---

Aku memandang sang surya yang hendak kembali keperaduannya dipinggir dermaga. Indah. Satu-satunya kata yang terlintas dibenakku. Begitu terlihat damai walau lelah selalu menyinari alam dari fajar hingga petang.

Seperti dirinya yang berdiri tidak jauh dariku. Sang gadis Alyssa Saufika. Begitu namanya kurapal. Ya, aku mengikutinya ke dermaga ini. Dirinya begitu indah walau selalu menyinari diriku. Namun aku tidak berharap dia seperti sang mentari yang sulit kugapai dan kumiliki. Hanya mampu kupandang dengan batas seluruh kekagumanku.

Apakah dirinya untukku? Apakah hatinya masih milikku. Ya ! Aku harap seluruh pertanyaan itu dijawab dengan kata “Ya”. Aku berharap gadis itu tercipta untukku. Hanya diriku seorang. Alyssa hanya untuk Mario.

***

---
Cinta tidak akan menghilang..
Sekuat apapun kita memaksanya..
Cinta akan tetap disekeliling kita..
---

Rasa ini begitu sesak, memelukku erat, sangat erat. Bahkan keindahan sunset dihadapanku kini tidak mengurangi kesesakkan ini. Aku semakin benci rasa ini. Rasa yang membuat pernafasanku selalu tersenggal. Rasa yang mampu menghujam seluruh tubuhku.

Bagaimana membuat semuanya hilang. Sulitkah? Menghapus sebuah nama dengan tiga kumpulan huruf yang membentuknya dalam benakku. RIO. Ah nama itu. Mengingatnya saja sudah membuatku sesak. Membuangnya? Mungkin akan membuatku mati konyol karena tidak terbiasa hidup tanpa sensasi rasa yang selalu meletup jika mengingat namanya.

“Aku mau kamu hilanggggggggg..........” Teriakku tanpa memperhatikan keadaan disekitar, karena ketika aku datang dermaga ini benar-benar sepi. Pikirku sebelum ada sesosok tubuh yang menubruk punggung kecilku. Dengan tangan yang melingkar kepinggang dan leherku. Hembusan nafas yang benar-benar seperti menghirup seluruh sensasi dalam diriku. Wangi musk dari laki-laki yang kini memelukku menguar memenuhi indera penciumanku. Kupejamkan kedua mataku mencoba menikmati rasa nyaman dan keamanan  luar biasa dalam hati ini.

---
Sayang adalah perasaan tulus seseorang..
Tanpa paksaan, Tanpa syarat..
Yang ada hanya pengorbanan..
---

AUTHOR POV :D

Entah sudah berapa lama Rio dan Ify bertahan dalam posisi seperti itu. Mungkin mereka akan lebih memilih waktu berhenti saat itu, agar tetap bersama.
Ify melepas lebih dahulu pelukan dari Rio, lalu berbalik menghadap kearah Rio. Senyuman manis milik Rio lah yang kini didapatinya.
            “Ri..”
            Terlambat Rio memotong panggilan Ify terhadapnya dengan telunjuk miliknya dibibir Ify. Dilanjutkan dengan membelai lembut pipi Ify. Sambil terus memandang wajah manis ukiran sang Maha Pencipta dihadapannya. Tidak jauh dengan Ify. Ify pun menelusuri lekuk tegas pahatan sang Penguasa alam dihadapannya. Rio kembali menarik Ify. Kembali mendekap sang gadis untuk kedua kalinya.
            “You are my dream, when I’m not sleep. And Your Heart are my best friend everywhere I’ll be there. Love You” bisik Rio lirih.
Ify menarik dirinya. Kaget dengan bisikkan Rio.
            “You not trust me?” Tanya Rio.
            Ify menggeleng polos.
Rio melengos. Ada ide jahil dibenaknya untuk membuktikan cintanya. Rio kembali menaruh tangannya dipinggang Ify, menarik Ify kedalam dekapannya. Menghapuskan seluruh jarak diantara mereka berdua. Mengunci tatapan Ify kepadanya. Serta mendekatkan wajahnya ke wajah manis Ify.
            “Aku percaya” Ucap Ify cepat, sambil menarik dirinya kembali dari pelukan Rio. Ify melihat Rio yang melengos. Huh, tidak taukah Rio, bila kini jantung Ify bekerja lebih ekstra saat didekat Rio? Dan darah Ify seperti jauh lebih cepat mengalir dibanding biasanya. Tiba-tiba suatu pikiran melintas dibenak Ify.
            “Udah sama siapa aja kamu ngelakuin itu?” Tanya Ify, entah mengapa pertanyaan itu malah meluncur dari mulutnya.
Rio mengangkat sebelah alisnya bingung, sejenak berpikir lalu tersenyum manis dan kembali menghadap kearah Ify “Just with you.” Ucap Rio santai.
“Hah? Kapan?” Protes Ify, karena merasa memang belum pernah melakukannya (re : kissing) dengan Rio.
Rio memainkan alisnya nampak seperti berpikir. Dengan gerakan cepat Rio langsung menarik tangan Ify. Menarik tubuh Ify kedekapannya serta mengecup cepat bibir manis Ify dengan bibirnya. “Barusan” Jawab Rio santai menjawab pertanyaan Ify barusan lengkap dengan senyuman mautnya tanpa dosa.
“Rioooo” Ucap Ify sambil memukul pelan bahu Rio dengan tangannya.
“Hehe, ampun Fy” Ucap Rio sambil melindungi tubuhnya dari serangan Ify. Dan berusaha menangkap tangan Ify.
“Rese banget sih kamu” Ucap Ify sambil terus mengerahkan agresinya.
“Yaudah deh, maaf-maaf. Tapi bener kok baru sama kamu” Ucap Rio setelah berhasil menahan agresi Ify.
“Ihh, bohong banget. Gak percaya” Ucap Ify ngambek sambil memanyunkan bibirnya dan melipat kedua tangan didadanya.
“Dih, bibirnya mau lagi tuh” Goda Rio sambil menarik turunkan alisnya.
“Ga!” Ucap Ify galak lalu membuang pandangannya ke arah laut.
Rio terkekeh “Terus jawabannya apa?” Tanya Rio.
“Jawaban apa?” Tanya Ify sinis.
“Sinis banget sih kamu” Ucap Rio.
“Lah, kamu yang ga jelas” Ucap Ify Jutek.
“Jutek banget sih, heran aku bisa suka bahkan cinta sama kamu” Ucap Rio frustasi.
“Siapa suruh? Lagian emang kamu nanya?” Tanya Ify melunak.
Rio menatap Ify dalam. Lalu menarik tangan Ify dan diletakkan didada bidangnya.
“Aku mungkin bukan cowo romantis yang kamu kenal, aku mungkin belum ngasih sesuatu yang terbaik untuk kamu, dan Aku juga bukan orang yang selalu didekat kamu seperti cowo yang tadi nganter kamu..” Ucap Rio terhenti yang membuat Ify tersentak.
“Tapi aku disini, berdiri sebagai seorang Mario. Dihadapan seorang Alyssa Saufika dan disaksikan seluruh alam yang ada. Detak jantung aku yang sekarang kamu rasain detakkannya, perlu kamu tau ini semua terjadi saat kamu disamping aku, saat aku menatap kamu. Kamu emang bukan yang pertama tapi aku yakin kamulah yang terakhir.” Ucap Rio sambil menatap tajam manik mata Ify dengan tatapannya. Ify menunduk, bening ketulusan dari manik mata dihadapannya membuatnya tidak sanggup berkata-kata.
Rio mengangkat wajah Ify dengan telunjuknya, membuat Ify mau tidak mau kembali menatap mata Rio.
 “Alyssa Saufika, Would you be My Last Girl? Be a part and of my life?” Ucap Rio.
Ify melepas tangannya yang digenggam Rio dengan cepat. Rio menatap Ify yang telah membuang muka dengan perasaan was-was.
“Aku...” Gumam Ify pelan terdengar lirih dalam bicaranya namun masih tertangkap dari pendengaran Rio.
“Tell me why do you love me?” Tanya Ify.
“Nothing, aku ga mau mencintai kamu dengan sebuah alasan dan sebagainya. Aku ga mau berhenti mencintai kamu hanya karna ada salah satu alasan yang hilang” Jawab Rio tegas.
Ify menatap Rio, mencari ketulusan didalam mata tajam itu. Ify menemukannya.
“Love doesn’t a reason, but relationship needs more than a reason” Argumen Ify.
“Coz I love you and I just wanna together with you on two times, Now and Forever. The Last, I need you be a part of my life and my friend for my heart” Jawab Rio mantap.
Ify tersenyum puas dengan jawaban laki-laki dihadapannya sebelum akhirnya menubruk tubuh Rio dan mendekapnya erat.
“I just a little girl with a broke smile. So don’t try so hard to say good bye.  And I hope you will be there for me in the end” Bisik Ify dalam dekapan Rio.
“I promise, I will love you forever and you will be the last my girl in my life. Love you Alyssa” Ucap Rio mempererat dekapannya.
“Me too”

***

Matahari terbenam mampu menjadi saksi cinta..
Meskipun cintaku tak ingin seperti sang surya yang dapat tenggelam..
Tapi cintaku tak kan pernah padam..
Seperti Sinar matahari yang kembali pada esok harinya..

-Mario-

***

Love is like playing piano..
First, you learn to play it by rules..
Then, you forget the rules..
And start playing..
From your heart..

-Alyssa-

***

Buatlah dirimu berharga dihadapan satu cinta..
Tanpa ada cinta lain yang mengganggunya..
Seperti aku kepadanya..

- Mario & Alyssa –

***

Ancur? Parah? Emang!
Maaf deh buatnya ngebut -___-
Oh ya disini aku mau buat konferensi pers (??)
Aku Cuma mau TEGASIN ini BUKAN CURHATAN !

