Hallo! Lama gak bersua.
Gue harap kalian gak berekspetasi lebih terhadap cerita ini. Karena part ini
baru dibuat seminggu lalu dengan jarak lumayan lama dari part sebelumnya. Gue
sendiri soalnya merasakan perubahan dari gaya penulisan dan alur yang tiba-tiba
jadi banting stir gitu aja karena ngikutin cerita sebelumnya yang udah
terlanjut dibuat. Apalagi dengan banyaknya macam cara penulisan yang gue baca
akhir-akhir ini, gue ngerasa jadi berkiblat kearah itu.
Jujur gue baru nemu cara
penulisan gue yang bener, Cuma kalo diterapin di cerita ini malah jadi aneh
banget wkwk.
Sekali lagi, maaf kalo
mengecewakan! :)
Cerita ini dilanjut
gara-gara perjanjian aneh yang terceplos spontan antara gue sama penulis
Promise - kak Tri Mustikawaty (@tri3am) dimana mau ngepost TACI dan Promise
setelah ngaret bertahun-tahun pada waktu ulang tahun kita wkwkwk. (Iyalah! Kan kita
twin (??)) Ternyata TACI ini banyak banget kendalanya jadi sempet ngaret
berhari-hari wkwkwk. Dan akhirnya promise pun jadi molor.
Ini awalnya dijadiin
satu part, tapi ternyata di note FB ada keterbatasan karakter yang hanya sampe
65.000 sedangkan TACI untuk part ini mencapai lebih dari 95.000 karakter haha.
Jadilah part ini bersambung sampai TACI 39C.
Yang mau baca di FB bisa klik disini:
TACI 39B :
TACI 39C :
TACI 39B :
https://www.facebook.com/notes/tri-susilowati/thats-all-cause-ify-part-39b/10152736403169077?pnref=story
TACI 39C :
That’s, All.
Semoga masih bisa
enjoy!
Lafyu :*
That’s All Cause Ify
Part 39b-c : Second Chance
----------------------------
“Malam ini juga Nona Alyssa akan dibawa ke Singapore dengan
pengawasan langsung dari Dokter Tian.”
“Siapa yang akan menjaganya
disana?”
“Sepertinya memang
sudah ada yang menunggu dan mempersiapkan segala perawatan untuk Nona Alyssa di
SG Hospital tempatnya nanti akan dirawat. Karena baik Tuan Gabriel dan Deva
tidak diizinkan ikut mendampingi”
“Baik. Segera
persiapkan penerbangan ke Singapore dengan jadwal terdekat dari sekarang”
Perintah Pria tersebut sambil mengakhiri sambungan telepon selularnya.
Pria itu masih saja
terus menghela nafas berat dari sejak 30
menit berlalu teleponnya dengan anak buah suruhannya berakhir. Dihembuskannya
nafas secara kasar sebelum akhirnya pria itu langsung bangkit menuju garasi
rumahnya dan memerintahkan sang supir pribadi untuk segera mengantarkannya ke
Bandara untuk penerbangan yang tadi sudah dipesannya.
***
Pertemuan dengan
jajaran Direksi Tertinggi dengan Perusahaan lain untuk memulai kerja sama
penanaman saham cabang lain baru saja diselesaikan ketika matahari tepat diatas
kepala di Kantor Pusat Sindunata Group. Meeting yang berjalan lancar ini cukup
mendapatkan hasil yang memuaskan, terutama karena kerja sama yang dilakukan
merupakan kerja sama dengan teman lama yang sudah tidak pernah lagi dijumpai
nya. Dharma Damanik.
“Kerja sama paling
lancar yang saya hadapi setelah sekian banyak mitra kerja” Puji Dharma Damanik
sambil menjabat tangan John Sindunata dengan erat.
“Yap, apalagi setelah
lama gak ketemu. Gimana kalo kita makan siang bersama? Saya juga ada janji
dengan diluar dengan seseorang, bukan janji yang formal tentunya” Tawar John.
“Apa tidak menganggu?
Bisa…”
“Jelas tidak” Potong
John. ”udahlah kenapa kaku gini. Lepaskan bahasa formal antar client, meeting
sudah selesai pak bos” Candanya.
Dharma Damanik terkekeh
“Loe masih aja kayak dulu, tampilan emang boleh berdasi, kelakuan mah tetep aja
kayak baju dikeluarin” cibirnya. “Jangan-jangan anak loe nerusin kelakuan
bapaknya”
John Sindunata langsung
meledakkan tawanya. Namun perlahan tawanya justru terganti dengan senyuman yang
mulai hilang dan mata yang perlahan menyendu. “Sepertinya..” ucapnya sambil
menerawang. Tak lama John berdehem untuk menormalkan suasana, “Anak loe gimana?
Setau gue loe punya anak kembar kan? Apa mereka kaku banget kayak bapaknya?” Gantian
John meledek.
Rahang Dharma Damanik
mendadak kaku, namun mendadak matanya juga menyiratkan rasa sendu yang tadi
ditampilkan oleh mata John.
“Iya mereka mirip gue,
kaku dan keras kepala, tapi penyayang seperti ibunya” Entah mengapa perasaan
Dharma menghangat ketika mengatakan itu semua.
John menatap prihatin,
“Gue turut berduka atas….”
“No problem” Potong
Dharma, tidak ingin masa lalu nya diungkit kembali. “mungkin emang gak cocok
lagi, dan gue gak mau maksain itu. Mungkin egois,tapi loe tau gue paling gabisa
direndahin dan dikhianatin”
“Maksud gue….”
“Jadi kita mau makan
siang jam berapa? Apa partner loe gak kelamaan nunggu kita?” Tandas John agar
pembicaraan mengenai topik yang kurang disukainya tidak berlanjut.
John langsung mengecek
pergelangan tangannya untuk melihat waktu disana. “Oke, We are too late. Ayok
jalan”
“Kayaknya gue gajadi
ikut” Tolak Dharma Damanik.
John mengangkat sebelah
alisnya. “Kalo kata anak perempuan gue si Oliv, jangan jadi ababil deh macam
abg labil. Lagian ini kan Cuma makan siang biasa, loe pun pasti kenal partner
gue, dia adik kelas kita waktu SMA dulu. Itung-itung reuni lah”
Tatapan Dharma
menyelidik “Gue jadi bener gak percaya
ini makan siang biasa, apalagi ngeliat tampang loe udah mirip abg lagi
kasmaran”
John terkekeh. “Jangan
sarkas gitu dong! Ayok Jalan, gue gamau Kinan nunggu kelamaan” Ujar John yang
langsung keluar menjauhi ruang Meeting.
***
“Apa nanti kita bakal
pisah Yel?” Tanya gadis berkepang dua dengan pita merah jambu yang menghiasnya.
“Mungkin” Jawab Gabriel
yang pandangan lebih fokus mengarah ke langit sore yang berwarna kemerahan.
Mereka baru saja bermain ayunan di dekat komplek perumahan yang mereka
tinggali.
Bosan main ayunan,
mereka akhirnya hanya duduk-duduk direrumputan sambil melihat sang kuasa alam menerbitkan
malam.
“apa kita bakal ketemu
lagi?” Tanya Gadis itu lagi.
Gabriel mendesah pelan,
dia baru berumur 8 tahun saat pertanyaan itu terlontar dan sebenarnya sudah
amat dimengertinya
“Yel…” Gadis itu
sepertinya merasa segala pertanyaannya tidak digubris secara serius.
“Iyel gatau cil… Papa
Iyel juga suka pindah-pindah kayak Papa Cilla, Iyel harus ikut terus supaya gak
sendirian. Tapi suatu saat Iyel berharap kita bisa ketemu lagi. Kalo memang
harus Iyel yang cari Cilla, Iyel akan cari. Saat ini Iyel Cuma bisa berdoa kalo
dimana pun nanti Papa Iyel harus pindah, atau mungkin Papa Cilla duluan yang
harus pindah, semoga kita bisa ketemu lagi. Dimanapun itu, meski dengan sosok
yang berbeda”
Cilla –nama gadis itu-
hanya bisa manggut-manggut seakan mengerti seluruh ucapan Gabriel, walaupun
dalam pikirannya cara bicara dan berpikir Gabriel –meski seumuran dengannya-
jauh lebih terlihat seperti orang dewasa. Namun kata-kata “Kita akan bertemu
lagi”, & “Iyel yang akan mencari Cilla” sangat mudah dicerna untuk menenangkan
hatinya saat ini.
Gabriel tersenyum
sambil mengacak rambut Cilla, “Kamu tenang aja, bukan Cuma kamu yang
kehilangan, aku pun juga. Buat Iyel, Cilla udah kayak adik Iyel. Dan Iyel gamau
kehilangan adik kayak kamu”
“Iyel punya adik?”
Cilla membulatkan mata polosnya.
Gabriel mengangguk
sambil tersenyum kecil. “Dia cantik, tapi bawel kayak kamu” Gabriel terkekeh.
Cilla memajukan
mulutnya mencibir jawaban Iel. Tapi ada satu pertanyaan yang melintas
dikepalanya sekarang. “Adik Iyel sekarang ada dimana?”
“Dirumah” Jawab Gabriel
singkat sambil mengakhiri pertemuan mereka hari itu dengan mengantar Cilla
kerumahnya.
***
“Aduuh sakiit” Shilla
terjatuh dari sepeda roda tiganya karena tidak melihat kerikil kecil dijalan
yang dilaluinya.
Shilla mencoba menahan
isakannya agar tidak didengar oleh wanita yang menjabat sebagai ibu tirinya.
Namun tak lama ada pria
kecil sebaya dirinya yang menghampirinya dan memeriksa lukanya.
Laki-laki itu mendekat,
Shilla semakin menundukkan wajahnya
karena takut dengan orang asing.
“Kamu kenapa?” Tanya
laki-laki itu.
Shilla imendongak,
memperlihatkan wajahnya yang bersimbah airmata. Lalu membelalakan matanya
begitu melihat wajah yang dikenalnya. Namun laki-laki itu tetap menampilkan
wajah biasa orang yang baru pertama kali bertemu. Hingga membuatnya berpikir
hanya kebetulan ada orang yang berwajah sama.
“Aku jatuh waktu naik
sepeda” Jawab Shilla sambil menunjuk sepeda roda tiga yang tergeletak asal
tidak jauh dari mereka.
Laki-laki itu segera
merogoh sakunya, dan mengeluarkan plester luka yang langsung ditempelkan pada
lutut Shilla yang terluka setelah meniup-niupnya guna mengurangi rasa sakit.
Laki-laki itu membantu
shilla berdiri. Meski agak dipaksakan karena lukanya ternyata mengeluarkan luka
yang begitu perih, Shilla tetap berdiri karena harus menuntun sepedanya pulang
kerumah.
“ARA!!”
Shilla mendengus pelan
dengan panggilan yang ditujukan padanya. Panggilan yang hanya digunakan oleh
ibu tirinya hanya karena tidak ingin menyamai Ibu kandungnya yang memanggil “Cilla”.
Bahkan hari pertama Shilla bertemu dengan sang Ibu justru membuatnya harus
kehilangan rambut panjang yang disayanginya, yang justru dipotong bob pendek
untuk menghilangkan imej dari identas yang diberikan ibu kandungnya.
Shilla tidak bisa
membantah untuk itu semua. Karena Papanya juga turut mendukung keputusan Ibu
barunya. Apalagi untuk keputusan pengadilan yang pertama, Shilla harus tinggal
bersama Papanya. Keputusan yang sulit dimengerti oleh anak sekecil Shilla.
“Makasih ya” Shilla
mengucapkan terimakasih tanpa menoleh kepada laki-laki yang menolongnya.
Bisa dirasakan tatapan
heran dari anak laki-laki tersebut.
‘Dia tidak mengenali
aku. Mungkin dia bukan Iyel’ Bathin Shilla.
Dengan sigap laki-laki
itu menahan tangan Shilla. “Semoga kita bisa bertemu lagi ya”
***
“Shilla bangun, Shill…”
“Shilla..”
Shilla menggeliat
begitu mendengar suara yang suara yang perlahan mengembalikan kesadarannya.
Shilla menyipitkan matanya untuk melihat kearah jam dinding yang terpajang
dikamarnya, namun tidak berhasil dikarenakan mata yang justru lebih memilih
menutup ketika dia berusaha menajamkan penglihatannya.
“Udah jam 7 malam,
lihat tuh kamu belum ganti seragam. Cepet mandi, terus kebawah untuk makan
malam dan minum obat” Suara mamanya mengembalikan lagi kesadarannya.
Shilla melirik seragam
cagvairs yang belum sempat digantinya saat pulang sekolah tadi. Entah kenapa
hari ini dia begitu lelah hingga langsung terlelap begitu tiba dirumah.
“Shilla bangun” Tegur
mamanya lagi sambil melempar handuk kearah putri sulungnya.
“Iya ma ini bangun kok”
jawabnya sambil merenggangkan badan dan menerima handuk yang diberikan mamanya.
“jangan tidur lagi,
kamu belum makan, Mama tunggu dibawah ya” Dan wanita paruh baya itupun langsung
berlalu meninggalkan kamar Shilla.
Ketika mendengar
langkah mamanya mulai menjauhi kamar, Shilla mengurut keningnya berusaha
mengingat mimpinya tadi dan alasan dia langsung tertidur ketika tiba dirumah.
Punggungnya langsung
menegak begitu bayangan wajah Gabriel lah yang langsung memenuhi benaknya.
Shilla langsung meloncat dari kasurnya dan berjalan cepat ke salah satu lemari yang
menyimpan barang-barang favoritnya sejak kecil, dan mulai menggeledah isinya
untuk memastikan ingatannya.