Oke?
Gondok deh disekolah ampe diledekkin karena cerpen gaje ini =,=
#curhat
Dan ini udah end, ga akan lagi ada sekuelnya oke?
Ucapan terimakasih aku tujukan kepada
Para readers yang udah mau baa cerpen gaje ini baik pertama atau yang ini
Para readers yang like n comment di cerita sebelumnya..
Aku kasih deh penghargaan setinggi-tingginya buat kalian,
Karena ga jadi pembaca gelap,
Jadi untuk para readers yang masih silent, please kasih like comentnya dong..
Kalo ga suka maki-maki aku juga gapapa..
Kalo suka jangan Cuma bilang keren #PLAK *gue pede berat -__-* aku tunggu comentnya..
Aku juga mau bilang puisi atau kata-kata yang ada dicerpen ini dan sebelumnya aku dapat dari Khalil Gibran yang udah diubah dikit *jangan marah ya*, dari temen *special thanks deh* dan buatan pribadi *bangga :P*
Udah segini aja curhatnya.. Please like dan coment saya tunggu, makasihh : )


Follow my tweet..
@tri_susilowati

Cheers

Tri Susil :*

NB : TACI pending dulu ya, bingung ga punya feel nya -__- frustasi juga, TACI kalah pamor sama cerpen aneh ini =.=. Thanks !

[SHORT STORY] DIBALIK KISAH *FANFICTION OF RIFY MANIACS*

---
Jika hidup..
Masih dapat dijalani secara pasti..
Kuyakin disitulah kau berpegang padanya..
---

Mentari dari ufuk timur dengan rona merahnya sepertinya masih belum mau berhenti menyinari sang bumi. Pesona gradasi warna langit menjelang pagi dan rona kemerahan yang ditimbulkannya seperti memberikan semangat tersendiri untuk menjalanlankan hidup ini. Seperti pagi yang biasanya disaat aku kembali terbangun disetiap paginya untuk bersiap menghadapi tantangan hari ini dan berikutnya serta menutup kisah tantangan dihari sebelumnya.

“Dek, sarapan dulu sebelum berangkat..” Pesan Ayahku yang selalu kudengar setiap paginya.

“Nanti aja Yah disekolah, adek buru-buru, Maaf Yah” Jawaban yang selalu aku berikan ketika Ayah menyuruhku sarapan. Ayah hanya menggelengkan kepala yang kusambut dengan menyambar tas dan punggung tangannya untuk kucium.

“Aku berangkat. Assalamualaikkum” Pamitku dari depan rumah.

Yah, tidak perlu repot membawa kendaraan untuk sampai disekolahku yang hanya berjarak 50 m dari rumah. Tak perlu juga berhias sebuah mobil mewah untuk sebuah sekolahku yang cukup sederhana namun menyimpan keluarbiasaan dalam prestasinya. SMK Fairilies Jakarta.
Aku adalah seorang murid SMK. Bukan SMA dikebanyakkan cerita indah lainnya. Bukan seorang murid yang turun dari sebuah Livina berhiaskan rambut keriting gantung sebagai mahkota. Aku adalah aku. Seorang gadis biasa yang hidup dikalangan sederhana. Dan berusaha menjadi biasa sebagaimana mestinya. Aku seorang anak ketiga dari 3 bersaudara ups! Ralat ketiga dari 4 saudara. Mengapa bisa?

---
Hidup memang sebuah cerita...
Cerita yang bisa kutentukan alurnya...
Namun bukan Akhirnya...
---

5 Tahun setelah kepergian ibuku dikarenakan kanker, ayahku memilih mengakhiri masa dudanya dengan menikah dengan wanita lain yang sudah memilik 2 orang anak laki-laki. Tentunya ini semua atas persetujuanku dan kakakku. Lalu bukankah dua orang itu merupakan saudara tiri? Bagaimana aku bisa menjadi 4 bersaudara?

4 tahun setelah pernikahan dengan istri keduanya. Ayah membuatku  memperoleh seorang adik perempuan. Yang mana kelahirannya membuat posisiku sebagai anak perempuan satu-satunya tergeser secara terhormat. Belum lagi karena ibu tiriku memperoleh anak perempuan pertamanya (adikku), tekanan dari pihak keluarga ibu yang tidak suka denganku dan ayah semakin bertambah karena kepergian dari dunia mbah tiriku yang menerima kami.
Oke, kisahku dalam keluarga memang begitu sadis, seperti cerita sinetron. Tapi ini bukanlah sinetron yang masih bisa dibuat happy end. Bahkan aku tak tahu kapan ini semua berakhir. Aku memang meiliki 2 kakak kandung. Tapi kakak pertamaku lebih memikirkan dirinya sendiri ketimbang aku dan ayah. Sedangkan kakakku yang kedua sudah menghadap kepada Yang Maha Kuasa karena penyakit paru-parunya.

Yah mungkin hanya itu sebagian kisah dari latar belakang keluargaku mengapa aku tumbuh menjadi gadis yang mungkin bisa dibilang independent. Ingin berdiri sendiri diatas usahaku. Tidak ingin merepotkan orang lain walau itu hanya sebatas meminjam pulpen. Aku terus berusaha meyakinkan diriku aku TEGAR dan KUAT!!

---
Bukan untuk terlihat hebatlah tujuanku...
Hanya ingin memperlihatkan..
Akulah aku...
Seorang yang berusaha tegar dan kuat...
---

Disekolah, aku hanya dikenal sebagai sosok yang ceria dan gemar bercanda dan ehmm, bukan bermaksud sombong. Aku juga dikenal sebagai murid berprestasi. Siapa sih yang tidak mengenal aku, seorang ALYSSA SAUFIKA yang kerap disapa IFY. Seorang Juara pertama LKS (Lomba Keterampilan Siswa) kompetensi Akuntansi dan menjabat sebagai ketua Jurusan disemester keduanya disekolah itu. Aku bukanlah seorang anggota Osis yang gemar pamer jabatan tapi tidak mampu mengubah keadaan sekolahku yang terkesan kaku. Aku adalah seorang siswa biasa yang selalu menampakkan wajah cuekku tanpa memikirkan beban tentang keluargaku sendiri. Bahkan demi tidak inginnya melihat orang lain repot karenaku, saat SMP aku rela belajar Beladiri Karate untuk melindungi diriku sendiri.

Disaat remaja seusiaku menikmati indahnya masa remaja mereka tanpa beban seperti yang ada dipundakku. Sibuk dengan segala dandanan dan kebiasaan bersolek ria dikelas, maklum siswi SMK. Bahkan saat aku piketpun sampah terbanyak adalah rambut-rambut rontok dari sisiran ‘halus’ mereka sepanjang hari. Dan disaat mereka bermanja-manja dipeluk seorang kekasih mereka atau bahkan penyakit labil yang sering menimpa remaja seusia kamu yaitu galau karena cinta. Akupun masih tetap cuek, tidak begitu peduli maupun tertarik untuk ikut-ikutan mereka.

Hey ! jangan mendugaku tidak normal dahulu ! Aku tetap gadis normal dibalik sikap cuekku. Bahkan jika ingin bermain masalah hati. Aku teramat pandai menyimpan dan menata semua sendiri. Tidak butuh seorang sahabat untuk diajak bertangis-tangis ria saat aku berduka. Cukup aku, dan hatiku yang mengetahuinya. Baiklah, akan kuceritakan kisahcintaku. Kisah yang mungkin kalian pikir setelah membacanya adalah sebuah kasus Cinta Monyet. Tapi kalian salah ! Entah ada alasan apa, aku memilih tetap mempertahankannya.

Kisah berawal ketika kelas 5 SD. Ketika aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda mungkin disalah satu bagian dalam diriku. Hati. Mampu membuat tersenyum geli ketika mengingat tentangnya, mampu membuat terbang tingii mengenang senyumnya. Wajahnya, senyumnya, tutur katanya, sifat coolnya, benar-benar terpatri secara detail didalam hati ini. Terlalu berlebihan mungkin untuk seorang anak disekolah dasar. Tapi itulah cinta. Takkan pernah mengenal usia, jika sang amore telah mengembangkan sayapnya untuk membidik panah cinta.

Hingga semua berakhir, berakhir tanpa ucapan cukup sampai disini, berakhir tanpa adanya kata-kata putus diantara kedua pihak. Aku dan dirinya. Memilih berkomitmen menjalankan hidup masing-masing, berkonsentrasi pada space pribadi. Komitmen yang entah saat ini masih diingatnya atau tidak. Komitmen yang mampu membuatku terbang dan terjatuh disaat bersamaan. Komitmen yang menyimpan sejuta asa dan kekosongan dan Komitmen mampu mengisi kekosongan hati.

---
Ketika semua berjalan...
Seperti yang tidak kuharapkan...
Aku memilih...
Setiaa...
---

Sekolah Menengah Pertama, dimana sang dewi amore semakin gencar membidikkan panah-panah cinta. Disinilah aku kembali bertemu dengannya. Tapi aku merasa perubahannya. Perubahannya terhadapku. Sikapnya dulu yang bersahabat, kini bak ditelan bumi. Selidik kuketahui. Dirinya kini resmi menjalin hubungan yang dikenal dengan berpacaran dengan teman sekelasku Ashilla Zahrantiara. Shilla panggilannya, gadis manis bertubuh ideal bak model yang bisa disebut kelas perfecto untuk para kaum adam. Dibandingkan aku? Tidak! Aku adalah aku, dan Shilla adalah Shilla tak akan pernah ada persamaan. Karena kami berbeda ! Dan aku istimewa, karena bisa mengistimewakan diriku.

---
Senyummu hilang...
Namun kau tetap bertahan...
Menambah keyakinanku...
Untuk bertahan terhadapmu...
---

Kisahnya terus berjalan dengan temanku Ashilla. Namun hubungan memang selalu dibumbui dengan asam garam yang juga disebar para amore selain panah cinta. Kadang hubunganmu merenggang, kadang pamer kemesraan. Dan semua bertahan hingga habisnya masa-masa putih birumu. Dan berakhir pula hubunganmu dengan Shilla dengan terlontarnya kata PUTUS dari mulutmu.
---
Percayalah...
Saat terlepasnya sebuah panah dalam hatimu...
Sesungguhnya sudah tercipta ribuan panah...
Yang siap berubah menjadi kunci hatimu...
---

Kita berpisah. Saat putih abu-abu menyambut kita. Kau dengan SMA Rofvera mu dan aku dengan SMK Fairilies ku. Aku mengingatnya, mengingat dengan jelas komitmen itu, yang entah tanpa sadar membuatku mati rasa dan masih bisa menerimamu.

###

---
Cinta adalah keindahan...
Tapi tak semua keindahan...
Memiliki arti cinta...
---

Aku berani bertaruh atas nyawaku, akulah lelaki terbodoh yang pernah menyianyiakan cinta dihatiku sendiri. Aku hanya mampu melihat keindahan semu yang tidak kudapat dari dirinya. Tapi dengan dirinya juga membuatku sadar, dirinyalah cintaku, yang memiliki keindahan dari ketidaksempurnaannya. Yang memiliki keluarbiasaan dibalik kesederhanaannya.

---
Ketulusan adalah...
Saat kau mengabdi pada satu hati...
Dan setia pada satu nama...
---

Itulah yang kudapat darinya untukku. Disaat ada orang lain yang menawarkan cinta untuknya, dia menolak. Bukannya aku terlalu percaya diri. Dirinya pasti mengingatnya, mengingat semua komitmenku padanya. Tapi apa yang kuperbuat? Dengan bodoh aku memusuhinya demi ambisiku agar dapat berjalan sempurna. Aku memilih seorang wanita yang salah. Aku pikir semua wanita memang butuh limpahan cinta dan curahan kasih sayang dan perhatian yang luarbiasa. Namun aku salah, mengartikannya. Memberikan perhatian yang luarbiasa membuatnya bergantung. Limpahan cinta dan curahan kasih sayang berlebihan membuat mereka manja. Inilah yang tidak kutemukan dari dirinya. Dari diri seorang Alyssa Saufika. Wanita yang luarbiasa dimata dan hatiku. Bukan hanya dimata yang hanya keindahan semu sementara. Aku mengetahui tentang dirinya karena dirinyalah sahabatku sebelum menjadi pemegang kunci hatiku.

---
Banyak cara yang ditunjukkan untuk mencinta...
Terkadang cara tersebut sukar dimengerti...
Seperti caramu...
Dan inilah caraku...
---

Pemikiran bodoh saat aku menuduhmu tidak lagi peduli padaku karena senyummu selalu menyambutku saat aku berangkulan dengan gadis lain. Dan Tindakkan terbodohku saat itu adalah memusuhimu! Tapi dengan manisnya kau tetap tersenyum dan beramah-tamah dengan gadisku saat itu. Perlu kau tahu sekarang, tindakanmu saat itu berhasil menambah tabungan rasa bersalahku sampai saat ini.

Kini, aku hanya dapat memandangmu dari balik gerbang hijau Fairilies. Memandangmu saat kau pulang sekolah sambil tertawa ceria bersama teman baikmu. Memandangmu dibalik trush hitam milikku. Memastikan dirimu baik-baik saja hingga kedalam rumahmu. Ya, mungkin inilah caraku, cara seorang Mario Stevano menjaga Alyssa Saufika.

###

Tri Susilowati

Selasa, 01 April 2014

That's All Cause Ify Part 39A



“Gue disini Fy” Ucap Gabriel dengan nafas terengah.
Semua yang ada didalam ruangan langsung menoleh kearah pintu.
“Iel” / “Kak Iel”
“Cakka??” Sahut Alvin begitu melihat sosok dibelakang Gabriel. Cakka mengangguk.
Gabriel langsung menggelengkan kepalanya cepat. Memberi isyarat agar tidak membicarakan sesuatu yang tejadi padanya dihadapan Ify. Semua membungkam. Gabriel menyeret langkahnya kearah Ify.
“Gimana keadaan loe?” Tanya Gabriel lembut sambil membelai rambut Ify.
Ify mengernyit sedikit, rasa nyeri menderanya, dan Gabriel menangkap. Ya Tuhan.. seberapa parah keadaan adiknya sekarang?
“Maaf” Ucap Gabriel menyesal.
“Bukan salah elo kok” Ucap Ify lemah, meski bingung dengan ucapan Gabriel.
“Salah gue Fy” Ucap Gabriel sambil menundukkan kepalanya.
“Kalo emang loe salah, gue minta jangan salahin diri loe sendiri untuk dapat maaf dari gue” Sahut Ify sambil tersenyum.
Gabriel memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafas untuk melegakan paru-parunya dan mengangguk pelan.
“Malam ini Ify harus terbang ke Singapore untuk perawatan lebih lanjut. Loe dating disaat yang tepat Yel.” Jelas Alvin.
Gabriel menoleh kearah Alvin menuntut penjelasan lebih.
Alvin menggeleng lemah, tidak mampu menjelaskan apa yang tadi didengar dari mulut Dokter Tian dan Dokter Evan.
Ify menutup matanya melihat reaksi Alvin. Separah apa keadaannya? Jika memang ini saat terakhir Ify hanya ingin bersama semuanya, tidak disana yang hanya sendirian. Matanya terbuka, menatap satu persatu orang yang terus didekatnya. Ingin berusaha menggapai meraka semua namun keadaannya tidak memungkinkan. Secepat inikah?

***

“Pokoknya biar loe nanti jauh dari gue, biar nanti kita udah gak ada waktu ngegosip lagi, biar kita udah gak saling lempar bantal ke muka masing-masing lagi. Dan banyak hal lain yang dulu sering kita lakuin bareng-bareng.” Sivia menghela nafas, mengatur gejolak yang begitu kuat menguasai perasaannya. “Inget gue Fy. Via. Gue bakal tetap jadi sahabat elo yang paling deket. Bahkan angin pun gabakal gue kasih ijin ngebuat jarak diantara gue sama loe. You’re my best friend Fy” Sivia sekuat tenaga kembali menyembunyikan raut sedihnya. Berpisah dengan Ify bukanlah sesuatu hal yang mudah. Apalagi akhir-akhir yang begitu berat hanya ada mereka berdua. Bukan berlima seperti seharusnya.

Ify tersenyum  kecil. Sivia sahabatnya kini. Ketika yang lain memilih meninggalkannya, hanya Sivia yang tetap memilih disampingnya sebagai tempat berbagi cerita. Bahkan lengkungan bibir Sivia tetap tidak menutupi gurat kesedihan yang justru tampak jelas dimatanya.

“Udah dong. Loe jangan lebay gitu Vi. Gue pasti tetap balik kok” Cengir Ify. Seluruh sisa tenaga terakhirnya saat ini harus untuk mengakhiri pertemuannya dengan orang-orang penting terdekatnya. Dia tidak akan menyianyiakan waktu lagi. Hanya ini yang bisa  ia lakukan. Batinnya.

“Lagian ya. Siapa sih yang betah denger ocehan loe tentang ‘Alvin begini Fy. Alvin begitu Fy. Dia rese sih. Kadang  php juga. Eh Alvin kecilnya suka main layangan ya? Doyan amat tarik ulur orang?’ selain gue?” Cerocos Ify sambil menirukan gaya Sivia yang langsung sukses membuat wajah sang pemilik gaya merah padam.

“Dia cerita gitu ke elo Fy?” Tanya Alvin sambil menunjuk Sivia.

Ify nyengir sambil mengacungkan dua jari tanda perdamaian kearah Sivia yang menatap tajam dirinya.
“Aduh Vii, Ify lagi atitt nii. Jangan diapa-apain yah” Ucap Ify agak membungkuk badannya berpura-pura sakit untuk meredakan tatapan sewot Sivia.

Sivia mendengus kasar. “Oke. Untuk kali ini loe bebas.”

Ify menghela nafas lega, dan kembali menormalkan badannya seperti semula.

“Jangan seneng dulu” Cibir Sivia. “Ini gue anggep hutang. Jadi, loe wajib balik dalam keadaan sehat wal’afiat biar gue bisa ngebully loe unlimited sampe gue puas!” Ancam Sivia. Namun matanya memancarkan ketulusan. Seakan-akan kesembuhan Ify adalah pengharapan terbesarnya sekarang.
Ify tersenyum tipis. Tidak mau menjanjikan apa-apa. Sadar, banyak janji-janjinya yang terdahulu luput dari penepatannya.
Sivia menghela nafas pelan. Mengerti jika Ify tidak memberikan jawaban apa-apa. Mengerti bahwa Ify pun tidak mampu lagi menebak apa yang terjadi kedepannya setelah ini. Sivia hanya mampu berdoa dalam hati. Semoga yang terbaik untuk Ify selalu tetap dilimpahkan untuk gadis berdagu tirus ini.

“Gue cuma mau minta maaf atas semuanya kak. Terutama soal abang gue. Gue gak bisa berbuat apa-apa, termasuk negur dia. Gue mewakili dia kak untuk minta maaf semua ke elo. Atas apa yang dia lakuin sama loe hari ini. Bahkan kemarin-kemarin ketika dia gak menyadarinya.” Ucap Ray semakin lirih, ia menunduk, tidak tau lagi apa kata-kata yang akan disampaikan.

Mendadak dada Ify terasa sesak. Ray memang tidak menyebut nama dalam ucapannya tadi. Tapi membayangkan siapa orang yang dimaksud Ray tetap membuatnya kembali merasa sakit dengan sebab yang bahkan dia sendiri tidak tau apa pastinya. Ify mengatur nafasnya pelan. Berharap kumpulan oksigen dapat segera memasuki paru-parunya untuk mengatur darah yang terpompa hingga ia mampu mengatur emosinya kembali tanpa ada satupun orang diruangan itu yang mengetahui perasaannya kini.

Namun perkiraan Ify tidak tepat. Semua orang langsung mengerti dengan luka yang dilukiskan matanya saat ini. Terbukti dengan Gabriel yang seketika mengelus puncak kepalanya yang langsung menghadirkan sensasi menenangkan tersendiri untuk Ify.

Ify tersenyum. “Gak ada yang salah Ray. Tanpa perlu ada permintaan maaf semua juga akan tetap sama. Gue pun gak akan marah dan menghakimi siapapun. Terimakasih ya.” Ucap Ify tersenyum tulus.

Kini bukan hanya Sivia yang sudah dari tadi mengeluarkan air mata. Para jagoan pun sudah mulai memijat kening tengah mereka untuk menghentikan pompa kelenjar air mata mereka yang sudah mulai bekerja. Bukan mereka merasa gengsi untuk menangis kali ini. Namun mereka sudah berjanji untuk berusaha tegar dan memberikan semangat kepada Ify untuk menjalani pengobatannya. Bukan kesedihan yang hanya memberikan dampak pesimisme untuk gadis itu.