30 menit berlalu,
hingga suara mamanya yang berteriak memanggil namanya untuk segera turun
membuat aktivitas Shilla berhenti. Barang yang dicari TIDAK ADA. Shilla kembali
mengurut keningnya. Mencoba perlahan-lahan mengingat seluruh mimpinya tadi dan
kejadian jatuhnya foto familiar dari tas Gabriel di Lapangan Indoor tadi siang.
“Apa gue salah orang?”
***
John melangkahkan kakinya
menuju meja yang memang sengaja sudah direservasinya sedari awal untuk makan
siang hari ini. Diikuti Dharma dibelakangnya. John melangkah menuju meja yang
sudah diduduki seorang wanita berumur 30 tahunan yang masih terlihat muda namun
begitu elegan.
“Hello K, sorry too
late” Sapa John sambil memberikan senyum terbaiknya untuk menerima kata maaf,
namun sebelum sapaannya ditanggapi, John langsung melanjutkan ucapannya lagi
sambil menarik Dharma disebelahnya. “Lihat aku ajak siapa kesini”
K atau sapaan dari nama
Kinan –wanita itu- segera meneliti siapa yang diajak John setelah membalas
senyumnya. Namun begitu mengenali siapa yang diajak oleh John tatapan wanita
itu berubah tajam dan semakin menaikkan dagunya.
John yang bisa membaca
situasi meski tidak mengerti keseluruhan apa maksud dari sikap Kinan yang
tiba-tiba berubah karena kehadiran Dharma langsung berusaha mencairkan suasana.
“jadi kalian mau pesan
apa?” Tanya John setelah mempersilahkan Dharma duduk.
“Samakan denganmu”
Jawaban sama dari 2 orang yang berbeda dihadapannya langsung membuat John
mengangguk dan memanggil waiter dikarenakan situasinya mulai tidak nyaman.
“Hey K, ada apa?” Tanya
John kepada Kinan yang sepertinya tidak mau menolehkan kepala kearah Dharma.
“Tanyakan pada orang
yang kamu ajak, kenapa dia berani muncul lagi setelah meninggalkan
keluarganya?” Tandas Kinan.
Dharma menaikkan
sebelah alis, kurang suka jika permasalahan sensitif dibahas oleh orang lain.
Dharma membetulkan duduknya menjadi lebih tegak. Pandangan matanya yang tadi heran
berubah menjadi tajam seakan siap menguliti semua orang dihadapannya. “Lalu apa
urusannya denganmu?” Tanya Dharma dingin.
“Keponakanku jadi tidak
memiliki sosok Ayah, dan kakak ku menjadi terlalu fokus mengurusi mereka sampai
melupakan kehidupannya sendiri. Meskipun kakak ku tidak merasa itu sebagai
beban tapi aku juga ingin melihat kakak mulai mengejar kebahagiannya sendiri”
Kinan menjelaskan dengan tegas, meski perlahan matanya mulai tidak terfokus
karena cairan bening yang mulai menggenang disudut matanya.
“Dan aku tidak pernah
merasa mengenal, menikah apalagi berkeluarga dan memiliki anak dari kakakmu.”
Suara Dharma semakin merendah untuk menahan gejala emosinya yang terlihat
disana.
“Cukup Kinan! Kamu tau,
aku bersedia untuk menunggu kamu, bahkan sampai Alvin nanti pada akhirnya mau
menerima kita. Lagipula Dharma dan Almarhumah Gina memang sepakat untuk
berpisah dan tidak saling menggantungkan kehidupan mereka….”
“APAA??!!” Kata-kata
John terputus oleh pekikan dari mulut Dharma.
Dharma merasa tenggorokannya
kering, namun pertanyaan itu harus segera ditanyakan juga. “Apa..apa.. apa
maksud dari Almarhumah Gina???” Tanya Dharma sambil mencekal pergelangan tangan
John.
Muka John seketika
menjadi pias diikuti Kinan yang menampilkan ekspresi yang sama begitu menyadari
orang dihadapan mereka tidak mengetahui apa yang telah terjadi.
“Gina sudah pergi 8
tahun yang lalu karena Hemolytic anemias nya semakin kronis”
***
Dharma Damanik mengusap
wajahnya kasar, kejadian seminggu lalu kembali berputar didalam benaknya. Jadi
inilah mengapa dia tidak pernah mendengar kabar jelas dari Mantan Istri nya
meskipun orang-orang yang suruhannya selalu melaporkan detail tentang laporan
terkait penyelidikan kehidupan dari anaknya. Yang dia ketahui hanyalah mantan
istrinya yang begitu sibuk bekerja untuk mengurus perusahaan sehingga menjadi sering meninggalkan anaknya
sendirian di rumah.
Namun begitu mendengar
penjelasan Kinan seminggu yang lalu terjawab sudah sosok yang selama ini
menjaga sekaligus membantu menghidupi kehidupan anaknya. Bukan mantan istri
–yang tadi sempat membuatnya geram- karena berpikir sang mantan istri lebih
sibuk berkarier dibanding mengurus anaknya. Segalanya berubah menjadi bertolak
belakang, begitu tau ada orang lain yang mengurus anaknya, bukan hanya mengurus
–meski tidak berada dirumah setiap hari- tapijuga ikut bertanggung jawab dalam
membiayai kehidupan anaknya selama ini. Pantas saja, laporan dari anak buah
tentang sang Mantan Istri selalu samar dan tertutup. Karena memang Gina sudah
tidak lagi ada di dunia ini.
Dharma menghela nafas
berat, lelah segala pikiran yang berkecamuk didalam kepalanya saat ini.
‘Bagaimana kehidupan
anaknya setelah ibu mereka tiada?’
‘Bagaimana anaknya
menghadapi kehidupan setelahnya begitu mengerti tidak ada lagi orang tua
disampingnya?’
‘Apakah kasih sayang
dari Ibu angkat mereka yang sibuk bekerja bisa mengisi hari-hari mereka?’
Naluri nya sebagai seorang Ayah melontarkan segala pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Mungkin inilah
penyebabnya sikap Ify –yang semasa kecil lebih dekat dengannya- bisa berubah
menjadi pribadi dingin dan marah jika bertatapmuka dengannya. Begitu protektif
dengan Deva, dan mandiri dengan semua apa yang dilakukannya, termasuk dengan
kelakuannya yang justru membuatnya harus
terbaring seperti ini.
Ya, Ify menganggap ayahnya
lah penyebab dari semua kejadian yang dialaminya, menganggap Deva adalah hal
yang harus dijaga dan dipertahankan seperti apa yang sudah dilakukan sang Ibu
sebelum tiada. Dan Dharma telah mengetahui dengan apa yang terjadi dengan Ify
dan teman-temannya. Sesuai laporan anak buahnya yang bertemu langsung dengan
dr. Tian langsung sebelumnya.
Dan dari banyak hal
yang ditemukannya selama seminggu ini, yang tidak diinginkannya adalah menghadapi
kemarahan dari sang Anak.
‘Anakmu? Anak-anakmu
seharusnya Tn, Damanik yang terhormat. Anakmu bukan hanya satu orang yang
tinggal terpisah darimu’ hatikecilnya berbisik pelan.
Dharma mendengus kasar
seakan mengejek pertanyaan dari hati kecilnya.”Ya bukan hanya satu, karena Iyel
sekarang juga hidup terpisah dariku” gumamnya pelan.
Hati kecilnya membantah
dalam diam.
***
Sudah hampir satu jam
berlalu Rio bertingkah seperti orang yang tidak memiliki tingkah kewarasan.
Berjalan mengelilingi kamarnya, duduk sebentar diatas kasurnya, mengusap
wajahnya dengan begitu gelisah, sampai frustasi mengacak rambut spike nya sudah
dilakukan berulang kali dengan tempo waktu yang rutin.
Rio benar-benar
menyesali semua sikapnya akhir-akhir ini. Sikapnya yang lebih memilih untuk
terus-menerus mengikuti keegoisan hatinya. Sikap yang justru banyak mengambil
hari-hari nya lebih pada kebimbangan dan kemarahan yang ntah harus kepada siapa
ia luapkan.
Rio membanting dirinya
keatas kasur menghentikan segala aktifitas konyol yang sama sekali tidak
melegakan hatinya. Berharap hal itu bisa menenangkan sedikit dari banyak
pikiran yang berkecamuk di benaknya.
Suasana hening membuat
Rio mendengar suara deru mesin dari motor yang diyakini Rio milik Ray sedang
masuk keperkarangan rumahnya. Satu-satunya orang yang bisa Rio harapkan untuk
sebuah penjelasan yang sepertinya tertutup baginya.
***
Dharma Damanik kini
sudah didalam mobil pribadinya membelah kepadatan dari Ibu Kota Jakarta pada
pagi hari menjelang siang hari dimana arus lalu lintas yang sedang
padat-padatnya. Tanpa supir pribadi, mengabaikan rasa lelah dikarenakan tidak
adanya waktu istirahat dalam menempuh perjalanan semalaman pulang pergi antar
dua Negara. Dharma sadar, sudah tidak
ada waktu lagi untuk menunggu jawaban dari segala pertanyaan yang berkerumun
didalam benaknya.
Setelah memastikan jika
perawatan Ify berjalan dengan baik, Dharma segera memesan penerbangan kembali
ke Jakarta untuk menuju suatu tempat dimana ia harap segala sesuatu nya akan
berdamai disana.
Namun sebelumnya,
disinilah dia berada. Disekolah anak-anaknya, Yayasan milik almarhumah mantan
istrinya. Dharma mengecek arloji nya, sudah 10 menit terlewat dari waktu
perjanjiannya dengan seseorang untuk hari ini. Dia terlambat, tapi seseorang
yang berjanji bertemu dengannya justru lebih terlambat lagi.
“Udah lama?” Seseorang
menepuk punggung Dharma.
“lewat 15 menit John!”
Tandas Dharma.
John mendengus “Gue gak
bakal kena point Cuma gara-gara telat buat
ketemu loe”
Dharma tidak
menanggapi, namun ekspresi wajahnya cukup mengungkapkan ketidaksabaran
sikapnya.
“Ayo masuk, gue tadi
udah buat janji sama Ibu Ira, dan gue udah minta dia manggil anak-anak kita
waktu kita datang” Jelas John sambil mulai melangkah.
“Anak kita?”Pertanyaan
Dharma menahan langkah John beberapa saat sampai akhirnya berjalan lagi tanpa
menoleh kebelakang.
“Bukan loe doang yang butuh bicara”
***
Alvin dan Gabriel
langsung membeku melihat sosok yang menyambut mereka didalam Ruangan Ibu Ira
begitu mereka menutup pintu ruangan. Punggung Gabriel menegang dan pandangan
Alvin justru berubah tajam penuh permusuhan menatap sosok didepannya, Papanya.
“Papa” Gumam Gabriel
pelan, namun cukup untuk didengar Alvin yang langsung menoleh kepadanya lalu
berpaling lagi ke sosok asing yang dulu pernah dilihatnya sekilas waktu dirumah
sakit dan akhirnya mengetahui semuanya
Sosok asing itu kini
dapat diingatnya lagi sebagai Ayah dari sahabatnya. Namun untuk kali ini Alvin
merasa sosok ini terlihat lebih tua daripada yang dia lihat sebelumnya. Sosok
yang dulu tampak begitu arogan, pemarah dan keras, kini tampak begitu lelah.
Seperti semua beban hidup sedang ditimpakan padanya.
Bukan hanya Alvin,
Gabriel pun merasakan hal yang sama. Namun untuk saat ini Gabriel memilih untuk
menutup mata. Dia sedang menghadapi banyak kemarahan saat ini yang membuatnya
merasa harus menyalahkan orang lain. Gabriel mulai memandang tajam ayahnya,
seperti mengajukan sebuah pertanyaan.
“Kita harus bicara Yel”
Ucap Dharma membuka suara begitu menangkap arti tatapan Gabriel. “Tapi tidak
disini” Lanjutnya lagi begitu melihat reaksi Gabriel. “Papa butuh kamu untuk
mengantarkan Papa” Tandasnya begitu Gabriel terlihat menunjukkan reaksi
penolakan.
Alvin tidak lagi
mengacuhkan keberadaan Papanya. Dia terfokus oleh pembicaraan Gabriel dengan
Papanya. Gabriel belum menjawab ajakan dari Papanya barusan. Tapi Alvin tau,
Gabriel sedang berpikir keras. Mata yang tadi pagi dilihatnya masih memancarkan
kesedihan dan penyesalan sekarang telah berubah tajam dan penuh kemarahan.
Alvin baru saja akan
menepuk punggung Gabriel untuk menenangkannya, namun Gabriel sudah mengangguk
pertanda mengiyakan dan langsung berbalik melangkah keluar ruangan tanpa
mengatakan apapun. Tak lama terdengar suara pamit dari Papa Gabriel kepada
Papanya diikuti dengan langkah nya keluar untuk menyusul Gabriel.
Alvin menahan dirinya untuk
mengejar Gabriel. Dia tau ada urusan yang harus diselesaikan dulu secara
masing-masing. Alvin menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri,
sebelum berbalik untuk berhadapan dengan Papanya.
“Papa juga ingin bicara
kepada kamu” Ucap Papa Alvin, seperti sudah menyiapkan diri untuk membuka
percakapan dengan anaknya. Dengan nada lembut seperti bicara dengan jagoan
kecilnya belasan tahun yang lalu. Yang cukup membuat hati Alvin menghangat.