“Balik dalam  keadaan sehat ya kak. Gue belum sempet pamer sama dunia kalo gue punya kakak terhebat kayak elo” Ucap Obiet dengan suara serak.

Ify tersenyum kecil. “Kakak terhebat loe tetap Shilla. Dan akan tetap Shilla. Gue emang nganggep loe adik gue sendiri, tapi gue gak ngerasa hebat. Kalo cantik sih, iya.. gue selalu ngerasa malah” Cengir Ify memamerkan deretan gigi yang dibehel dengan kawatt biru.

Yang lain hanya mampu menggeleng melihat kemampuan Ify bersandiwara kali ini. Bukan hanya untuk dirinya. Tapi untuk orang-orang disekelilingnya. Sandiwara mereka yang sehat justru kalah dengan Ify yang masih saja memamerkan senyum manisnya saat ini.

“Keep spirit and keep strong like Ify who I know ya Fy. Baik-baik disana. Ikut aturan dan jangan ngatur lagi. Loe rival basket cewek terbaik yang gue punya selain Agni. Loe harus balik dan tanding basket lagi by couple ya. ” Cakka menghentikan kata-katanya. “Loe dengan Gabriel tentunya.” Lanjut Cakka sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Meski agak kaget dengan kemunculan Cakka, Ify memilih tidak mempedulikannya. “Taruhan ya. Yang cape duluan nanti harus traktir rivalnya selama sebulan” Ujar Ify sambil mengerlingkan matanya.

Cakka mengernyitkan dahi menandakan penolakan halus.

Gabriel menoyor kepala Ify pelan. “Otak loe lebih cocok jadi bandar judi daripada jadi orang pesakitan gini” Keluhnya.
Ify nyengir. “loe mau makan Gratis gak sih. Gue buka jalan nih” Ucap ify berbisik, meski tidak mirip bisikan karena suaranya tetap terdengar oleh yang lain.
“Sekarang lebih mirip mafia.” Cibir Deva.
“Brisik loe setan bali. Nikmatin aja, lo dapet jatah setengah-setengah gue sama Iel deh” Sahut Ify.
“Yah demi kebaikan 3 bersaudara ganteng dan cantik ini. Gue rela deh diajak komplotan” Pasrah Deva.
“Haram begoooooo” toyor Obiet dan Ray dari kanan dan kiri Deva.
“Kalian dapet jatah juga deh” Tawar Deva.
“Nah gitu dong” Ucap Ray sambil merangkul Deva.
“Ini baru namanya rejeki. Halal deh Dev” Ucap Obiet dengan cengiran diwajahnya.
“Loe pada samaaa” keluh Alvin.
Via pun ikut tertawa karena tingkah laku orang dihadapannya. Sambil menghapus sisa jejak-jejak air matanya, gadis itu mulai mengembangkan senyumnya.
Ify mengukirkan senyum terbaiknya, lega telah mengukir senyum diwajah orang-orang disekelilingnya sekarang. Jika dia boleh sedikit berharap, hentikan waktu sampai detik ini saja. Dimana semua senyum mampu menghiasi kebahagiaan kecil disekelilingnya.
“Terus berusaha sembuh untuk kita semua ya Fy.” Ucap Alvin sambil memandang dalam kearah Ify, tangannya mengusap pelan puncak kepala Ify. Gadis yang tadinya sempat merebut hatinya, dan masih merebut hatinya untuk dijadikan seorang adik.
Ify hanya mengangguk pelan. Sekali lagi dia tekatkan dalam hatinya untuk tidak berjanji apapun lagi.
“Gue tau loe gak mau berjanji apa-apa lagi” Alvin seperti membaca pikiran Ify. “Tapi gue minta. Kita semua mau loe tetap optimis.” Alvin tersenyum. “Kadang hidup kayak sebuah pertandingan basket. Kita bisa menang, namun ada saatnya kita harus kalah.” Alvin menghela nafas. “Tapi disaat kita tetap optimis dan berusaha, kita akan kembali menjadi pemenang bukan?”
Seluruh orang yang ada diruangan mengangguk membenarkan ucapan Alvin. Termasuk Ify.
“Loe harus balik dalam keadaan sehat. Atau gue bakal nganggur seumur hidup setiap pagi karena gak ada kebo yang harus gue bangunin.” Sahut Deva.
“Loe doain kok ngehina gitu sih” Ringis Ify.
Deva nyengir.
“Iya.. iya.. kakak gue yang cantikk. Loe masih banyak utang berantem sama gue. Jadi loe wajib balik” Pinta Deva tulus.
“Oke, kita rekap semuanya kalo gue balik nanti” Ify mengarahkan pandangannya kearah Gabriel yang paling dekat dengannya. “Loe gak ada pesan apa-apa buat gue?”  Tanya Ify.
Gabriel mengangkat sebelah alisnya. “ngapain amat? Loe tengil sih. Dipesenin kebanyakan dilanggar. Jadi daripada mulut gue berbusa sia-sia untuk nasehatin loe mending gue langsung berdoa kepada Yang Maha Kuasa biar loe cepet dapet hidayah biar gak tengil lagi”Jawab Gabriel.
Ify mencibir.
Sebenarnya bukan tidak ada yang ingin disampaikan Gabriel, tapi semua, meski terlihat jelas, masih terasa samar untuknya. Banyak ketakutan yang harus mati-matian disembunyikannya tentang kepergian Ify nanti.
“kalo emang loe gak ada pesen buat gue. Biar gue yang pesen buat loe” Suara Ify mengembalikan Gabriel kea lam sadarny.
Gabriel hanya mengangkat sebelah alisnya mengisyaratkan pertanyaan “Apa?”
“Jangan bego lagi ya twin. Kejar apa yang harus dikejar. Sebentar lagi gue gak ada disini. Loe harus dapetin yang selama ini belum loe dapetin karena loe lebih ngebelain memilih gue. Loe bebas. Inget, penentu akhir cerita ini bukan hanya gue. Ada tokoh  lain. Dan mungkin gue cuma sampai disini. Tapi siapa yang tahu?”
Gabriel memandang lekat Ify, seraya mencerna apa yang dikatakan adiknya. Yang lainpun sama, perkataan ify untuk Gabriel seperti pesan tersirat yang entah apa maknanya.

“Viaa” Panggil Ify lirih sambil mengulurkan tangannya. Sivia lebih mendekat kearah Ify sambil menyambut uluran tangan gadis itu. Tangan Ify yang terasa dingin menggenggam begitu erat tangan Sivia.
“Rasa sakitnya seperti ini Vi” Ucap Ify pelan namun genggaman tangannya semakin erat diletakkan diatas perutnya. Bisa dilihat tangan Sivia agak memerah karenanya. Titik bening mulai membentuk sebuah aliran di pipi putih Sivia.
“Waktu itu loe minta gue untuk genggam balik tangan loe hanya untuk mengalirkan rasa sakitnya.” Ify tersenyum lemah, pelan, tenaganya sudah terkuras banyak. “Rasanya semakin sakit”
Sivia menggeleng cepat untuk menguatkan perasaannya.
“Vin..” Panggil Ify kepada Alvin yang langsung mendekat kepadanya. Genggaman tangan kanannya pada Sivia seketika melemah. Tangan kirinya berusaha menggapai tangan Alvin dan menumpukannya pada tangan Sivia yang digenggamnya tadi.
“Terus jaga sohib gue kayak gini ya Vin.”
Alvin hanya mengangguk pelan. Perasaannya mulai tidak karuan sekarang.
“Kka” Cakka langsung mengambil posisi disamping Alvin, tangannya ikut menggengam tangan Ify.
“Titip Agni ya. Salam untuk Ozy untuk jaga Acha juga” Cakka hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, meyakinkan Ify ia pasti akan menjalankan pesan gadis itu baik-baik.
“Biet” Obiet mendekati Ify sambil menunduk, namun tetap menumpukan tangannya diatas tangan yang lain seperti diisyaratkan gadis itu.
“Jaga kak Shilla. Jaga nyokap loe. Jangan cuek-cuek sama mereka. Loe harus janji sama gue untuk itu.”
“Loe mau buat gue janji tapi loe sendiri gamau berjanji untuk kita semua?” Tanya Obiet.
Ify tersenyum dan menggeleng. “Gue tau loe bisa menepati janji loe. Please say promise” Pinta Ify tanpa mempedulikan bahasan terakhir Obiet
Obiet tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan. Ify tersenyum puas.
“Dev.. Yel..” Gabriel dan Deva bersamaan mengulurkan tangan mereka kearah Ify. Ify tidak langsung menumpukan tangan kedua saudaranya diatas tumpukan tangan lain, melainkan membimbing kedua tangan tersebut kearah bibirnya untuk dikecupnya pelan dan dalam.
Gabriel dan Deva kompak langsung saling melemparkan pandang keatas. Menyembunyikan aliran air yang siap membentuk riak dipipi mereka dan untuk menormalkan perasaan masing-masing.
“Saling menjaga ya.  Tetap percaya kalian memiliki satu sama lain. Cuma kalian yang gue punya” Kali ini Ify tidak lagi menyembunyikan air matanya yang mulai mengalir tenang.
Gabriel dan Deva bersamaan mengecup puncak kepala Ify dari masing-masing sisi.
“Loe harus sembuh. Kita sayang elo” bisik Deva dan Gabriel bersamaan.
Ify memejamkan matanya menikmati semua itu. Kini dia bisa tenang. Hanya tersisa satu sekarang.
“Ray..”
Ray mendekat kearah Ify. “Jangan nyalahin abang loe ya. Support dia apapun yang dia lakukan sekarang. Maaf udah bikin hubungan kalian berdua renggang. Salam untuk Mama Manda ya” Ray mengangguk susah payah. Merasa ada scenario yang salah. Kenapa pula harus Ify yang meminta maaf. Dalam hati ray meminta maaf. Merasa tidak akan menepati janji itu sepenuhnya.

Ify tersenyum lega. Kini dia bisa meninggalkan semuanya. Apapun yang terjadi nanti dia hanya mampu berserah. Perlahan Ify menarik lengkungan bibirnya kearah berlawanan. Tatapannya menggelap seiring sakit yang didera hingga menyumbat tenggorokannya. Namun bisa terdengar samar teriakan semua teman-temannya.