“Tanpa amarah dan menarik
urat seperti yang lalu” Lanjut Papa Alvin sambil melangkah kearah pintu
ruangan, yang membuat Alvin seperti mengikuti sendiri setiap langkah kaki
Papanya.
“Mau ikut?” Tanya
Papanya sambil menoleh kearah Alvin.
“Kemana?” Tanya Alvin
spontanitas
“Makam Mamamu”
***
“Ray” Panggil Rio
menghentikan langkah Ray yang hendak masuk kekamarnya.
Ray hanya menghadap
kearah Rio tanpa mengatakan apapun. Sebenarnya dia sudah tau apa yang akan
ditanyakan atau mungkin lebih tepatnya dibahas oleh Rio saat ini. Ray sendiri
pun sudah tidak bisa menahan semuanya. Terlebih Rio adalah kakak kandungnya
sendiri.
Tapi Ray juga seorang
laki-laki yang memegang komitmennya. Terlepas dari mulut manisnya yang sering
merayu. Ray selalu memegang komitmennya dengan orang lain. Apalagi hal itu
menyangkut Deva sahabatnya, dan Ify yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya
sendiri.
Rio sepertinya bingung
untuk memulai percakapan. Jadi tanpa kata-kata dia langsung berbalik lagi masuk
kedalam kamarnya. Namun tanpa disangka Ray juga mengikuti langkahnya masuk
kedalam kamar. Ray mengerti, saat ini Rio sedang membutuhkan teman bicara.
Rio menghempaskan
tubuhnya diatas kasur dan menggunakan kedua tangannya sebagai bantalan lalu
menghela nafas berat.Ray yang mengerti kesulitan kakaknya untuk berbicara
langsung meletakkan tasnya di bangku belajar Rio lalu mendudukan dirinya
dilantai disamping kasur.
“Kesalahan gue sejauh
apa Ray” Tanya Rio yang dari tadi sudah berdiam diri kepada Ray yang masih
tetap menunggunya berbicara.
Ray memejamkan matanya
sejenak. ‘Banyak’ jawab hatinya, namun.. “Gue gatau kak”
“Separah apa dampaknya
untuk semuanya?” Tanya Rio lagi.
“Diluar dugaan” Jawab
Ray singkat
Rio menghela nafas
panjang.
“Gimana keadaan Ify
malem itu?”
“Loe bisa tau
seandainya loe disana” Tandas Ray, emosinya mulai terpancing mendengar pertanyaan
Rio yang satu ini.
Rio memejamkan matanya
mendenger amarah dari Ray, yang Rio tau sedang berusaha ditahannya. Namun Rio
butuh pelampiasan sekarang. Kemarahan akan ketidaktahuan sangat membuatnya
frustasi didalam. Apalagi ketika mengingat wajah kesakitan Ify akibat
kecelakaan itu. Dan airmata Ify terakhir untuknya malam itu.
Rio mengacak wajahnya
frustasi. Lalu duduk dikasurnya, diikuti Ray yang juga berdiri dari duduknya.
“Seumur-umur gue jadi
adek loe, gue gak pernah ngerasa sekesel dan sekecewa ini sama loe. Nyokap
selalu ngebandingin kita pun gue selalu tahan diri untuk itu semua. Karena gue
tau, apa yang pernah kak Ify bilang gue itu benar. Setiap anak punya caranya
sendiri. Dan buat gue, loe itu selalu jadi pribadi yang bisa jadi panutan gue.
Apalagi dengan prestasi lo yang tanpa cela itu.” Jelas Ray mengeluarkan
unek-uneknya.
“Lo bisa menjaga
prestasi loe dengan baik, loe bisa menjaga image loe sebagai ketua osis dengan
baik, loe bisa mengatur team basket dengan baik, tapi untuk menjaga hubungan pertemanan
dan mempertahankan hubungan dengan orang yang bener-bener loe sayang loe
gabisa” Telak, ucapan Ray benar-benar menohok Rio sekarang. Ternyata inilah
jawaban rasa frustasinya, dia mampu menjaga semuanya yang dia inginkan, namun
gagal mempertahankan yang dia butuhkan.
“Gue selalu mengagumi
elo kak biarpun gue gabisa mengejar elo. Gue selalu berusaha mengimbangi elo,
terutama lewat photography dan ngedrummer. Mungkin gak bisa menyamai elo, tapi
gue cukup puas dengan segala pencapaian tiap usaha gue. Dan bisa menjadi alasan
gue mempertahankan semuanya. Dan itu berlaku untuk temen-temen gue, dan
temen-temen loe yang udah gue anggep kakak gue sendiri”
Ray menarik nafasnya
sebelum melanjutkan kata-katanya kembali. “Gue kecewa sama loe kak, seperti
pertanyaan loe tadi. Mungkin gue disini juga salah karena gak memberitahukan ke
elo apa yang sudah terjadi. Tapi apa loe gak sedikit dari tergerak untuk
memahami pelan-pelan apa yang terjadi? Seperti yang kak Alvin bilang, peka
dikit kak, bukan Cuma loe yang mau dimengerti” Ray terduduk dipinggiran kasur
Rio sambil mengusap wajahnya kasar.
Berusaha menenangkan emosinya sendiri.
Rio mengacak-acak
rambutnya. Tidak membantah semua ucapan Ray. Hati kecilnya membenarkan semua
ucapan adiknya yang jarang sekali bersikap serius.
“Gue harus apa sekarang Ray?” Tanya Rio hampa.
Ray menoleh kearah
Rio, Rio sedang duduk dipinggiran kasur
seperti dirinya dilain sisi, kepalanya ditundukkan menyatu dengan tangannya
yang menempel dikening. Disatu sisi Ray merasa kasihan dengan rasa bersalah
yang harus ditanggung kakaknya. Namun disatu sisi, Ray merasa itulah yang harus
diterima kakaknya.
“Apa ini hukuman buat
gue?” Tanya Rio lagi begitu tidak mendengar reaksi Ray.
Ray mendesah pelan.
“Iya ini hukuman buat loe kak, loe pantes menyesal seperti ini. Karena mungkin
ini karma dari perbuatan loe.”
Rio semakin menunduk
dalam.
“Tapi loe gak pantes
merasa bersalah seperti ini kak. Semua udah terjadi” Ray meremas bahu Rio
menguatkan. “Gue gabisa melanggar janji yang udah gue buat sama kak Ify,
termasuk marah sama elo seperti yang dia pesankan ke kita semua malam itu,
terlebih loe adalah kakak gue sendiri. Tapi gue akan selalu ada saat loe minta
bantuan untuk memahami ini semua dari awal secara perlahan.” Ray menepuk
punggung Rio sebelum berdiri untuk berjalan mengambil tas nya dan meninggalkan
kamar Rio.
Tepat pada saat Ray
ingin menutup pintu kamar Rio sudah mendongakan kepala mengarah padanya.
“Ray” panggilnya, Ray
menghentikan niatnya.
“Terimakasih” Ucap Rio
pelan
Ray tersenyum kecil.
“That’s what bro are for”
Rio ikut tersenyum.
Senyum yang yang menyiratkan sedikit kelegaan. Paling tidak, disaat tidak ada
lagi yang mempercayainya sekarang. Masih ada saudara satu-satunya yang
dimilikinya sekarang.
***
“Pak Priyo kemana?”
Gabriel tidak tahan untuk tidak mengajukan pertanyaan mengenai keberadaan supir
pribadi Papanya begitu masuk kedalam mobil dan melihat Papanya duduk dibelakang
kemudi untuk mengendarainya.
“Bukannya tadi Papa
bilang papa ingin berbicara dengan kamu. Iya kamu, tanpa ada yang lain diantara
kita. Termasuk supir” Jawab Papanya.
Gabriel mengerutkan
kening heran. Papanya ini termasuk jenis Tuan Besar yang bahkan jarang sekali
pergi tidak membawa pengawal pribadi apalagi harus menyetir sendiri seperti
sekarang ini.
Sang ayah seperti
menangkap keheranan pada diri anaknya. Setelah menghela nafas pelan dia kembali
berkata. “Papa langsung dari Bandara kesini. Papa lupa bilang sama Pak Priyo
Papa pulang dari Singapore pagi ini juga. Papa tidak bisa menunggu untuk ketemu
kamu, jadi papa langsung sewa mobil untuk kesini”
Mendengar kata
‘Singapore’ dan ‘tidak bisa menunggu’ sontak langsung membuat Gabriel kembali
bertanya-tanya. Apa semua ini ada hubungannya dengan……………
“Papa mau kamu
mengantarkan papa kesuatu tempat”
“Kemana?”
“Makam Bundamu”
***
Ify langsung memasuki
ruang perawatan intensif begitu tiba di Singapore. Dr. Tian yang memang turun
langsung untuk mendampingi pasien istimewanya kali ini juga sudah kembali bergegas
untuk menyiapkan segala penanganan yang tadi sudah disudah dibicarakan via
telepon kepada Dr. Lee specialisasi ginjal di GS Hospital.
Setelah segala
persiapan selesai, untuk berjaga-jaga jika kondisi Ify tiba-tiba menurun. Dr.
Tian kembali mengecek keadaan Ify untuk memastikan kondisinya yang mulai kembali
stabil. Ketika mengecek denyut nadi dipergelangan tangan Ify, dr, Tian
merasakan Ify sedikit menggeliat pelan. Dr. Tian segera mendekat lagi kearah
Ify bermaksud melihat kondisi pupil matanya. Namun langkahnya terhenti begitu
mendengar gumam an kecil, namun cukup ditangkap oleh pendengarannya karena
jarak yang begitu dekat.
“Pa….pa....”
“Papa…..”
Dr. Tian langsung
terenyuh begitu bisa benar-benar mendengar secara jelas gumam an kecil dari
mulut Ify. Nyatanya, meski hidup terpisah bertahun-tahun, tidak akan memutuskan
tali yang mengikat hubungan antara Ayah dan Anak ini.
Sebelum
keberangkatannya ke Singapore untuk mengawal Ify, Dr. Tian cukup terkejut
dengan kedatangan orang yang mengaku anak buah dari Dharma Damanik yang tak
lain sosok yang tadi menjadi objek igauan Ify. Mereka menanyakan keadaan Ify
secara jelasnya karena Dharma tidak bisa datang secara langsung. Bahkan mereka
juga yang memberitahukan perkiraan Dharma akan ikut mengawal Ify ke Singapore
untuk memastikan keadaan putrid semata wayangnya.
Dr. Tian yang memang
sudah mengenal baik sifat Dharma Damanik dengan gengsi tingginya dengan senang
hati menjelaskan sedikit tentang penyakit Ify dan penyebab Ify hingga harus
terbaring seperti ini. Berharap, Dharma Damanik akan bisa tergerak hati nya untuk
mendampingi putrinya melewati masa kritis.
Harapan Dr. Tian
terbukti, Kini Dharma sedang menunggu diluar ruangan bersama Linda, Ibu angkat
dari Ify. Dan langsung memesankan padanya sendiri untuk melakukan segala hal
terbaik untuk menangani keadaan putrinya.
Dr. Tian mengusap
kening Ify dengan lembut. “Kamu benar sayang, kamu merasakan, papamu diluar
sekarang. Dekat denganmu. Kamu harus kuat” dr. Tian membisikkan kata-kata itu
ditelinga Ify, tanpa sadar jika air matanya mulai menetes…
***
Alvin berjalan pelan
mengikuti langkah papanya yang ada didepannya. Disalah satu tangannya Alvin
membawa bunga tabur dengan tangan disisi lainnya membawa seikat bunga berukuran
sedang. Melakukan hal yang sama, sangPapa juga membawa setangkai bunga favorit
Almarhumah Mamanya yang sepertinya sengaja dipetik dahulu di perkarangan Rumah
mereka. Untuk yang satu ini Alvin agak terkejut. Sifat yang menurun kepadanya
saat ini sangat dominan dari Papanya yang begitu keras kepala dan tidak ambil
peduli terhadap hal kecil dari orang disekitarnya. Namun Alvin melakukan
pengecualian terhadap orang-orang yang begitu berharga untuknya, seperti kepada
Sivia dan teman-temannya yang lain. Sifat yang disangkanya diturunkan oleh
almarhumah Mamanya.
Sampailah mereka di
sebuah pusara yang diatasnya terdapat bunga-bunga tabur yang mulai mengering.
Sekali lagi Alvin terkejut dengan Setangkai bunga yang telah mengering yang
ditemukannya disudut nisan. Setangkai bunga, yang Alvin yakini hanya ada
diperkarangan rumahnya, dirawat baik dan ditangani secara khusus oleh
keluarganya. Alvin mengingat kapan terakhir kali dia mengunjungi makam mamanya.
Yang jelas bukan dalam waktu dekat yang mudah masuk dalam ingatannya.
“Sepertinya petugas
makan belum sempat membersihkan sudut ini” Ucap Papa Alvin membuyarkan lamunan
Alvin , dan mulai berjongkok untuk membersihkan Makam yang orang yang begitu
dicintainya sepenuh hati.
Pemandangannya yang
terus-terusan membuat hati Alvin menghangat, membuatnya ikut berjongkok dan
menyingkirkan bunga-bunga kering dan mencabuti rumput-rumput yang mulai tumbuh
tidak beraturan diatas makam disisi yang berlawanan dengan sang Papa.
Kegiatan itu terus
berlangsung dalam keadaan diam. Sampai dirasanya cukup, dua laki-laki berbeda
generasi itu hanya menatap nisan yang terkubur jasad wanita yang mereka puja
dalam keadaan diam. Bersamaan tanpa aba-aba, masing-masing dari mereka
mengangkat salah satu tangannya untuk mengusap nisan, sebelum akhirnya perlahan
menundukkan kepala memanjatkan segala doa tentang banyaknya pengharapan kepada
pemilik kuasa alam.