***

BUKK…
Hentakan bola basket yang beradu asal dengan ring menghempaskan Gabriel kealam nyata. Kegiatan semalam memaksanya kurang beristirahat sehingga ia memilih menghabiskan waktu untuk beristirahat dilapangan basket indoor sekolahnya. Tidak beristirahat yang sebenarnya, karena pikiran masih menyalang kesana kemari. Dan bayangan kejadian tadi malam selalu berputar seperti kaset rusak saat ia mulai memejamkan mata.

Gabriel melihat kearah sesuatu yang membuatnya langsung terbangun tadi. Pasangan Alvin-Sivia sudah ada ditengah lapangan sambil mencoba memainkan sang orange bundar. Mengingat kerasnya suara benturan yang ditimbulkan tadi. Gabriel tidak perlu menebak siapa pelaku diantara keduanya. Toh, Gabriel memilih kembali membaringkan tubuhnya diantara bangku-bangku tribun.

Tidak lama, hentakan bola tidak lagi memenuhi gaung lapangan. Hanya ada langkah-langkah kaki yang mulai mendekat kearah Gabriel. Gabriel masih tetap memejamkan mata, tidak peduli orang yang akan mengganggu waktu istirahatnya.

“Mau sampe kapan loe pura-pura tidur gitu?” Suara Alvin langsung membuka percakapan.
“Gak akan bikin kenyang Yel. Loe belum makan kan dari kemarin? Loe mau makan apa? Kita mau kekantin nih” tawar Sivia.
“Gue gak laper Vi” Jawab Gabriel sekenanya, masih memejamkan mata.
“Badan kurus begitu belum dimasukin apa-apa dari kemaren. Loe bisa sakit tau” Dengus Alvin, yang telah mengetahui cerita Gabriel –Cakka yang bertemu tidak sengaja.
“Badan loe juga udah keliatan lemes Yel” sambung Sivia.
“Gue cuma ngantuk” bantah Gabriel.
“Kenapa gak tidur aja dirumah. Emang siapa yang bakal skors loe gara-gara bolos sehari?” Sahut Alvin.
“Gue lagi males jalan kekantin”
“Kita beliin dan bawain kesini” Jawab Sivia.
“Terserah kalian deh mau beli apa” Dengus Gabriel karena tidak tahan dicecar pasangan ini.
Alvia berpandangan lalu nyengir bersamaan.
Bukan langsung pergi kekantin, Alvin melangkahkan kakinya ke tribun tempat Gabriel berbaring.
“Seperti yang lo bilang dulu. Hidup itu kayak permainan basket ya bro” Ucap Alvin sambil memandang kearah lapangan.
“Kita sebagai pemain utama. Bola basket seperti orang yang paling dekat dengan kita. Dan pemain lain seperti figuran orang-orang disekeliling kita.” Alvin menghela nafas, sementara Gabriel sudah membuka matanya dan memandang lurus keatas. Bersiap mencerna ucapan Alvin selanjutnya.
“Sebagai pemain utama, membuat kita terus berdampingan dengan bola basket adalah sebuah keharusan. Dalam langkah dan irama yang sama” Alvin diam sejenak memandang kearah Sivia.
Sivia tersenyum lalu melangkahkan kakinya menghampiri Alvin. “Tapi terkadang, untuk mencapai sebuah tujuan, mencapai kearah ring. Semua pemain utama gak mungkin melakukannya sendirian dengan si orange bundar itu.” Lanjut Sivia sambil mengarahkan pandangannya pada bola yang terdiam ditengah lapangan.
“Akan ada pemain lain yang membantu permainan tersebut. Namun tujuannya sama.” Alvin tersenyuim. “Sebuah kemenangan” Alvin menjulurkan tangannya kearah Gabriel. Yang langsung disambut baik hingga Gabriel mendudukan dirinya. Alvin tersenyum miring.
“Sama seperti loe dan Ify saat ini. Kalian kembar yang tidak mungkin terpisahkan satu sama lain seperti pemain basket dan bolanya. Namun sekarang kalian berpisah. Ify bersama Dokter Tian –sang-figuran-lain- berobat ke Singapore, tapi ini semua ini karena tujuan perpisahan ini sama. Untuk kebaikan Ify” Jelas Alvin sambil menggenggam tangan Sivia. Berharap gadis itu juga mengerti.
“Kita berdoa untuk hal yang sama Yel, loe gak sendiri” Ucap Alvin sambil menepuk pundak Gabriel.
Gabriel terdiam agak lama, membenarkan semua ucapan Alvin, hingga kemudian ia mengangguk “Thanks” ucapnya pelan,
“Urwel bro.” Ucap Alvin sambil mendorong bahu Gabriel. “Yuk Vi, kita cari makanan dulu untuk Tuan muda Gabriel, sebelum ia menggelepar kelaparan disini” Ucap Alvin iseng.
Gabriel hanya terkekeh pelan, sambil bangkit dari duduknya dan menghampiri sang kulit bundar  yang membisu ditengah lapangan. Sementara Alvia keluar lapangan basket untuk ke kantin seperti tujuan mereka awalnya.

***

“Woy sob” Sapa Lintar sambil menepuk bahu Deva, Ray, dan Obiet bergantian. “Kompak amat muka galau loe bertiga?”
Yang disapa hanya bergeming.
“Ah tumben gak asik loe pada” Ringis Lintar merasa sapaanya teracuhkan.
“Sorry-sorry. Mendadak gak pengen ngapa-ngapain hari ini.” Obiet yang pertama buka suara.
“Kenapasih?” Tanya Lintar penasaran. Pasalnya, dari awal kedatangan teman-temannya mereka terlihat suntuk dan kurang beristirahat. “Oh ya Dev, kak Ify bener ke Singapore semalem?” Tanya Lintar yang langsung mengalihkan perhatiannya ke Deva.
Deva mengangguk lemah.
“Ini penyebab loe bertiga galau?” Tebak Lintar sambil mengarahkan pandangan ke yang lainnya.
Anggukan kepala dari yang lain cukup menjawab pertanyaan Lintar.
Kini pandangan Lintar kembali mengarah pada Deva seorang.
“Punya kakak kayak kak Ify emang luar biasa Dev. Gue paham sama kesedihan loe sekarang. Tapi apa sebelum kak Ify berangkat semalam kalian berdua gak saling berjanji? Untuk tetap semangat menjalani kehidupan masing-masing?” lintar mencoba memahami. “Sengeselin-ngeselinnya kak Ify terhadap loe. Apa pernah dia seneng disaat loe sedih kayak gini?” Lanjutnya.
Devamenggeleng.
“Kalian juga.” Pandangan Lintar beralih kepada Ray dan Obiet. “kalian bersama kak Ify juga kan semalam?”
Ray dan Obiet hanya terdiam.
“Apa kak Ify menutup perpisahan dengan kalian semua dengan sebuah tangisan.” Tanya Lintar lagi.
Sesaat terlintas senyum terakhir Ify untuk malam itu dalam benak ketiganya.
“Gue yakin, walau gue semalam gak berada disana. Kak Ify masih bisa tersenyum pada kalian yang datang.” Tegas Lintar. “Dan gue yakin juga. Justru orang-orang yang datang seperti kalian lah yang kalah menyembunyikan tangis didepan dia”
Ucapan lintar yang begitu mengena sukup membungkam mulut yang lain.

“Gue jadi paham kenapa kak Ify begitu disayangin sama Kak Via, bahkan sama temen-temen dia yang lain.” Sahut Keke dari meja yang bersebrangan dengan keempat laki-laki tadi. Yang lain langsung menoleh.
Keke yang menjadi pusat perhatian hanya menunduk malu. “Sorry gue gak sengaja denger” ucapnya pelan.
“Keke bohong!! Jelas-jelas daritadi Keke ngeliatin Deva. Dia bingung kenapa seharian Deva murung terus” Ceplos Nova yang ada disampingnya.
“Kok gue sih?” Ringis Keke,”Kan yang tadi nanyain Obiet si Oik. Kenapa gue yang kena”
Sementara Oik hanya mendengus. “Ember banget sih loe”
D’Lordz mau tak mau hanya menggelengkan kepala mendengar girls zone dihadapan mereka.
“Pantes dulu kak Alvin pernah tergila-gila sama kak Ify” Sahut Olivia yang dari tadi hanya diam.
Mendengar pernyataan Olivia barusan, sontak semua menengok kearahnya. Bukan apa, semua orang tahu jika Alvin sudah pacaran dengan Sivia yang notabene sahabat Ify. Mendengar Alvin pernah memiliki perasaan kepada Ify termasuk pernyataan yang mengejutkan bukan?
“Ngg.. eh… ngg..” Olivia jadi panik sendiri. “eh bukan tergila-gila juga sih” Olivia berusaha meluruskan. “eh tapi kalian jangan bilang siapa-siapa ya. Termasuk…… kak Via” Ucap Olivia sambil melirik kearah Keke.
Yang lain hanya menjawab dengan anggukan berharap mendengerkan cerita selengkapnya. Bahkan, termasuk Deva yang mulai tertarik dengan bahasan tersebut. Dari dulu Deva memang dekat dengan Alvin dan tidak menyangka orang yang selalu dianggapnya kakak menyimpan perasaan terhadap kakak perempuan satu-satunya itu.
“Jadi tuh dulu, kak Alvin kan demen banget motret. Nah semua objek bidikan diacuma wajah kak Ify. Dan itu semua diambil tanpa kesadaran kak ify alias candid gitu. Tapi, semenjak kenal sama kak Via, semua objek nya dia hanya Kak Sivia” Jelas Olivia sambil mengkhususkan diri tersenyum kearah Keke.
Keke tersenyum lega. Segala pikiran buruk yang tadi menghampirinya tentang kakaknya sirna.
“Gue jadi inget sama kak Ify ketika dia ngebuat gue dan kak Agni baikan” Kenang Oik.
“Kak Ify juga orang yang ngebuat abang gue mulai nyapa gue lagi” Sahut Oliv.
“Kak Ify bikin kak Acha jadi agak rame sama gue. Tadinya kan dia pendiem gimana gitu. Beda banget sama gue” Ucap Nova.
“Loe anak pungut kali Nov” Ledek Lintar.
“Sialan lo petir” Cibir Nova.
“Kak Ify bikin gue paham sama apa yang namanya persahabatan. Persahabatan dia sama kak Via bikin gue super iri sama mereka berdua” Ungkap Keke.
“kenapa loe harus iri?” Loe gak liat sahabat-sahabat disekeliling loe?” Cetus Obiet.
Keke mengangguk. Lalu beralih pada Deva. “loe juga gak sendiri Dev, lihat sahabat-sahabat loe juga merasakan kesedihan kayak loe tentang kepergian kak Ify ke Singapore. Tapi ini bukan akhir. Tetap berdoa ini adalah awal yang terbaik untuk kak Ify.” Ucap Keke simpati.
Deva mengangguk dan tersenyum tipis.