Selesai berdoa, Papa
Alvin menghembuskan nafas panjang seperti melakukan persiapan akan penjelasan
panjang yang akan dibicarakannya.
“Selamat siang sayang,
walaupun hari ini menjelang siang, tapi disini matahari tidak begitu bersemangat
untuk memancarkan panasnya. Sepertinya dia tau, jika aku ingin mengunjungi
matahari paling terang yang pernah ada dihidupku”
“Hari ini aku tidak
sendiri lagi seperti minggu lalu dan minggu-minggu sebelumnya. Aku membawa
jagoan kebanggaanmu yang pasti sudah jarang kesini untuk menemuimu” Papa Alvin
tertawa kecil mendengar ucapannya sendiri, dirinya seperti mengajak nisan yang
dihadapannya bercengkrama.
Sedangkan Alvin hanya
menjadi pendengar yang baik cukup tertegun dengan sikap yang Ayah yang menampilkan
sifat hangat yang baru dilihatnya.
“Jangan sedih untuk hal
itu sayang. Alvin juga mulai menemukan mataharinya. Matahari yang tidak kalah
cantik darimu. Tapi untukku jelas masih kamu yang tercantik hahahaa..”
Alvin mendengus
menutupi sikap salah tingkahnya begitu digoda oleh sang Papa tentang Sivia.
Satu lagi yang tidak diduganya saat ini, Papanya mengingat Sivia. Padahal saat
pertemuan yang lalu bukanlah dikondisi yang mengesankan.
Mengingat hal itu
membuat Alvin kembali teringat oleh wanita yang pernah dibawa Papanya kerumah.
Alvin memasang senyum meremehkan ketika teringat kata-kata manis dari Papanya
barusan untuk Almarhumah Mama.
Sadar akan reaksi Alvin
yang terasa mulai tidak nyaman, sang Papa langsung berdehem pelan. Masih tidak
menatap kearah Alvin, sang Papa masih mengelus pelan batu nisan dihadapannya.
“Sebelum memiliki kamu,
Papa tidak sadar dengan apa yang terjadi dengan Mama mu” Papa Alvin memulai
cerita tanpa menghentikan kegiatan awalnya seakan dia akan bercerita dengan
pusara dihadapannya.
“Ketika kamu lahir,
Mama kamu teramat sangat bahagia, bahkan hampir setiap kali ia selalu menangis
ketika melihat kamu. Papa pikir, itu semua hanya luapan kegembiraan dari
seorang Ibu yang melahirkan dengan sempurna anak pertamanya.” Papa Alvin
memejamkan matanya sejenak sebelum melanjutkan kembali ceritanya.
“Mama kamu selalu
bersemangat setiap kali menceritakan kegiatan kamu setiap hari kepada Papa yang
masih tetap sibuk bekerja meski sudah memiliki kamu” Papa Alvin menunduk dalam.
“Bahkan Mama mu bersemangat untuk terus memperbanyak keturunan kami agar rumah
ramai dengan suara anak-anak yang menemani Mama ketika Papa sibuk bekerja” Papa
Alvin terkekeh kecil.
Alvin mendengarkan
dengan baik dalam sikap diamnya. Dengan tatapan yang menatap lurus kearah Papanya,
Alvin dapat merasakan sebuah kesepian yang terpendam disana. Kesepian dari
segala bentuk penyesalan akan waktu yang berjalan pasti tanpa menoleh kembali.
“Tidak lama, mama mu
kembali mengandung lagi. Olivia. Mama mu begitu semangat untuk kehamilan yang
berikutnya ini. Apalagi begitu mendengar jika anak berikutnya adalah perempuan.
Mama mu begitu senang karena merasa akan ada yang menemaninya saat masa tua
nanti.” Papa Alvin menengadahkan kepalanya keatas seperti menahan segala
gejolak emosi yang selama ini ditahannya sendiri.
“Pada saat kehamilannya
memasuki usia tua disitulah Papa mulai merasa banyak kejanggalan. Kondisi
kesehatan Mama mu terus menurun, berbanding terbalik dengan semangatnya.”
Dada Alvin bergemuruh
begitu takut untuk mendengar kelanjutan ceritanya. Alvin takut jika semua
sikapnya selama ini salah, namun Alvin juga ingin mengetahui semua cerita
kenapa Ayahnya begitu kurang memperdulikannya dan berimbas pada sifatnya yang
ajdi kurang peduli terhadap orang lain.
Papa Alvin tidak lagi
berkata-kata, hanya merogoh saku kemeja yang dipakainya dan meraih selembar
kertas lusuh disana dan memberikannya kepada Alvin.
Alvin mengerutkan
keningnya heran namun tetap menerima kertas yang diberikan papanya. Alvin
menilai sekilas keadaan kertas tersebut. Sangat lusuh, seperti sudah
berkali-kali dibaca. Ada sedikit bercak kecoklatan dipinggir kertas dan
ditengah tulisan sehingga membuat tinta agak luntur namun masih tetap jelas
untuk dibaca.
My
Dearest Husband and Besties Father for our Son & our Daughter (soon)
Papa..
Jangan
merasa bersalah ketika membaca surat ini..
Mungkin
pada saat surat ini ada ditangan Papa, Mama sudah tidak ada lagi disamping
Papa..
Papa..
Maaf
jika selama ini Papa merasa dibohongi..
Mama
divonis tentang penyakit kanker rahim ini saat diberitahukan tentang kehamilan
jagoan pertama kita.
Mama
menolak begitu dokter ingin memberitahukannya kepada Papa karena Mama tidak
ingin konsentrasi Papa terganggu.. Apalagi saat itu perusahaan yang Papa rintis
masih dalam tahap awal..
Papa..
Lagipula
Mama yakin mama masih bisa menjaga Alvin saat itu..
Apalagi
ketika Alvin lahir dan kondisi Mama tetap baik-baik saja, rasanya perasaan
mengancam yang pernah diucapkan Dokter seperti tidak pernah terjadi..
Pasti
Pa, suatu saat Alvin akan tumbuh begitu kuat dan membanggakan seperti Papa..
Karena
Mama merasa begitu kuat ketika masa kehamilannya..
Itulah
kenapa Mama begitu bersemangat menambah keturunan untuk melengkapi kebahagiaan
kita..
Terlebih
saat mendengar akan kelahiran malaikat kecil baru kita..
Untuk
menemani Mama..
Papa..
Mungkin
Papa bukan orang yang sempurna pada saat harus menjalankan peran sebagai suami
untuk Mama, Ayah untuk Alvin, dan Pemimpin untuk sebuah perusahaan..
Mungkin
Papa jadi tidak memiliki banyak waktu untuk Mama dan buah hati kita..
Tapi
percayalah Pa, saat itulah Mama begitu merasa bangga..
Bangga
kepada Papa yang begitu mencintai pekerjaan Papa, meski itu jadi menyita waktu
Papa..
Bangga
kepada perjuangan Papa supaya hidup mama dan anak-anak kita terjamin nantinya..
Mama
tau ada pengorbanan yang harus dibayar untuk semua itu.. dan akan dibalas
dengan keyakinan Mama “akan indah pada waktunya”
Tapi
bagi Mama semuanya sempurna karena Mama menyadari Papa tetap melakukan semua
itu dengan kesungguhan..
Mencintai,
menyayangi, dan memperhatikan Mama dengan cara Papa sendiri, yang entah kenapa
Mama yakin akan menurun ke Alvin..
Pssstt..Pa,
Alvin selalu punya cara untuk membuat Mama berhenti menangis ketika memikirkan
penyakit Mama..
Entah
dengan tawanya, tingkahnya bahkan rengekan tingkah rewelnya..
Jaga
itu semua ya Pa.. Mama yakin Papa pasti bisa..
Untuk
Malaikat kecil kita.. Mama tau Papa tidak bisa memilih.. jadi biarkan Mama yang
memilih..
Mama
memilih malaikat kecil kita untuk mendampingi Papa.. menghadirkan suara lain
dalam hidup Papa..
Jaga
mereka semua ya Pa.. Jangan merasa bersalah, jangan ada yang disesali..
Terimakasih
sudah melengkapi Mama..
With
ALL much LOVE,
Mama
Alvin tidak bisa lagi
menahan air matanya. Tetes demi tetes jatuh mengenai kertas yang ada
digenggamannya. Hingga salah satu tetesannya mengenai salah satu kata dari
tulisan tangan yang tintanya kembali meluntur. Alvin sadar sekarang penyebab
kenapa kertas yang dipastikan awalnya berwarna putih itu menjadi lusuh dan
tintanya menjadi luntur di beberapa tempat.
Kertas ini ditujukan
untuk Papanya, dimiliki dan disimpan oleh sang Papa semenjak kepergian Mamanya
bertahun-tahun silam. Apakah kesedihan yang tergambar jelas pada keadaan kertas
ini merupakan wujud kesedihan sang Papa? Alvin memandang lurus kearah Papanya
yang hanya menunduk dalam sambil sesekali menggelengkan kepalanya.
“Pa.. pa…” Alvin tidak
mempedulikan lidahnya yang mendadak kelu ketika salah satu tangannya meraih
bahu Papanya untuk menguatkan.
“Papa gagal Vin, papa
gagal” Ucap Papa Alvin sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Papa….”
“Papa lalai menjaga
Mama, Papa tidak bisa menjaga kamu dan Oliv. Terlebih kamu. Papa benar-benar
tidak bisa menghapus bayang wajah Mamamu ketika melihat kamu Vin. Meski kamu
lebih mirip Papa. Tapi semua cerita-cerita Mama setiap Papa pulang kerja
tentang tingkah laku kamu menjadi sebuah kenangan tersendiri ketika melihat kamu”
Tanpa segan, Papa Alvin langsung memperlihatkan emosinya didepan anaknya.
Alvin hanya bisa
terdiam yang mendengar cerita sang Papa. Tangannya yang tadi diatas bahu
Papanya kini kembali luruh jatuh diatas pusara seakan tidak lagi bertenaga
untuk dikendalikannya.
“Itulah kenapa Papa
memilih melarikan diri ke pekerjaan Papa. Papa takut, kamu boleh kecewa untuk
semua itu. Papa begitu mencintai Mama dan benar-benar menyesal tidak begitu
lebih memperhatikannya pada waktu kehamilan hingga melahirkan dan mengurus
anak.”
“Kalo Papa begitu
mencintai Mama, kenapa harus ada wanita lain untuk sekarang” Alvin tidak bisa
menahan lebih lama lagi pertanyaan itu dibenaknya. Sedari tadi dirinya bisa
melihat besar cinta Papa kepada Mamanya. Namun ketika mengingat saat perkenalan
dengan wanita asing yang datang kerumahnya dan mengaku akan menjadi calon Mama
baru baginya, semua apa yang dilihatnya sekarang menjadi sebuah keraguan.
“Dari dulu Papa selalu
berharap memiliki kesempatan kedua. Dan Papa ingin memulainya dari kamu dan
Olivia. Namun seperti yang Papa bilang tadi. Papa terlalu takut. Papa takut,
Papa mengurus kalian dengan bayangan kenangan tentang Mama sehingga pada
akhirnya bisa membuat kalian ikut sedih…..”
“Hingga akhirnya Papa
memilih menyimpan kesedihan itu sendiri hingga saat ini, membuat semua kecewa
akan sikap ketidakpedulian Papa yang bahkan membuat aku sendiri hampir membenci
Papa” Kelanjutan cerita Alvin hanya bisa diangguki pelan oleh papanya.
“Oliv tidak merasakan
ini semua hingga dia hanya mengerti Papa yang sibuk bekerja. Tapi tidak dengan
aku, Pa. Dari kecil aku bisa merasakan jelas meskipun sebentar kasih sayang
Mama dan perhatian Papa yang dulu meski telah lelah setelah sibuk bekerja tapi
masih bisa mendengar cerita Mama tentang segala tingkahku. Lalu ketika Mama
pergi, semuanya terasa ikut pergi, termasuk kehangatan Papa” Alvin mencoba
untuk mengeluarkan perasaannya.
Sang Papa meraih tangan
Alvin untuk digenggamnya. “Demi Tuhan Vin, Papa tidak bermaksud mengambil
semuanya. Papa takut menyakiti kalian.” Diremasnya tangan Alvin dalam
genggamannya.
“Soal tante Kinan, apa
Papa bermaksud mengganti Mama?” Alvin bertanya lagi.
Sang Papa menggeleng
keras. “Sampai kapanpun tidak ada yang bisa mengganti Mama. Tante Kinan mungkin
hadir, untuk jawaban kesempatan kedua yang diminta oleh Papa”
Alvin mengerutkan
keningnya heran.
“Tante Kinan memiliki
riwayat penyakit seperti Mama mu. Dulu .Papa
begitu menyesal karena tidak sempat memperhatikan, menjaga dan merawat
Mama mu dulu” Sang papa terdiam sejenak. “Papa ingin menebus semuanya. Tapi
waktu tidak bisa diputar, Mama juga tidak mungkin kembali ditengah-tengah kita.
Jadi mungkin lewat Kinan lah Papa mencoba ingin memulai lagi semua dari awal”
“Jangan jadikan Tante
Kinan dibawah bayang-bayang Mama, Pa”Desis Alvin yang salah paham dengan maksud
Papanya.