“Loe juga Biet. Gue paham seberapa besar arti Kak Ify sekarang buat loe. Dia yang udah bikin loe kayak sekarang ini. Mungkin ini rencana Tuhan, ketika kak Ify udah gak menemani elo seperti diawal kalian kenal, tapi kak Ify udah ninggalin orang-orang yang bisa jadi sahabat loe seperti sekarang ini dan menemani loe disaat dia gak bisa disini” jelas Oik tulus.

Obiet terdiam, kembali memandang kearah teman-temannya. Benar, semua dikarenakan Ify yang berusaha mengenalnya. Mengenalkan jika ada bahagia di sisi lain ketika dia ada di sisi kesepian, terpuruk dalam diam. Namun mengenalkannya juga pada kehilangan disisi lain sama besarnya.
Dia tahu jika Ify tidak pergi kemana-mana. Hanya berobat untuk kembali mengembalikan kesehatan gadis itu. Tapi ketakutan sudah merangkulnya terlebih dahulu. Obiet yang berusaha melawan justru terjatuh lelah. Sekarang dia pasrah, pasrah dengan apa yang akan terjadi pada orang yang sudah ia anggap lebih dari kakak kandungnya sendiri.
Tapi oik benar, Ify tidak lupa mengenalkannya pada sahabat-sahabatnya sekarang. Obiet tidak sendiri. Dia bisa berbagi kesedihan kepada orang-orang yang disekelilingnya sekarang.
Tak butuh waktu lama lagi, Obiet memberikan senyum terbaiknya kearah Oik. Berterimakasih atas kata-kata yang telah diucapkan gadis itu tadi.

“Belajar berhenti menaruh kesalahan ini pada kakak loe Ray” Ucap Oliv sambil menepuk bahu Ray yang membelakanginya.
Sekarang semua perhatian kearah ray dan Oliv.
“Gue juga gak tau jalan ceritanya kakak-kakak kita semua seperti apa hingga mereka semua bisa menjadi dua bagian seperti sekarang.” Olivia menghela nafas. “Inget gak pas loe kabur dari rumah cuma gara-gara cemburu sama kak Rio dan pada akhirnya loe ngobrol sama kak Ify?” Tanya Olivia.
Ray membelalakan matanya. “Loe tau?”
“Sorry, gue gak sengaja denger waktu Kak Rio nelfon kak Alvin ketika nyari loe” ringis Olivia.
Ray mendesah mengingat kejadian itu. Kejadian yang sampai hari ini selalu membuatnya iri pada Deva karena memiliki kakak seperti Ify.
“Gue gak tau apa yang dibicarain kak Ify saat itu. Tapi gue yakin, kalo gue jadi Kak Ify gue akan bicara ‘tetep jadi Ray. Diri Ray sendiri, tanpa melihat kearah Rio. Karena kalian  pribadi masing-masing yang diciptakan untuk saling mendukung tanpa memojokkan satu dengan yang lainnya.’” Jelas Olivia. “Elo ya elo. Kak Rio ya kak Rio. Kak Ify pasti berusaha menyatukan kalian karena yang satu sahabat terbaiknya dan satunya adalah adik sahabat yang sudah dianggapnya adik sendiri juga. Dan apa loe tega nyia-nyiain usaha kak Ify saat itu dengan menyalahkan abang loe saat ini?” Tanya Olivia. “Gue yakin Ray, sebelum kak Ify berangkat kesingapore dia pasti titip pesen kekalian semua untuk tidak menyalahkan diri masing-masing ataupun orang lain. Iyakan?” Olivia melempar pandangannya kepada yang lain.
Yang lain hanya terdiam.
“berhenti untuk sedih. Kak Ify pasti lebih butuh doa dan semangat kalian untuk menyelesaikan pengobatannya sekarang” Ucap keke.
Deva mengangguk. “Thanks ya Ke” Ucap Deva tulus.
Keke tersenyum dan ikut mengangguk. “sama-sama Dev”
“Thanks untuk kalian” Ucap Obiet diikuti anggukan Ray.
“Gue bakal coba berdamai sama Kak Rio” Ucap Ray.
“Thanks ya. Gue jadi lebih mengerti tentang persahabatan sekarang” kata Obiet lebih kepada Oik.
“Sahabat yang baik layaknya sebuah kaca. Tidak tersenyum disaat kita menangis. Namun ketika kita terjatuh, sahabat yang baik tidak akan ikut terjatuh bersama kita. Melainkan mengulurkan tangan membantu kita untuk bangkit. Sahabat selalu bisa berempati dengan perasaan kita dengan caranya masing-masing.” Jelas Nova.
“Itu sebabnya gue gak mau ikut galau-galau kayak kalian bro. Loe semua harus tetap semangat seperti kak Ify. Kalian tau? Optimisme kalian yang justru jadi obat paling mujarab untuk dia.” Timpal.
Obiet mengangguk “thanks sob”
Lintar menepuk pundak Deva. “Hidup itu pilihan bro. Kayak lo passing bola dalam bermain basket. Iya, elo mengoper bola kepada orang yang lo yakinin bisa masukin bola itu ke ring kan?” Tanya Lintar. “Sama, ketika loe merelakan kepergian kak Ify ke Singapore. Loe percaya kan sama Dokter-dokter ahli disana bisa nyembuhin kak Ify?”
Deva terdiam.
“Walau kadang hidup lebih mirip orang main judi. Kita berharap menang, tapi bisa jadi hasilnya kalah. Yang penting pasang. Maju dulu! Usaha dulu, daripada loe gak melakukan apapun untuk kesembuhan kak Ify yakan?” Sambung Olivia.
“Behh bandar judi komentar” sahut Ray sambil terkekeh. Perasaan sudah jauh lebih baik sekarang.
“Singapore-Jakarta deket Dev. Loe bisa aja nengok kak Ify selagi loe mau kan?” Ucap Keke.
Pikiran Deva mulai agak rileks daripada sebelumnya. “Thanks braderr” Ucapnya sambil meninju pelan bahu Lintar. “Pikiran gue emang rada ruwet dari kemarin. Gue beruntung punya kalian disini.”
“Loe mungkin butuh istirahat Dev. Mending loe pulang atau ke UKS gitu.” Usul Oik.
“Sama-sama sepi. Mending gue disini.” Tolak Deva halus.
“Ngantin aja yuk? Siapa  tau perut kenyang pikiran lebih tenang” Ajak Lintar.
“Otak loe makan terusss” Ray menoyor Lintar.
“Alah loe paling juga mau.”Cibir Lintar sambil membalas toyoran Ray. “Lagian saying kalo ada cewek-cewek cantik disini cuma kita diemin aja.” Ucap Lintar sambil mengerling kearah perempuan disekelilingnya.
“Bentar-bentar” Sela Obiet.
“Apa lagi?” Dengus Lintar.
“Sejak kapan loe jadi sok bijak kayak tadi?” Tanya Obiet.
“Sejak kapan juga loe lebih aktif ngegoda cewek nyaingin gue?” Sambung Ray.
“Sejak kapan juga loe jadi kompak bener dari tadi sama Nova dan cewek-cewek ini?” Deva tidak mau kalah.
“Kalian lupa? Abang gue raja player disekolah ini?” Ujar Lintar santai sambil melangkah keluar tanpa mempedulikan teman-temannya masih terheran-heran atas sikapnya.

“Lintar tungguin!!!” Suara cempreng Nova memecah keheranan semuanya.
“Kalian tungguin!!!” Koor yang lain kompak sambil berlarian lepas kearah kantin., sambil sesekali bercanda dan tertawa bersama melupakan beban yang tadi menghimpit mereka.

***

Alvin dan Sivia baru saja membelikan sebungkus roti dan minuman dingin untuk Gabriel. Mereka memutuskan mata terlebih dahulu dikantin untuk menciptakan ketenangan bagi Gabriel sendiri tadi. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan masing-masing karena pada dasarnya mereka memang perut mereka sudah lapar karena sejak semalam tidak diisi apapun.

Mereka berjalan keluar kantin sambil bercanda dan membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Melupakan kesedihan akan kejadian semalam.

BUKKK.