Papa Alvin seperti
sudah menebak reaksi Alvin sebelumnya dan hanya menggeleng pelan. “Papa sudah
katakan, tidak ada yang bisa menggantikan mama kamu Vin, Papa melihat Kinan
memang sebagai dirinya, bukan sebagai Mama mu. Papa hanya ingin kesempatan
kedua untuk bisa memperhatikan, menjaga dan merawat orang lain setelah Papa
gagal menjaga baik-baik Mama kamu. Papa ingin melakukan hal yang tidak sempat
Papa lakukan dulu meskipun itu lewat tangan orang lain.” Papa Alvin meremas bahu
anak laki-lakinya.
“Bantu Papa Vin,
satu-satunya orang yang bisa merasakan kesepian ini selain Papa hanya
kamu. Bantu Papa untuk menerima Kinan.
Tidak perlu buru-buru apalagi kamu harus membuatnya menggantikan posisi Mama.
Karena saat ini pun Papa masih menunggu.”
Alvin mengerutkan
kening heran dengan penjelasan gantung dari Papanya. “Maksud papa?”
“Karena Kinan juga
masih menunggu. Menunggu kakak perempuannya. Dari awal Kinan memang tidak
pernah berniat berumah tangga ketika vonis kanker rahim jatuh padanya. Tapi
selain itu, dia tidak ingin menikah sampai kakaknya perempuannya menikah” Jawab
sang Papa.
“Lalu kenapa harus
menunggu? Papa bahkan bisa memaksa tante Kinan meski tidak ada persetujuan aku”
Sang Papa menggeleng.
“Tidak tanpa persetujuan kamu, Papa tadi bilang, kamu satu-satunya orang yang
bisa mengerti Papa sekarang meski kamu selalu membantahnya. Papa tidak mau
memaksa Kinan karena bagi Kinan kakaknya adalah segalanya setelah kedua orang
tua mereka. Kakaknya yang membiayainya sekolah dan kehidupannya hingga dia bisa
bekerja dan hidup secara mapan sebagai wanita. Dan kakaknya saat ini tidak bisa
menikah karena sedang terfokus untuk menjaga anak dari sahabatnya dan mengurus
banyak perusahaan yang ditinggalkan mendiang sahabatnya yang dulu juga membantu
kehidupannya”
Entah mengapa Alvin
merasa sangat familier akan cerita Papanya.
“Mungkin kamu merasa
mengenal cerita Papa” tebak Papanya yang sedang memperhatikan wajah Alvin
lekat-lekat.
Alvin menoleh kearah
Papanya dan menggangguk pelan. Entah mengapa dalam hitungan jam sang papa
seperti sangat mengerti dirinya. Memahaminya tanpa dia harus mengeluarkan
suara. Memikirkannya, membuat Alvin merasakan sesuatu yang melegakan aliran
pernafasannya.
“Kamu benar, anak-anak
yang dijaga oleh Kakak perempuan Kinan adalah adik dari Gabriel. Dan sepertinya
anak itu menghadapi hari yang berat saat ini”
Alvin merasa seperti
tersengat begitu mengingat Gabriel. “Ja.. jadi? Maksud Papa? Adik dari Gabriel
itu… Mamanya Gabriel jadi.. yang.. yang.. mengurus Ify dan Deva selama
ini……..Pa..”Alvin benar-benar tergagap mengeluarkan isi kepalanya
Papa Alvin kini memilih
berpindah kesebelah anaknya. Saat ini posisi mereka sama-sama berdiri. Alvin
masih berusaha mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Sang Papa meremas
bahunya untuk menenangkan.
“Apapun yang ada
dipikiran kamu saat ini. Papa membenarkan. Kamu pasti bisa menebaknya sendiri”
Alvin mendesah nafas
pelan. Memikirkan betapa dunia tempatnya tinggal begitu sempit sekali dan
sangat berkaitan.
Ify, Ya Tuhan..
Bagaimana keadaan gadis itu saat ini jika mengetahui Gabriel pergi bersama
Ayahnya. Belum lagi keadaan Deva. Alvin
benar-benar merasa kalut sekarang.
Papa Alvin sepertinya
bisa menangkap kekalutan dari wajah anaknya.
“Papa tau, kamu
mengkhawatirkan Gabriel. Tapi Papa juga butuh bicara dengan kamu seperti Dharma
yang butuh waktu bicara dengan anaknya. Kamu tenang saja, semoga setelah ini
baik-baik saja. Tanpa sengaja, justru Kinan yang memberitahu keadaan yang
sebenarnya. Maafkan Papa yang egois ini. Tapi Papa sangat benar-benar butuh
bicara dengan kamu Vin” Papa Alvin menunduk sambil meremas pundak anaknya.
Alvin memejamkan
matanya sejenak dan mengambil nafas dalam-dalam dengan segala
keputusan-keputusanyang baru saja dibuatnya. Alvin sadar, bukan hanya papa yang
butuh untuk bicara dengannya, tanpa dibantahpun sebenarnya Alvin juga butuh
untuk berbicara dari hati ke hati bersama Papanya. Mereka pernah memiliki rasa
yang sama, dan kehilangan sesuatu yang sama. Tumbuh dengan banyak kesakitan,
kesepian dan kecewaan yang dipendam satu sama lain. Dan inilah saat nya
melepas. Melepas kesalahan dimasa lalu untuk kembali melangkah memperbaiki masa
depan.
“Alvin juga minta maaf
Pa. Maaf jika selama ini Alvin tumbuh tidak sesuai dengan harapan yang sering
Mama ceritakan kepada Papa. Maaf Pa, karena Alvin bahkan belum sempat untuk
mendengarnya. Mama pergi tanpa menunggu keindahan pada waktunya” Alvin langsung
memeluk Papanya yang juga langsung memeluknya erat.
“Mamamu tidak terlalu
tinggi ketika menilai kamu. Walaupun saat itu kamu masih kecil. Mama seperti
bisa menebak seperti apa kamu nantinya. Dan itu membuat Papa bangga luar biasa”
Papa Alvin melepaskan pelukannya. Lalu diusapnya kepala Alvin seperti yang sering dilakukannya dulu saat
Alvin berhasil membuat tingkah lucu yang menghasilkan tawa.
Alvin menengadahkan
kepalanya keatas langit, seakan membayangkan sang mama yang tersenyum melihat
mereka. Alvin memejamkan mata nya dan tersenyum kecil ‘semoga ini keputusan
yang tepat’ bathinnya.
“Alvin mau Pa…” Alvin
mengatakannya sambil menatap lurus kearah Papa yang menatapnya heran.
“Alvin mau belajar
untuk menerima tante Kinan, membantu Papa untuk kembali mendapatkan kesempatan
kedua”
Tanpa bisa menahan rasa
haru, sang Papa langsung kembali memeluk Alvin dengan sayang dan mengucapkan terima
kasih berkali-kali atas kebesaran hati dari jagoannya tersebut. Kebesaran hati yang pastinya diturunkan dari
sifat Almarhumah istri tercintanya.
***
Jika ada tempat yang
saat ini tidak ingin dikunjungi Gabriel adalah makam Bundanya. Gabriel benar-benar
merasa nelangsa dengan yang terjadi akhir-akhir ini. Gabriel merasa takut jika
ditanyai pertanggung jawaban atas keadaan adik-adiknya.
Tidak jauh berbeda,
Dharma Damanik papanya juga tidak bisa menyembunyikan raut wajah kaget, sedih,
kecewa dan penyesalan akan apa yang ada dihadapannya sekarang. Seminggu lalu,
apa yang diucapkan Kinan diharapkannya hanya semua obrolan biasa yang segera
dilupakannya dan tidak benar-benar ada dalam hidupnya. Namun inilah kenyataan
nya sekarang, kenyataan tentang mantan istri yang selama ini tidak pernah
dilupakannya sudah terbaring tenang. Bersatu dengan alam, meninggalkan semua
kenangan penuh penyesalan dalam benaknya.
Gabriel begitu asyik
dengan pikirannya sendiri, dirinya sudah jatuh berlutut didepan nisan sang Mama
dan menunduk penuh penyesalan. Ingin rasanya dia mengadu semua apa yang sudah
terjadi akhir-akhir ini. Dirinya yang mengakibatkan adik yang harus dijaganya
justru dicelakakannya. Adik yang harus dilindunginya lebih dari apapun justru
secara tidak langsung dia sakiti atas egonya.
Sang Papa melakukan hal
yang sama, kakinya benar-benar tidak kuat untuk menopang tubuhnya sekarang ini.
Separuh kekuatan yang menyanggahnya terasa melayang dengan kenyataan ini.
Dirinya memang sudah mendengar tentang hal ini sebelumnya, tapi tidak melihat
secara langsung yang membuatnya masih merasa ragu untuk percaya sepenuhnya.
Hingga saat ini dia
datang memastikannya. Memastikan jika wanita yang pernah menemani kehidupannya,
Ibu dari anak-anaknya, telah pergi jauh ke alam yang tidak bisa diikutinya.
Hingga tanpa rasa malu lagi dia tumpahkan seluruh emosi diatas makam
didepannya.
Isak tangis tertahan,
menyadarkan Gabriel dari pikirannya sendiri. Bisa dilihat didepannya sang Papa
yang biasa terlihat keras dan begitu arogan, kini menangis penuh penyesalan di
depan makam Bundanya. Gabriel menahan dirinya untuk tidak langsung menghambur
kearah sang Papa. Biar bagaimanapun. Gabriel tumbuh besar bersama Papanya.
Sedikit, dia mengetahui sifat dasar Papanya. Namun saat ini Gabriel harus menahan
diri, semua kekacauan ini juga akibat ego Papanya.
Keheningan yang tidak
nyaman melingkupi pasangan ayah dan anak di lingkungan pemakaman yang memang
sepi dikarenakan bukan hari-hari tertentu dimana banyak orang berkunjung.
Semilir angin sore menerpa mereka berdua dalam keheningan yang terasa ganjil
untuk dua orang yang memiliki ikatan darah.
Langit sudah mulai
jatuh keperaduannya, namun mereka masih sama-sama menikmati keheningan yang
berjalan lambat. Ya, mereka tiba di tempat Pemakaman Umum yang terletak di kota
Bandung saat menjelang sore hari dikarenakan lalu lintas yang begitu padat saat
mereka menuju tempat yang dijuluki kota kembang tersebut. Kota dimana awal dari
sebuah keluarga kecil itu dibangun.
Dharma Damanik belum
beranjak dari posisinya, Gabriel pun masih bertahan diposisi awalnya. Hingga
suara dering ponsel mengagetkan keduanya. Gabriel langsung merogoh saku
celananya karena sadar dering telepon itu miliknya dan langsung mengangkatnya
begitu melihat nama si penelepon.
“Deva’s Calling”
“kak lo dimana? Kok
belum balik??” tanpa salam dan sapaan, Gabriel langsung menerima semprotan nada
panik dari Deva yang menayakan keberadaannya.
“Gue lagi diluar Dev,
main sebentar. Mungkin nanti gue balik malem. Lo tidur duluan aja, pesen Bibi
untuk kunci rumah, gue bawa kunci cadangan kok” Gabriel menjawab sambil melirik
kearah sang papa yang melihatnya penasaran.
“Emang loe main kemana
sih? Jangan malem-malem loe, lagi rame begal motor. Eh iya motor loe kok
ditinggal disekolah sih? Loe maen naik apa?”
Gabriel mendengus
pelan, Deva adalah saudara laki-lakinya, tapi kenapa sifatnya lebih mirip Ify
yang perempuan?
“Loe bawel amat sih
kayak Ify, gue lagi sama temen-temen gue kok….”
“Kak Alvin ada dirumah”
Potong Deva
“Loe kira temen gue
Alvin doang, ini temen sekolah gue yang lama. Udah ya Dev, nanti gue pasti
balik kok. Gue aman, loe istirahat duluan aja. Bye.”
“Ehh kak jangan matiin
dulu!! Iya, take care ya, jangan lupa makan”
Gabriel memutar bola
matanya, “Kalo loe setiap nelpon Ify selalu ngingetin dia untuk makan, gue
yakin dia gak harus punya maag yang bikin dia jadi ketergantungan vitamin”
Ucapan Gabriel sukses
membungkam Deva diseberang. Tak lama, suara dehaman kecil terdengar. “Gue
terlambat melakukan itu kak, gue gak bisa mengulang waktu. Paling tidak gue
bisa memperbaikinya lewat elo, kakak gue yang lain. Take care aja ya. Bye”
Gantian Gabriel yang
panik begitu Deva memutuskan sambungan telepon. “hallo Dev, Dev.. jangan
dimatiin dulu…” Gabriel mendesah pelan begitu mendengar nada pemutusan telepon
di indera pendengarnya. Gabriel memandang handphonenya pasrah, seakan Deva lah
yang ada didalam genggamannya. ‘Paling tidak loe punya lebih banyak waktu untuk
menjaga Ify, daripada gue menjaga Ify’ Bathin Gabriel.
Gabriel mengarahkan
pandangan ke arah papanya yang menatap penuh pertanyaan. Pria paruh baya itu
seperti ingin mengeluarkan banyak pertanyaan namun tidak tau harus memulai dari
mana.
Dharma Damanik kembali
menunduk dalam sesaat setelah bertatapan tajam dengan anak sulungnya, tatapan
itu seperti mulai menghukumnya, menyadarkannya akan kesalahan-kesalahan yang
diperbuat untuk memenuhi egonya dulu.
Gabriel masih sabar
menunggu akan setiap reaksi yang dikeluarkan papanya setelah kejadian ini.