“Aduhh.. loe kalo jalan bisa liat… eh loe lagi ternyata” Via langsung memandang tajam pada penabraknya. “Loe gak bosen ya cari masalah sama gue?”
“Udah yuk Vi, diemin aja” Bujuk Alvin sambil menarik Sivia, sadar sebentar lagi mereka akan menarik perhatian pengunjung kantin.
“GR banget sih loe. Lagian salah sendiri jalan aja sambil bercanda, matanya lupa dipake deh” Sinis penabrak tadi.
“Hell to the lloeo? Suka-suka gue dong. Mau jalan sambil bercanda kek, sambil kayang kek, sikap lilin kek. Gak bikin mat aloe ketutup dan pada akhirnya sengaja nabrak gue kan Zebraaa?” Balas Sivia.
“Nama gue Zevana!!” Sewot Zeva –sang penabrak tadi.
“Yah nama loe juga gak penting gue inget keleus” Ujar Sivia santai.
“Udah ya Via, gabriel nanti keburu laper nunggu kamu adu mulut dulu” Bujuk Alvin lagi sambil menarik Sivia.
“Ehmm Vin……….” Suara itu langsung merebut perhatian Alvin seketika. Pemilik suara yang seharian ini dihindarinya untuk menahan emosinya, langsung Alvin melepaskan tangannya dari Sivia.
Suasana agak menyepi. Tangan Sivia yang terlepas dari Alvin justru membuatnya was-was. Belum lagi tangan Alvin agak mengepal begitu orang yang memanggilnya lagi tepat dihadapannya, Rio.
Sivia langsung mengedarkan pandangannya. Personil dihadapannya yang biasanya terlihat lengkappun kali ini ada beberapa yang terlihat absen. Salah satunya Shilla. Sivia mengangkat sebelah alisnya, ‘kenapa Rio ada disini?’ Lalu pandangannya jatuh pada Cakka yang menjawab semuanya.
Sivia mencoba memegang lengan Alvin takut-takut. “Vin, kita pergi dari sini aja yuk, kasian Gabriel…………”
Alvin keburu menepis halus tangan Sivia. Pandangannya berubah tajam kearah Rio. Sivia melirik kerah Cakka meminta bantuannya. Cakka yang langsung paham tatapan Sivia langsung melangkah maju untuk berdiri diantara Rio dan Alvin. Namun belum sampai niatnya terjalankan, Alvin sudah keburu menerjang Rio dengan bogem mentah yang hingga Rio jatuh terjengkang kebelakang. Seperti belum cukup dengan itu Alvin langsung memburu tubuh Rio yang jatuh dan menarik kerahnya, lalu memojokkan tubuh itu ke pilar yang ada dikantin tersebut.
“Kemana aja loe semalam br*ngsek” Pojok Alvin sambil mengetatkan tarikan pada kerah Rio hingga membuat pemuda itu agak tercekik. Bisa terlihat jelas, darah mulai mengalir disudut kiri bibir Rio.
“Vin udah. Kontrol diri loe” Bentak Cakka sambil berusaha menarik Alvin.
Namun kali ini sepertinya Alvin tidak ingin diganggu siapapun, hingga niat baik Cakka untuk melerainya menghempaskan pemuda itu kebelakang.
Agni dan Ozy langsung membantu Cakka bangun.
“Vin udah ya” Suara lembut Sivia agak melonggarkan tarikan pada leher Rio, hingga kesempatan itu diambil Rio untuk menarik nafas sekuat-kuatnya serta balik mendorong Alvin kebelakang, namun langsung menarik kerah Alvin kuat-kuat dan menekannya ke pilar tadi.
Keadaan berbalik.
“Alvin!” “Rio!” Jeritan yang didominasi kaum hawa mulai memenuhi kantin.
“Kka, mereka bisa bunuh-bunuhan kalo gak dipisahin sekarang juga” Desak Sivia cemas.
“Zy, loe pegang Rio, gue pegang Alvin ya” Titah Cakka pada Ozy yang langsung diangguki. Mereka mengambil posisi masing-masing dibalik Alvin dan Rio.
“Kasih gue penjelasan kali ini” Tekan Rio. Alvin terdesak, tekanan pada lehernya semakin kuat.
Alvin mengatur nafas dan kekuatannya yang tersisa sedikit, setelah yakin dia langsung mendorong Rio sekuat tenaga yang ia miliki.
Rio terhempas kebelakang lagi karena dorongan Alvin,
“Uhuk… uhukkk..” Nafas Alvin tidak beraturan lagi. Tanpa peduli apapun Sivia langsung memburu Alvin dan mengurut punggung laki-laki itu. Sementara Ozy langsung membantu Rio bangun.
“Atur nafas pelan-pelan ya Vin” tuntun Sivia lembut. Setelah mulai dapat mengendalikan nafasnya lagi, Alvin kembali menghampiri Rio yang sudah melepaskan diri dari Ozy, sedangkan Sivia sudah terlambat mencegahnya. Sementara Agni dan Acha kompak menarik Sivia kepinggir takut baku hantam Alvin dan Rio kembali terjadi.
“Pukul gue sepuas loe inginkan Vin.” Tantang Rio. “Tapi tolong, kasih penjelasan yang gue inginkan” Ujar Rio dengan tatapan tajam.
Alvin mendengus kasar. “Loe masih gak mau disalahkan?”
“Gue gak tau apa-apa”
“Mungkin selama ini loe gak tau apa-apa, Mario. Tapi setidaknya loe marasakan sesuatu yang sebenernya ada apa-apa. Peka dikit bro, bukan cuma loe yang ingin dimengerti” tegas Alvin.
Rio membuang saliva yang mulai terasa anyir karena darah yang ada didalam mulutnya. “Kalo gitu jangan salahin gue kalo gue gak merasa. Kalianpun hanya diam” Ujarnya santai.
“Br*ngsek” Tanpa babibu  lagi Alvin langsung kembali menerjang kearah Rio. Memberikan sedikit tanda lagi pada pipi lelaki itu. Rio pun tidak mau kalah dengan mendorong Alvin kasar hingga terjatuh hingga membuat bentang jarak diantara mereka berdua. Kesempatan yang tidak disia-siakan Ozy dan Cakka yang langsung sama-sama menarik Rio dan Alvin kearah berlawanan.

Keduanya masih meronta, hingga ada yang mencoba menyeruak dari kerumunan yang memperhatikan kejadian tersebut.
“Kak Alvin!”
“Kak Rio!”

Kelompok Deva dkk yang tadi berniat kekantin justru melihat keramaian kantin yang tidak wajar semakin mempercepat langkah hingga mencapai depan kerumunan tersebut. Ray langsung berlari kearah Rio dan mulai membantu Ozy mengendalikan kakaknya itu. Sedangkan Deva langsung kearah Alvin untuk menahan Alvin.
“Gue gak ngerti apa yang kalian lakuin berdua.” Ucap Obiet setelah menembus kerumunan paling akhir.
“Kak Alvin, loe lupa pesen kak Ify untuk tidak menyalahkan siapapun atas kejadian ini? Bahkan termasuk kak Rio yang pergi semalam tiba-tiba.” Tegas Obiet. Alvin hanya menunduk.

Mendengar nama gadisnya disebut Rio langsung terdiam. Bahkan disaat kritisnya Ify semalam masih mengingat dirinya. Memesankan kepada teman-temannya untuk tidak menyalahkan dia? Jelas sekali Rio sendiri sadar dirinya salah semalam. Memilih meninggalkan Ify yang terluka karenanya yang justru malah pergi kerumah Shilla.

Kenyataan itu menghimpit dadanya.

Kerumunan tadi kembali bergejolak, namun bukan suara yang semakin riuh yang mendominasi, hanya keheningan diiringi bisik-bisik kecil.

“Ada apa ini?” Seru Pak Duta begitu mencapai depan. Wajahnya menggeram ketika pandangannya jatuh pada luka lebam di wajah Rio dan Alvin serta seragam mereka yang sudah tidak beraturan.
“Alvin! Rio! Ikut saya keruangan. Yang lain segera lanjutkan kegiatan kalian masing-masing” Tegas Pak Duta.

***

Gabriel masih asyik memainkan bola basket yang tadi hanya dilemparnya asal. Sekarang dia mulai bisa menikmati permainannya. Rasa lapar yang dari tadi terlontar dalam perutnya diabaikan. Hingga ada langkah kaki yang memasuki lapangan indoor yang langsung mencuri perhatiannya. ‘Ah paling Via sama Alvin’ bathinnya tidak peduli. Gabriel masih memfokuskan diri pada permainannya.

Langkah kaki dibelakangnya semakin mendekat, tetapi tidak ada suara lainnya, lagipula, selain hentakan bola basket yang beradu dengan lantai lapangan, Gabriel hanya mendengar langkah kaki satu orang dibelakangnya. Memastikan, Gabriel langsung membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang datang.

Shilla.

Bathin Gabriel berdesir. Gadis itu hanya berdiri dibelakangnya sambil membawa sebungkus roti dan sebotol air mineral. Namun Gabriel hanya memandang itu semua dengan pandangan datar. Dia benci sekali gadis ini. Gadis yang banyak merebut kebahagiaan saudara kembarnya. Iya, Gabriel membenci gadis ini. Terlebih dia sempat mencuri dengar percakapan Alvin dan Sivia jika tadi malam Rio meninggalkan Ify dan pergi kerumah Shilla. Gabriel membencinya. Gabriel membuang pandangannya.

Berat. Susah sekali mengalihkan pandangan dari gadis yang masih terdiam dihadapannya ini.

“Ngg.. Mmm.. Yel, ini buat loe.” Kata Shilla sambil menyerahkan bawaannya. “Loe pasti belum sarapan kan? Tadi gue liat loe datang langsung kesini, bahkan tanpa naruh tas loe dikelas.” Shilla mengarahkan pandangan pada sebuah tas hitam yang tergeletak asal diatas bangku tribun.

Gabriel tercekat. Gadis ini memperhatikannya dari tadi. “Gue gak laper.” Hanya itu yang bisa dikatakannya sekarang.

Shilla semakin canggung, daritadi Gabriel hanya menatapnya datar. Seolah tidak mengharapkan kedatangannya. Apalagi ketika Gabriel membuang pandangannya. Seolah tidak ingin melihatnya lagi.

“Yel, gue mau minta maaf. Semalem gue gak tau kalo Ify………..”

“SELAMAT SIANG. MOHON PERHATIAN. PANGGILAN DITUJUKAN PADA ALVIN JONATHAN DAN GABRIEL STEVENT DI RUANGAN KEPALA SEKOLAH SEKARANG. MOHON PANGGILAN INI DIINDAHKAN. TERIMAKASIH”

Gabriel mengangkat sebelah alisnya heran, pandangannya mengarah pada pengeras suara yang ada dalam ruangan tersebut seakan-akan disanalah orang yang berbicara. Tanpa berpikir lagi untuk apa dia dipanggil Gabriel langsung melangkahkan kakinya keluar lapangan tanpa mempedulikan jika ada orang lain yang bergeming menunggunya.
---

“Yel.. Yel.. Yel.. sorry lama, tadi ada insiden dikit di kantin. Nih roti buat ganjel perut loe, ini minumnya biar  gak seret” Cerocos Sivia begitu mendapati Gabriel sudah dipintu lapangan indoor tersebut.  Diperjalanan tadi Sivia juga sempat mendengar pengumuman panggilan kepada Gabriel dan kekasihnya. Sebelum Alvin pergi ke Ruangan Pak Duta, ia sempat berpesan kepada Sivia untuk mengantarkan makanan tersebut ke Gabriel.
“Never mind Vi. Tapi gue dipanggil keruang kepsek nih.” Sahut Gabriel.
“Yaudah loe makan aja diperjalanan kesana. Sini air loe gue pegangin dulu, nih loe makan rotinya” Atur Sivia sambil menyodorkan roti kerah Gabriel dan mengambil alih minuman dingin tadi.
Gabriel terkekeh. “Loe bawel amat sih. Ganyangka Alvin yang sediem itu tahan sama loe”
Sivia menggembungkan pipinya kesal. “Loe gak tau terimakasih ya kadang.”
Gabriel tertawa keras. “Loe ngambeknya bisa sambil jalan gak? Ntar keburu disemprot Bu Ira nih” Ucap Gabriel sambil memasukan potongan roti kedalam mulutnya dan melangkah pergi diikuti Sivia.