Meski dalam benaknya bertanya, darimana Papa nya mengetahui tentang kematian
sang Bunda? Tapi Gabriel masih bisa menahan diri, penyesalan Papanya yang
dilihatnya hari ini sudah cukup membuat nya lega. Dan sikap diam papanya saat
ini, meski berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang penuh menyiratkan pertanyaan
cukup membuatnya mengerti jika sang papa kini tengah berusaha berdamai dengan
dirinya sendiri.
Gabriel menunduk
menatap ujung sneakersnya, sadar dengan yang dipikirkannya, bukan hanya sang
Papa yang butuh berdamai dengan diri sendiri, tapi dirinya jugalah yang harus
berdamai dengan diri sendiri dan mencoba menerima semua keadaan yang terjadi.
***
Lapangan basket outdoor
SMA Cagvairs sudah begitu ramai meski bukan jam pelajaran olahraga, maupun ada
jadwal pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Bahkan bel masuk tanda
dimulainya pelajaran pertama juga belum
berbunyi. Ini semua dikarenakan pengumuman jika adanya rapat guru untuk
sosialisasi pedalaman materi kelas 3 hingga semua mata pelajaran dibebaskan
dengan syarat tidak keluar sekolah sampai jam pulang selesai untuk menghindari
tawuran dengan anak sekolah lain yang suka membolos pelajaran.
Dilain itu, tiga orang
dari the most wanted of boy CAGVAIRS juga sedang menunjukkan keahlian mereka
bermain basket ditengah-tengah lapangan. Lebih tepatnya bukan menunjukan, tapi
mereka tengah bermain one by two untuk memperebutkan si oranye bundar.
Dua lawan satu. Jelas
bukan permainan yang berimbang, namun jika dilihat baik-baik, justru pada sisi
satu oranglah yang terlihat memimpin jalannya pertandingan.
Permainan berlangsung
dalam tempo cepat bahkan hampir tanpa jeda, dua orang yang berada di tim
lainnya berusaha untuk terus mengimbangi permainan lawannya yang menggebu-gebu.
Cakka berlari ke sisi
kanan lapangan, satu tim dengan Alvin yang berada di sisi kiri lapangan
sedangkan diantara mereka ada Gabriel yang begitu siap untuk merebut bola dari
mereka berdua. Cakka mengoper bola yang diterima baik oleh Alvin
Gabriel bergerak cepat
kearah Cakka, sehingga menutup kemungkinan Alvin untuk kembali mengoper bola
kearah Cakka. Alvin langsung berlari kearah ring sambil mendribel bola. Dengan
kecepatan yang tidak diduga Gabriel juga langsung berlari kearah Alvin dan
merebut bola ditangannya.
Keadaan berbalik, tanpa
memikirkan lawan dan kawan satu tim yang tidak dimilikinya Gabriel langsung
melesat ke tengah lapangan dan meng-shoot bola ke arah ring dari luar garis
three point.
Bunyi papan ring yang
beradu dengan bola diikuti sorakan riuh mewarnai suasana SMA Cagvairs pagi ini.
Semua seakan langsung terhipnotis dengan permainan cepat dan tepat Gabriel.
Namun sang empu yang menjadi pusat perhatian saat ini hanya memalingkan wajah
tampak tidak peduli dengan suasana disekitarnya. Bulir keringat sebesar biji
jagung sudah mendominasi wajahnya sekarang. Tanpa peduli lagi kedisiplinan
aturan sekolahnya, dibiarkan seragam tidak lagi menempati tempat seharusnya.
Alvin mengambil bola
yang bergulir kepinggir lapangan, setelahnya, Alvin langsung berbalik untuk
kembali memasuki lapangan. Namun langkahnya langsung dihadang oleh Cakka yang
sedang mengusap keringat dikeningnya.
“Temen loe kenapa sih,
maen kayak orang kesetanan aja” Dengus Cakka, sambil membuka 2 kancing teratas
seragamnya.
Alvin terkekeh. “Kita
belom ada 30menit main dan loe udah engap aja”
“Gimana gak engap, liat
aja tempo permainannya bener-bener nguras tenaga banget. Ada apasih?” Cakka
akhirnya bertanya melihat raut muka santai diwajah Alvin, pasti sudah ada yang
terjadi, yang tidak diketahuinya.
“Gue juga gak tau”
Jawab Alvin enteng. “Kemaren bokapnya dateng kesekolah bareng bokap gue, terus
mereka berdua langsung pergi. Entah kemana” Jelas Alvin jujur. “Ayo balik,
sebelum macan tidur bangun” Ajak Alvin yang kembali ketengah lapangan sambil
mendribel bola.
Cakka hanya pasrah
mengikuti Alvin. Dan permainan kembali berlangsung, bahkan dalam tempo
permainan yang lebih cepat dari tadi. Dan Gabriel benar-benar membuat permainan
tanpa jeda selama hampir 2 jam kedepan. Bahkan ketika bola bergulir keluar dari
lapangan, Gabriel akan langsung mengejar dan mengambilnya lalu memulai lagi
permainan. Alvin dan Cakka terus mengimbangi permainan Gabriel tanpa banyak
bicara.
Meskipun dalam tempo
waktu 2 jam permainan yang mereka rasakan hanyalah kekosongan. Bukan rasa bebas
seperti biasa mereka bermain basket dengan senang dan begitu lepas. Namun sama
seperti Alvin, Cakka tidak memiliki pilihan lain, Cakka mengerti jika Gabriel
masih membutuhkan teman untuk melampiaskan semua meski Gabriel tidak mampu
menunjukkannya. Jadi yang saat ini bisa dilakukan Alvin dan Cakka hanyalah menemaninya,
menjadikan diri mereka tameng bagi Gabriel yang tidak mampu menujukkan lukanya.
Seragam-seragam mereka
yang pada awalnya begitu rapi dan bersih kini sudah basah seluruhnya oleh
keringat. Dikarenakan efek pemanasan global yang sudah mencemari bumi, panas
mentari pagi pun tak luput untuk memanggang mereka. Namun melihat cara
permainan mereka bertiga, seperti tidak terpengaruh oleh panas yang dipancarkan
matahari dengan semangatnya.
Mereka terus bermain
tanpa mempedulikan suasana sekitar yang semakin ramai karena tertarik dengan
serunya jalan pertandingan. Dua lawan satu dengan tim yang beranggotakan satu
orang yang memimpin. Terlebih orang tersebut merupakan murid pindahan yang
memang lebih terlihat pendiam meskipun sudah masuk dalam jajaran the most
wanted boy of Cagvairs.
Hingga akhirnya bola
bergulir jauh keluar lapangan. Gabriel yang posisinya paling jauh dari tempat
bola yang bergulir hanya berdiam diri sambil mengatur pernafasannya. Sedangkan
Cakka langsung setengah merundukkan badan sambil memegang kedua lututnya dan
sesekali mengatur nafasnya agar menjadi lebih stabil.
Alvin yang pertama
memulihkan diri lebih dahulu dengan menghela nafas keras, lalu memaksakan
dirinya untuk berjalan mengambil bola yang keluar dari lapangan. Kemudian Cakka
yang berjalan mengikutinya. Sedangkan Gabriel nampak asyik dengan pikirannya
sendiri. Pandangannya memutar seperti mencari sosok yang seharusnya menjadi
pelampiasannya saat ini.
“60 menit lagi kita
main dalam keadaan kayak tadi. Dijamin pulang dari sini, gue akan opname
gara-gara dehidrasi” Keluh Cakka, begitu Alvin dihadapannya setelah mengambil
bola.
Alvin terkekeh “Dan gue
saat itu akan nemenin elo ditempat tidur sebelahnya”
Cakka tertawa garing
mendengar lelucon yang dilontarkan Alvin. Sementara Alvin langsung mencari
sosok pujaan hatinya yang diharapkan membawa sebotol air minum untuk membasahi
tenggorokannya saat ini. Alvin tersenyum kecil begitu mendapati Sivia yang ada
diseberang lapangan sambil menenteng plastik hitam yang sepertinya berisi sesuatu
yang dibutuhkannya.
Cakka yang merasa tidak
ditanggapi segera mengikuti arah pandangan Alvin, akan tetapi bedanya adalah,
fokusnya langsung terbagi dua saat melihat kearah yang sama dengan Alvin. Cakka
melirik bola basket ditangan Alvin hingga sebuah ide melesat diotaknya.
Direbutnya bola
ditangan Alvin dengan cepat hingga sang empunya merasa kaget, dan tanpa ragu
Cakka langsung mempassing dengan tenaga penuh bola tersebut kearah Sivia yang
membuat Alvin langsung membeku dengan wajah memucat.
***
“”Suasana kelas XI IPA
2 begitu sepi karena hanya ada beberapa murid dengan hitungan jari. Itupun
sebagian besar memilih sibuk dengan gadget masing-masing. Apalagi murid yang
tersisa merupakan siswi perempuan yang rata-rata lebih senang melakukan
kegiatan didalam kelas daripada harus berpanas-panasan dilapangan apalagi
berdesakkan seharian dikantin sekolah.
Dan diantara beberapa
orang tersebut, salah satunya adalah Sivia yang sedang berchit-chat dengan
Tante Linda alias mama angkat Ify untuk memantau keadaan sahabatnya. Sivia bisa
bernafas lega sekarang, keadaan Ify yang cukup stabil bahkan sempat siuman
ternyata benar-benar ditangani secara baik disana.
Sivia melihat kearah
jam dinding yang berada didinding kelasnya. Sudah lewat satu jam sejak bel jam
pelajaran pertama berbunyi. Namun karena saat ini sekolahnya sedang vakum dalam
kegiatan belajar mengajar dikarenakan rapat guru untuk membahas soal
pembelajaran anak kelas XII, maka disinilah Sivia sekarang, didalam kelas hanya
sendiri karena Alvin dan Gabriel tengah bermain basket dari pagi –bahkan dari
jam pelajaran belum dimulai-. Disaat seperti ini justru membuatnya semakin
merindukan sahabatnya, Ify. Satu-satunya sahabat perempuan yang dimilikinya
saat ini, namun kini sedang berada jauh dari sisinya.
Sivia mendesah pelan.
Dirinya hanya bisa memanjatkan doa, semoga segala yang terbaik untuk sahabatnya
bisa senantiasa diturutkan oleh sang Penguasa Alam.
Sivia memejamkan
matanya sejenak, sebelum akhirnya memutuskan keluar kelas, memilih menoton
Alvin bersama teman-temannya bermain basket daripada harus sendiri didalam
kelas dan bersedih dikarekan merindukan keberadaan Ify.
***
“De.. Dea.. gue minjem
lappy loe ya untuk kirim tugas by email. Tadi gue lupa bawa, mau ke lab males
banget gedungnya diujung gitu” Pinta Acha yang langsung diiyakan oleh sang
pemilik barang yang justru asyik bergosip dengan temannya yang lain.
Saat ini mereka memang
tengah berada dikelas sebelah XI IPA 1 yang biasa menjadi tempat mereka
berkumpul setiap harinya, mumpung sedang jam bebas, daripada sepi dikelas
sendiri lebih baik bergabung dengan kelas lain supaya suasana tidak begitu
membosankan.
Acha duduk disebelah
Agni yang tengah terfokus dengan smartphonenya, sambil menunggu laptopnya dapat
dioperasionalkan, Acha melihat ikut melihat kegiatan yang Agni lakukan. “Lagi
ngapain sih loe?”
“Gue lagi ngapusin chat
bbm, ini semrawut banget ngeliatnya. Tapi gue lagi baca-baca dulu, takut ada
yang penting takut kehapus” Jawab Agni masih berkonsentrasi pada smartphonenya.
Agni tidak begitu menggubris pertanyaan Acha karena saat ini dirinya sedang
berpikir keras untuk mengingat sesuatu.
Acha yang merasa Agni
sedang berkonsentrasi entah untuk apa, memilih untuk tidak menganggu. Acha
menggedikan bahunya, lalu mulai mengalihkan fokusnya kepada laptop yang sudah
menyala.
Acha membuka laman
Mozzila Firefox untuk memulai niatnya mengirim email. Dimuka laman ada recent
page yang mungkin sudah sering digunakan oleh Dea, seperti gmail, google,
facebook, twitter, yahoo news, dan lainnya. Acha memilih recent page untuk
halaman gmail.com.
Begitu jendela web
gmail terbuka, ternyata ada akun email milik Dea yang masih belum di logout
oleh pemiliknya. Akan tetapi, bukan hal itu yang menarik perhatian Acha.
Melainkan judul subject 3 email paling baru teratas yang bertuliskan “D’V-Mile
at Ruang Osis Shilla,Agni,Acha VS IfyVia”,
“Ify with the boys” “Shilla-Rio”.
Wajah Acha langsung
menegang, dan langsung melirik takut-takut kearah Dea yang ternyata masih asyik
bercanda bersama Zevana, Zahra dan Angel. Acha juga melirik kearah Agni yang
masih saja sibuk dengan smartphonenya. ‘Jangan sama Agni, terlalu ribut
nantinya’ bathin Acha.
Acha mengatur nafasnya
perlahan untuk menenangkan dirinya, ia begitu penasaran dengan isi email
tersebut. Apalagi ketiga email tersebut disebutkan namanya dan semua
sahabatnya. ‘Sahabat?’ Acha ingin menertawakan dirinya sendiri begitu
dipikirannya melintas hal tersebut.
Dengan tenang,
disambungkannya USB miliknya pada laptop milik Dea, sudah dilupakan niat
awalnya untuk mengirimkan email tugas kepada gurunya. Saat ini dirinya hanya
ingin mengetahui apa isi dari ketiga email tersebut.
Acha sesekali meirik
kearah Dea agar jangan sampai gerak-geriknya terlihat mencurigakan. Acha
berusaha fokus dengan kegiatannya kali ini, kalo sampai dia tidak
mendapatkannya isi email tersebut dan Dea mengetahui tingkahnya barusan dia
akan kehilangan semua tanpa mendapatkan apa-apa.
Acha mulai membuka
email pertama dengan subject email “D’V-Mile at Ruang Osis Shilla,Agni,Acha VS
IfyVia” hanya ada file suara berformat amr. yang artinya merupakan rekaman
sesuatu dari yang berhubungan dengan subject email diatas. Bisa dilihat disini
nama pengirimnya adalah Zahra. Didownloadnya file tersebut, karena tentu saja
dia tidak bisa mendengarkannya saat ini juga, lalu disimpan kedalam USB nya
dengan baik, tidak lupa dengan screen shoot dari badan email tersebut.
Tanpa membuang waktu,
Acha langsung membuka email kedua dengan subject email “Ify with the boys”
untuk yang satu ini Acha memang sudah memiliki gambaran tentang isinya, namun
Acha tetap tidak bisa menutupi keterkejutannya akan isi email tersebut.
Foto-foto Ify yang begitu familiar karena pernah terpampang di Mading sekolah
mereka. Ada foto Ify bersama Gabriel, bersama Rio, Alvin, Cakka dan Elang! Ada
juga beberapa foto Shilla dengan Rio dan Gabriel. Acha menutup mulutnya sambil
melirik kearah Dea yang untungnya masih sibuk bergosip dengan teman-temannya.
‘Dari mana Dea bisa ngedapetin soft copy semua foto ini?’ Bathin Acha. Acha
mengarahkan kursor untuk melihat jelas siapa nama pengirimnya, Zevana lah yang
kali ini tertera disana. Mata Acha kontan melebar. Namun Acha langsung
tersadar, kali ini dia tidak memiliki banyak waktu, disavenya satu persatu foto
yang ada didalam email tersebut dalam USBnya. Kemudian langsung dibukanya email
terakhirnya bertuliskan “Shilla-Rio” pada subjectnya. Dalam email terakhir ini
Acha bisa melihat pengirimnya adalah Angel, dan di email terakhir ini hanya ada
satu Video berformat MP4 yang membuat Acha langsung mengesavenya tanpa membuang
banyak waktu lagi. Kepalanya sudah benar-benar terasa panas sekarang karena
berusaha menahan emosinya.
Setelah yakin semuanya
sudah disimpan dengan baik, Acha langsung menghapus history download dan
browsernya agar tidak membuat Dea curiga. Begitu laptop sudah dinon aktifkan,
Acha langsung mengembalikan pada Dea dengan memaksa senyumnya, lalu pamit
keluar dan menarik Agni untuk mengikutinya.
***
Sivia menyusuri koridor
sekolahnya menuju lapangan tempat Alvin dan teman-temannya bermain basket
setelah memutuskan mampir kekantin untuk membeli beberapa minuman isotonic.
Sesampai dilapangan, Sivia hanya berdiri dipinggirnya saja sambil memperhatikan
jalannya pertandingan. bIsa dilihat oleh Sivia, Permainan Gabriel terlihat
mengebu-gebu namun terkendali dalam mengatur bola yang ada ditangannya.
Sementara disisi lain, Cakka dan Alvin terlihat sudah hampir kehabisan tenaga
untuk mengimbangi permainan Gabriel.sendiri.
Namun Sivia juga tidak
bisa berbuat apapun. Kemarin siang tanpa sengaja sebenarnya Sivia sudah melihat
Gabriel yang ditemui oleh papanya. Mungkin saat ini Gabriel tengah merasa marah
akan keadaaanya, namun selama mengenal Gabriel, Sivia seperti melihat diri Ify
dalam bentuk yang lain. Keduanya menyalurkan kemarahan dengan cara yang hampir
sama.
Mendadak permainan
berhenti tanpa aba-aba begitu bola bergulir keluar lapangan. Gabriel yang
tadinya terus mengejar bola tanpa jeda hanya diam berdiri sambil mengatur
nafasnya. Cakka melakukan hal yang sama dengan berdiri setengah merundukkan
badan sambil memegangi kedua lututnya. Sedangkan Alvin meski dengan langkah
pelan, menjadi orang pertama yang mengambil bola yang langsung diiringi Cakka
dibelakangnya.
Sivia bisa melihat mata
Alvin yang terlihat mencari, namun begitu tatapannya mengarah pada dirinya,
Sivia bisa merasakan Alvin tersenyum kecil kepadanya. Sivia melakukan hal yang
sama sambil menunjukkan kantong plastik hitam ditangannya, seakan mengatakan
“waktunya istirahat sejenak”.
Namun semuanya
berlangsung cepat begitu Cakka juga mengikuti arah pandangan Alvin padanya.
Terlebih ketika Cakka merebut Bola ditangan Alvin dan langsung mempassing
padanya dengan kekuatan penuh.
Sivia seperti berhenti
bernafas. Logikanya mengatakan, dengan jarak yang jauh, masih ada waktu baginya
untuk menghindar. Akan tetapi kaki Sivia sama sekali tidak mau digerakan.
Hingga jarak yang semakin memendek membuat Sivia pasrah dan hanya menutup wajah
dengan kedua tangannya.
***
“Acha lepas!! Gila
tenaga loe kuda banget sih sampe bisa nyeret gue gini” keluh Agni yang masih
terus berusaha mengimbangi langkah Acha disampingnya.
“Berisik amat sih.
Tinggal ikut aja” Omel Acha tanpa berhenti menarik Agni.
“Iya gue ikut, tapi
tolong stop seret gue macam hewan kurban gini dong” Protes Agni.
“Gamau nanti jalan loe
lama” Bantah Acha.
Agni memutar bola
matanya setengah kesal. Acha ini aslinya lebih pendiam and begitu kalem, tapi
kalo ada maunya, sifat ngototnya jadi minta ampun.
“Iya gue gak lelet.Kalo
perlu gue lari deh. Sebutin aja tujuan kita, gue akan lari duluan sampe sana
daripada harus diseret-seret macam narapidana gini.”
“Jadi sebenernya loe
lebih mau disamain sama hewan kurban atau narapidana?”
“Penting amat!! Udah
cepetan kita mau kemana sekarang, biarin gue jalan sendiri!” Ucap Agni sambil
menepis tangan Acha di pergelangannya.
“Lab komputer di gedung
sebelah” Tandas Acha yang langsung membuat langkah Agni terhenti.
“Tuhkan lu malah
berhenti” Rengek Acha kembali bersiap menarik Agni.
“Agni menghindar. “tadi
kan loe udah pinjem laptop Dea karena males ke lab. komputer yang jauh begitu.
Kenapa sekarang ujungnya malah kesana. Kalo tugas loe belum selesai loe bisa
pinjem lagi….”
Acha terpaksa membekap
mulut Agni untuk menghentikan ocehan yang sangat menghabiskan kesabarannya
akibat rasa penasaran ingin segera melihat file dalam USBnya tersebut.
Dengan sekuat tenaga
Acha kembali menyeret Agni untuk mengikutinya. Agni yang heran dengan tingkah
Acha hanya bisa pasrah mengikuti keinginan salah satu sahabat baiknya.
***
Rio dan Shilla
memutuskan menghabiskan waktu di perpustakaan yang memang jarang dikunjungi di
jam bebas seperti ini. Mereka berdua seperti sedang sama-sama memerlukan tempat
yang tenang untuk berpikir. Terbukti, meskipun mereka pergi berdua untuk
mengunjungi perpustakaan ini. Mereka justru memilih terfokus oleh pikirannya masing-masing.
Dengan buku didepannya
sebagai sarana untuk “melarikan diri” Rio justru perlahan berpikir dengan
segala kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Dari awal persahabatannya dengan
Ify, kehadiran Gabriel, dimulai dan berakhirnya hubungan istimewa nya dengan
Ify, diikuti persahabatan satu sama lain yang mulai merenggang. Hingga kejadian
kecelakaan yang hampir mengambil nyawa gadis.
Rio mengusap wajahnya
pelan mengingat hal tersebut. Penyesalan demi demi penyesalan kini seakan
datang menghantuinya tanpa henti.
Dimana sekarang Ify?
Bagaimana keadaaannya
sekarang?
Apakah efek yang
didapatnya setelah kecelakaan tersebut?
Apa mungkin Ify
membencinya sekarang?
Rio tersenyum sinis
mendengar pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut dalam pikirannya saat ini. Terutama
pertanyaan terakhir. Tentu saja Ify harus membencinya, Rio pantas dibenci saat
ini dengan tidak adanya usaha dalam mempertahankan hubungan mereka.
Tapi keadaannya justru
terbalik. Ify tidak membencinya, bahkan tidak pernah membencinya dengan hal yang
pernah dilakukan Rio kepada gadis itu. Ify bahkan masih tetap membelanya ketika
malam sebelum kepergiannya ke Singapore.
Saat ini Rio hanya
ingin waktu berputar kembali, hal yang jelas tidak mungkin terjadi. Rio
berharap masih pantaskah ia memiliki kesempatan kedua untuk memperbaikinya?
Bagaimana mungkin dia
bisa memperbaikinya, bahkan Ify pun sudah tidak disisinya lagi.
Disisi lain Shilla
melakukan hal yang sama. Buku yang dipegangnya tidak lagi dipedulikan isi
didalamnya. Shilla berusaha mengingat pelan-pelan tentang masa kecilnya pada
saat dibandung dan didaerah banjar dulu. Menghubungkan dengan mimpinya kemarin
sore dan foto yang terjatuh dari tas Gabriel di lapangan basket indoor kemarin
siang.
Jika laki-laki kecil
yang ditemuinya di bandung, di Banjar dan di foto itu adalah orang yang sama,
mengapa orang tersebut meperlakukannya seperti dua orang yang berbeda dengan
nama panggilan yang tidak sama?
Shilla mendesah pelan,
merasa frustasi kenapa tidak berhasil menemukan jawabannya. Shilla menyesal
tidak mengingat dengan baik masa kecilnya. Namun apabila dia mengingat dengan
baik, maka shilla juga harus mengingat bagaimana Papanya berselingkuh dengan
wanita lain yang akhirnya menyebabkan kedua orang tuanya berpisah.
Rio yang sepertinya
menangkap kegelisahan Shilla langsung bangun menghampirinya dan mengajaknya
keluar. Rio membutuhkan suasana baru sekarang, daripada harus terkurung dalam
emosinya sendiri. Shilla menyetujuinya, berharap dengan pergi keluar ia bisa
menyegarkan pikirannya.
***
Agni mencondongkan
wajahnya lebih dekat kearah layar begitu mendengar penjelasan singkat dari Acha
dengan apa yang terjadi. Acha mengarahkan kursor mouse yang dipegangnya menuju
folder tempatnya tadi menyimpan download an dari isi email-email milik Dea.
Suasana Lab. Computer yang hanya ada mereka berdua membuatnya leluasa memasang
speaker untuk mendengarkan file pertama yang berupa rekaman suara dan rekaman
terakhir yang berupa video.
Agni dan Acha saling
pandang sebelum akhirnya segera memutuskan mendengarkan rekaman suara pertama
dari subject email “D’V-Mile at Ruang Osis Shilla,Agni,Acha VS IfyVia”
---
“Kenapa harus ngerekam
segala sih?” suara angel yang terdengar pertama kali.
“Ini Cuma collateral
damage, kalo seandainya Ify Via gamau ngikutin gue ke Ruang Osis selama Dea
mancing Shilla, Agni dan Acha untuk bicara.” Timpal Zahra yang tanpa sadar
sudah menekan tombol record pada Handphone Dea yang langsung diserahkan kembali
pada pemiliknya. “Udah loe rekam aja, lagian selama nanti gue ijin ke toilet
alias mancing IfyVia untuk dateng kesini gue kan gak bisa denger gosipan kalian
secara langsung” Ucap Zahra yang langsung diangguki Dea.
Lalu yang terdengar
suara-suara ramai, karena saat ini mereka memang tengah berada di lapangan
basket yang dipenuhi anggota basket yang baru mulai latihan.
“Mereka akrab banget
sih”
Suara Shilla yang
begitu akrab ditelinga Acha dan Agni membuat mereka segera menegakkan duduknya.
“Siapa Shill?” Tanya
Dea.
“Heh? Bukan, bukan
siapa-siapa” Jawab Shilla yang terdengar panic.
“Loe cemburu sama mereka ya Shill?” Timpal
Zahra.
“Ya nggaklah, mereka
kan sahabat, Lagian ngapain gue cemburu? Ada-ada aja loe pada nebaknya” Tawa
Shilla terdengar dipaksakan.
“Loe gak bisa bohong
Shill” Ucap Dea pelan.
“Gue gak boong Deaaaaa”
Ucap Shilla santai.
“Mau cerita sama
kita-kita juga gak papa kok. Temen loe bukan Cuma d’V-Mile kan Shill?” Sahut
Zevana.
Shilla tertawa. “Apa
yang mesti gue ceritain sih? Yaiyalah, kalian kan temen gue juga”
“Mungkin ada sesuatu
yang gak bisa loe ceritain sama d’V-Mile, apalagi sama Ify yang biasa jadi
pendengar disana. Misalnya soal Rio” Samber Angel tiba-tiba.
Tidak terdengar jawaban
apapun dari Shilla.
“Ayo Shill, cerita sama
kita. Janji deh kita gak ember, malah kalo bisa kita bantu elo” Rayu Dea.