---

Shilla melihat kejadian tadi. Lututnya melemas. Diacuhkan –lagi. Dia pernah merasakannya dulu. Tapi, mengapa yang ini lebih dari sakit? Tanpa sadar butiran bening mulai mengalir dari matanya. Daritadi apgi ntah mengapa perasaannya tidak enak setelah melihat Gabriel. Shilla mulai memperhatikannya sejak kedatangannya. Sampai-sampai ia menghabiskan jam istirahatnya tidak bersama Rio dan yang lain, berdalih ingin memeriksa tempat peralatan cheers. Tapi apa yang didapatnya sekarang?

Shilla menghapus air mata dipipinya secara kasar. Tidak, Ify pernah (dulu, selalu) mengajarinya berbuat sesuatu yang baik dengan tulus tanpa peduli mendapat tanggapannya seperti apa. Ah gadis itu, sudah berapa lama Shilla tidak bercengkrama dengan Gadis itu? Menghabiskan waktu berdua bahkan berlima dengan Sivia, Agni dan Acha?

Shilla tersenyum sedih. Sebelum meninggalkan lapangan, Shilla melangkahkan kakinya kearah bangku tribun. Menjejalkan roti dan air mineral yang tadi sempat dibelinya dikantin –sebelum kesini- kedalam tas milik orang yang dimaksudkannya.

Ketika ingin membetulkan retsleting tas itu agar kembali menutup ada lembaran yang terjatuh didekat sepatu ketsnya. Shilla mengambilnya, dibaliknya lembaran tersebut, sebuah foto. Foto tiga orang anak kecil yang menjadi objeknya.
“Deva kecil, Ify kecil” Gumam Shilla pelan melihat foto Ify dan Deva semasa kecil. Shilla mengetahuinya karena pernah melihat saat bermain dirumah Ify. Disana banyak foto Ify dan Deva semasa kecil hingga beranjak dewasa. Kakak adik yang sama-sama narsis. Begitulah penilaiannya begitu melihat banyaknya foto Ify dan Deva bersama.

Shilla mencoba lebih memperhatikan laki-laki lain yang berdiri disamping Ify. Begitu sadar, Shilla membelalakan matanya.

***

Rio dan Alvin mengikuti Pak Duta berjalan keruangnya. Begitu sampai, Rio yang masuk terlebih dahulu diikuti Alvin dibelakangnya.
“Duduk” Perintah Pak Duta sambil duduk dikursinya sendiri. Ditutupnya sebuah map yang berisi dokumen yang sepertinya sedang diurusnya.
Pak Duta membenahi duduknya dengan tangan yang disatukan dihadapannya, ditatapnya tajam murid-murid yang ada dihadapannya sekarang.
“Saya tidak habis pikir dengan kelakuan kalian berdua.” Ujar Pak Duta memulai monolognya. “kalian sadar apa yang lakukan tadi?” cecar Pak Duta.
Alvin dan Rio tetap bergeming.
“Alvin, Rio. Kalian ini murid-murid kepercayaan bapak. Kalian juga bersahabat satu sama lain. Satu team dalam team basket Varaway sekolah kita.” Penuh penegasan dalam setiap perkataan Pak Duta.
“Mario. Kamu Ketua Osis dan Ketua Team basket sekolah kita.” Pak Duta menatap Rio, lalu tatapannya beralih kepada Alvin. “Alvin, kamu ketua klub Fotografi yang banyak menyumbangkan prestasi untuk sekolah ini.”
Alvin maupun Rio tidak ada yang berniat membalas ucapan pak Duta.
“Apa yang kalian pikirkan sampai baku hantam dihadapan seluruh teman-teman kalian?” Tanya pak Duta. “Kalian panutan yang bisa dijadikan teladan untuk semua teman-teman kalian. Apa berkelahi, baku hantam dan menyerang satu sama lain itu adalah sebuah keteladanan?” Pak Duta menatap tajam muridnya satu persatu. Masih tetap bungkam dengan semuaomongannya.

Keheninganpun tercipta, hingga suara familiar dari kepala sekolah mereka membuyarkan semuanya.

“SELAMAT SIANG. MOHON PERHATIAN. PANGGILAN DITUJUKAN PADA ALVIN JONATHAN DAN GABRIEL STEVENT DI RUANGAN KEPALA SEKOLAH SEKARANG. MOHON PANGGILAN INI DIINDAHKAN. TERIMAKASIH”

Pak Duta mendesah pelan. “Saya tidak tahu masalah kalian sendiri apa. Dan saya memutuskan tidak menghukum kalian saat ini”
Alvin dan Rio sama-sama menghela nafas lega mendengar pernyataan Pak Duta. Awalnya mereka sudah dibayangi firasat buruk jika orang tua mereka sampai dipanggil kesekolah hanya karena ini.
“Saya tahu kalian sudah sama-sama dewasa untuk menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin bukan saling hantam seperti tadi. Namun panggilan saya kali ini adalah peringatan. Jika kalian mengulanginya lagi, didalam maupun diluar lingkungan sekolah. Saya tidak segan-segan untuk memanggil orang tua kalian.”Ancam Pak Duta.

Alvin dan Rio sama-sama menengguk salivanya mendengar ancaman pak Duta, sama-sama berdoa dalam hati jangan sampai lepas kontrol seperti tadi.
“Alvin, sepertinya Bu Ira lebih membutuhkanmu saat ini. Rio, silahkan kembali kekelas” Pak Duta bangkit lebih dulu melangkah keluar ruangan diikuti Alvin. Sedangkan Rio masih duduk. Pandangannya terpaku pada sebuah map dokumen yang tadi tertutupi tangan Pak Duta diatas meja. “Alyssa Saufika D” begitulah tag name yang ada diatas berkas tersebut.

Rio mengerutkan keningnya. “Ify?” gumam Rio. “Tapi kan…” Rio mengingat-ingat nama lengkap Ify. “Alyssa Saufika Umari kan?” Gumamnya pelan. Rio menggapai map tersebut ingin melihat isi didalamnya. Memastikan itu map milik Ify dan hanya terjadi kesalahan pengetikan di tag name mapnya.

Pintu terbuka lagi, Rio menghentikan niatnya.

“Rio? Kamu masih disini?” Tanya pak Duta sambil berjalan kearah mejanya lagi.
“Iya Pak.” Rio tersenyum kaku seperti maling yang tertangkap basah.
“Sedang apa?” Tanya Pak Duta sambil mengambil berkas ber tag name “Alyssa Saufika D” tadi.
“Mm.. Ngg.. Hhh saya..” Rio berusaha mencari alasan. “Tadi ada yang ingin saya bicarakan dengan bapak soal Osis, tapi sepertinya bapak sedang sibuk” Jelas Rio berbohong sambil melirik kearah map di tangan Pak Duta. “jadi sebaiknya saya kembali kekelas. Kita.. Kita bicara lain waktu. Permisi Pak.” Rio pamit dan langsung melangkahkan kakinya keluar ruangan pak Duta tanpa menunggu jawaban Gurunya tersebut. Berusaha melupakan tentang apa yang dilihatnya tadi. Meyakinkan itu hanya sebuah kesalahan pengetikan.

***

“Alvinnn!!” Pekik Sivia sambil berjalan mendahului Gabriel begitu melihat Alvin disudut koridor.
Alvin yang melihat Sivia berlari kearahnya hanya tersenyum pada gadis itu.
“Kamu tadi diapain aja?” Tanya Sivia.
“Loe abis darimana?” Sahut Gabriel setelah berhasil menyusul Sivia, Gabriel juga belum tahu apa-apa soal Alvin yang tidak bersama Sivia.
“Abis dipanggil Pak Duta. Biasa Osis” jawab Alvin berbohong.
Mata Gabriel memicing. “Kok gak sinkron sama pertanyaan Sivia? Lagian muka loe kenapa babak belur kayak preman gitu?” Gabriel mulai curiga.
Alvin terkekeh, “Loe kalo mau ngatain preman seharusnya ngaca dulu yel. Liat seragam loe yang kancingnya udah lepas semua. Dasi loe yang seharusnya taro dileher jadi ada dikantong celana” Ucapan Alvin diakhiri dengan lirikannya pada kantong belakang celana Gabriel.
Gabriel cengengesan. “Kita dipanggil bukan gara-gara hari ini penampilan kita kayak preman kan?” Ucapnya tanpa memperpanjang kecurigaanya lagi.
Alvin meninju pelan bahu Gabriel sambil tertawa. “Loe tau kan antar preman itu solidaritasnya tinggi. Kita buktikan solidaritas kita di ruang bu Ira kalo-kalo kita diomelin, Kita keren broh” Ucap Alvin yang langsung berhighfive ria dengan Gabriel.
Sivia menggelengkan kepalanya melihat tingkah dua orang dihadapannya. “yaudah aku kekelas duluan ya. Kalian baik-baik jangan buat onar” pamit Sivia yang diangguki Alvin dan Gabriel.

“Bawel banget ya cewek loe” Komentar Gabriel sambil memandangi kepergian Sivia.
“Emang” Sahut Alvin yang mengikuti arah pandang Gabriel. “Udah loe jangan ngeliatin mulu, ntar naksir, gue yang repot” Alvin menoyor Gabriel yang hanya dibalas kekehannya.
“Siap jadi keren bro?” Tawar Gabriel sambil mengarahkan pandangannya keruangan Bu Ira dihadapan mereka.
Alvin tersenyum dan mereka kembali berhighfive sebelum memutuskan masuk keruangan tersebut.

***


@tri_susilowati