Belum terdengar jawaban
apapun lagi dari Shilla.
“Boleh deh, tapi jangan disini, di ruang osis
aja ya” Pinta Shilla.
“Oke deh Shill, Yuk” Ajak Angel.
“Gue ke toilet bentar
ya, kebelet. Nanti kalo ketinggalan cerita gue minta ulang sama yang lain aja
ya” pamit Zahra yang langsung terburu-buru pergi tanpa mendengar terlebih
dahulu persetujuan yang lain.
Agni dan Acha saing
pandang dengan wajah menegang, mereka sudah mengetahui apa yang terjadi
selanjutnya karena mereka juga ikut berperan dalam percakapan di ruang osis.
Yang tidak bisa diduga mereka adalah, jika Ify dan Sivia juga ikut mendengarkan
percakapan itu dari luar ruang osis. Percakapan yang justru disembunyikan untuk
dua orang tersebut.
Agni menepuk lengan
Acha pelan. “Apa mungkin hubungan Rio Ify jadi merenggang karena Ify sengaja
ngejauhi Rio setelah percakapan waktu itu?”
Mata Acha melebar
mendengar ucapan gamblang Agni tentang sesuatu yang dipikirkannya sedari tadi.
“Kalo sampe karena itu. Demi Tuhan gue bakal merasa bersalah sama Ify” Wajah
Acha terlihat begitu cemas.
Agni terdiam Nampak
berpikir. “Tapi loe inget gak? Setelah itu kan mereka tetep deket lagi, kalo
gak salah sebelum Shilla operasi dan kejuaraan basket kemarin. Bahkan mereka
lebih lengket dari biasanya.”
Acha berusaha mengingat
semua kejadian yang terjadi pada mereka akhir-akhir ini. “Tapi setelah itu
mereka jauh lagi kan Ag? Apalagi setelah Shilla operasi dan tau-taunya mendadak
Rio nembak Shil………..” Acha berhenti bicara begitu sadar apa yang
dibicarakannya. Dilihatnya tatapan horror Agni yang mengarah padanya, mungkin
saat ini Agni sudah menebak isinya yang ada dikepalanya.
“Ify mengalah………” Gumam
Agni pelan namun cukup didengar oleh Acha.
“Untuk Shilla” Acha
mengangguk lemas sambil menyandarkan dirinya pada kursi.
“Itu kenapa Rio
tiba-tiba nembak Shilla dan mereka jadian. Itu kenapa Rio selalu bersikap cuek
sama Shilla……..”
“Karena mungkin aja Ify
yang menyuruh Rio melakukan semuanya”Lanjut Acha memotong kata-kata Agni.
Mereka berdua
berpandangan secara hampa, dan tatapan menyesal tidak lagi dapat disembunyikan
dari keduanya.
Acha memaksakan dirinya
untuk kembali melihat file selanjutnya yang tadi sudah ia ketahui berisi
foto-foto Ify bersama sahabat laki-lakinya yang lain. Agni mengikuti
tingkahnya, dilihatnya screenshoot dari badan email bersubject “Ify with the
boys”. Folder tersebut berisikan foto-foto yang pernah terpajang dimading
sekolah mereka.
“Gimana bisa mereka
punya soft copynya?” Tanya Agni.
Acha menggedikan
bahunya. “Bukan gimana bisa, tapi kenapa mereka harus mengambil ini semua? Gue
yakin ini punya mereka” Tanggap Acha.
Agni menggeleng pelan
“Gimana bisa mereka bisa melakukan ini semua”
Acha hanya menghela
nafas berat tanpa menjawab pertanyaan Agni. Kemudian, dilanjutkannya untuk
membuka file terakhir dengan subject email “Shilla-Rio” yang berisi sebuah Video.
Rekaman tersebut
dimulai dengan berlatarkan lapangan basket indoor. Kamera sepertinya
ditempatkan secara tersembunyi didekat pintu gudang tempat penyimpanan bola
basket didekat pintu keluar lapangan.
Samar-samar hanya
terdengar seperti orang yang memainkan gitar dan bernyanyi pelan.
Agni dan Acha hanya
saling berpandangan.
“Suara Shilla” Bisik
Acha yang membuat Agni mengangguk.
Tak lama ada bayangan
Rio yang melangkah memasuki Lapangan Basket indoor dengan wajah kalut seperti
sedang dipenuhi banyak pertimbangan.
Tidak lama menyusul Ify
yang juga tengah berjalan menuju Gudang tempat penyimpanan bola basket
tersebut. Ify kembali berjalan keluar dan menolehkan kepalanya ke kanan dan
kiri seperti mencari seseorang. Namun karena dicarinya tidak ada Ify memutuskan
kembali, akan tetapi kemudian langkahnya terhenti.
Agni langsung
membesarkan volume suara speaker karena penasaran dengan apa yang sebenernya
terjadi selanjutnya. Yang terjadi adalah, percakapan Rio saat menyatakan
keinginannya agar Shilla bisa membuatnya jatuh cinta dan melupakan Ify
terdengar sangat jelas.
Ify terlihat membisu
ditempatnya mendengar kata-kata tersebut. Acha dan Agni pun sudah terpaku
melihat itu semua. Ify membekap mulutnya seperti menahan suara isakannya sebelum
akhirnya berbalik dan berlari menjauhi Lapangan.
Acha sudah tidak
sanggup lagi memegang kendali kursor begitu video berakhir. Tidak seperti Agni
yang seperti mengingat sesuatu dan langsung merogoh sakunya untuk mengambil
smartphone miliknya seperti ingin memastikan sesuatu.
“Sialan!” Umpat Agni
begitu menemukan sesuatu dalam HP nya.
Acha mengerutkan kening
heran. “Kenapa?” sambil mencodongkan badannya untuk melihat layar handphone
Agni.
Terpampang aplikasi
chat penyebab Agni mengumpat tadi. Tapi Acha tidak menemukan sesuatu yang aneh
disana.
Agni Tri NRG : Fy, bisa
ke lapangan basket indoor bentar gak? Gue mau tanya2 soal invest gudang.
Ify Alyssa : Ok(:!!
Agni yang bisa
menangkap keheranan Acha langsung mengambil alih kursor untuk melihat detail video
itu dibuat. “Loe liat, tanggal yang ada di chat hp gue ini, sama kayak tanggal
detail video ini dibuat” Jelas Agni sambil menunjukkan detail Video.
“Gue gak pernah chat
sama Ify lagi semenjak hubungan kita mulai menjauh. Jelas bukan gue yang ngirim
ini” agni menjelaskan isi chatnya.
Acha mengingat sesuatu.
“Ag, handphone loe dulu ini pernah hilang seharian itu kan?”
Agni nampak berpikir
keras. “Loe bener Cha, dulu seinget gue sebelum ilang hp itu sempet dipinjem
Angel, tapi Angel bilang hp gue udah dibalikkin, tapi gue gak inget” Agni
menjelaskan dengan ragu.
“Kalo emang bener hp
loe ditangan mereka, intinya d’V-Mile dimanipulasi supaya pecah?” Tanya Acha.
“Gue gatau Cha. Gue
ngerasa bersalah banget dengan keadaan ini” Agni mengusap wajahnya.
“Sivia Ag! Cuma Sivia
yang bisa kita tanyakan soal ini semua” Acha menarik tangan Agni untuk keluar
dari lab setelah mematikan computer dan mencabut sambungan USB nya.
***
Mata Acha dan Agni
bersama-sama menyusuri isi sekolah untuk mencari Sivia yang tidak berada
dikelasnya. Agni yang pertama kali melihat Sivia tengah berdiri dipinggir
lapangan sambil memegang kantong plastik hitam, disaat bersamaan Agni juga
melihat bola basket yang tengah mengarah kepada Sivia, siap untuk menghantam
wajahnya.
Agni menepiskan tangan
Acha pelan dan berusaha berlari secepat mungkin untuk menangkap bola tersebut
sebelum terlambat.
***
Sivia tidak merasakan
apapun mengenai wajahnya. Setelah merasakan keadaan cukup aman Sivia menurunkan
kedua tangannya takut-takut untuk melihat keadaan. Tampak Agni yang tengah
berdiri didepannya sambil memegang bola basket yang dipastikan merupakan bola
yang tadi melaju kencang kearahnya tadi.
Terdengar banyak
desahan nafas lega melihat kejadian tersebut, Sivia pun juga tidak luput
melakukannya. Agni berbalik menghadapnya and menatap dengan khawatir.
“Loe gak papa Vi?”
Sivia menggeleng pelan.
“Loe sendiri?” Sivia balik bertanya.
Agni tidak menjawab
pertanyaan Sivia hanya kembali menggulirkan bola ditengah lapangan. Dan
berteriak kearah Cakka. “Sampe bola tadi kena Via, gue hajar loe Kka” Semburnya
penuh emosi. Yang diteriakki hanya bisa menunduk-nunduk sambil menyatukan kedua
tangannya diatas kepala menandakan gerakan meminta maaf. Agni hanya bisa
mendengus kesal.
“Ag, loe gapapa? Vi loe
gimana?” Acha menanyakan berturut-turut keadaan dua sahabatnya. Raut wajahnya
masih shock ketika Agni yang tiba-tiba berlari disebelahnya untuk menyelamatkan
Sivia.
Sivia menggeleng lagi.
Heran dengan sikap yang ditunjukkan sahabatnya (atau mantan sahabatnya?) namun
disisi lain, Sivia mulai mengenal kembali Agni dan Acha yang ada didepannya.
***
“Kka loe apa-apaan sih”
Sembur Alvin sambil mendorong bahu Cakka, begitu menyadari apa yang terjadi.
Cakka malah terkekeh.
“Woles bro. Gue Cuma ngetes reaksi seseorang”
“Kalo tadi Sivia sampe
kena gimana?” Alvin masih tidak bisa menahan kekesalannya.
“Ya yang penting pada
akhirnya gakena” Sahut Cakka enteng.
Alvin hanya bisa
mendengus sebal dengan reaksi Cakka, jantungnya tadi terasa berhenti sejenak
pada saat bola melesat cepat kearah Sivia. Tanpa Alvin sadar, ternyata Sivia
kini benar-benar menjadi bagian dirinya.
Alvin mulai mengerti
maksud Cakka soal ‘mengetes reaksi’ yang dikatakannya tadi. Cakka sedang
mengetes Agni apakah masih benar-benar peduli pada Sivia atau tidak. Terlebih
reaksi Agni sesuai keinginannya. Tapi sampai kapanpun dia tidak akan pernah
setuju soal ide gila yang bisa membahayakan orang disekitar. Karena akhir-akhir
ini Alvin sudah belajar dari kasus Ify.
“Sekali lagi loe main
asal kayak gitu lagi, bukan hanya Agni yang menghajar loe, gue akan melakukan
hal yang sama” Ancam Alvin yang justru disambut oleh tawa kecil dari Cakka.
Alvin meninju keras
bahu Cakka untuk mengeluarkan kejengkelannya saat ini. Berhasil, Cakka berhenti
tertawa dan sekarang justru tengah meringis.
“Alvin mah jahat.. Niat
gue kan baik. Loe juga seneng kan liatnya. Apalagi waktu……….”
“By one sama gue Yo”
Kata-kata Cakka
terhenti begitu mendengar suara berat dari arah yang bersebrangan dengannya.
Alvin sudah menoleh
lebih dahulu tanpa mempedulikan ocehan-ocehan Cakka padanya.
Gabriel sudah berdiri
ditengah lapangan dengan tatapan tajam mengarah pada Rio yang masih berdiri
ditengah koridor sambil memegang bola basket. Sepertinya tanpa disadari oleh
Cakka ataupun Alvin, Gabriel sudah mengambil bola yang bergulir dari tangan
Agni tadi dan langsung mempassingnya kearah Rio.
Waktu seakan berjalan
dengan lambat saat setelah Gabriel mengumumkan ajakan tersebut. Rio sendiri
juga hanya menatap kearah Gabriel sambil memainkan bola ditangannya. Sebelum
akhirnya mengangguk dan berjalan memasuki lapangan tanpa menggubris kata-kata
dari Shilla yang menahannya.
Cakka ingin melangkah
maju untuk menahan keduanya, karena merasa akan terjadi hal tidak mereka
inginkan jika Gabriel dan Rio dalam arena yang sama. Namun, belum lagi niatnya
berjalan. Alvin sudah menahan lengannya dan menggeleng pelan tanpa kentara.
“Biarin aja, ini rival
Gabriel sebenarnya. Dia gak akan puas kalo Cuma berhenti disini” Bisik Alvin.
Ekspresi Cakka sudah ingin membantah kata-kata Alvin. “Kita Cuma bisa jadi
pengawas sekarang. Karena mereka berdua lah point masalahnya” Untuk yang ini
kata-kata Alvin memang tidak terbantahkan hingga akhirnya Cakka memilih pasrah
ketika Alvin menyeretnya untuk keluar dari lapangan.
Kembali ketengah lapangan.
Belum ada gerakan dua
orang yang kini menjadi pusat perhatian Cagvairs kali ini. Pemandangan yang
begitu kontras sudah menjadi perbandingan dari dua sosok yang tetap bergeming
ditempat masing-masing.
Seragam Gabriel sudah
basah oleh keringat dikarenakan permainan nonstopnya bersama Cakka dan Alvin,
berbanding terbalik dengan kondisi seragam Rio yang masih dalam keadaan rapi
meski sudah tidak mengenakan dasinya lagi.
Rio menjatuhkan bola
basket dan mulai mendribelnya untuk memecah keheningan diantara mereka. Diraihnya
kembali bola tersebut dan langsung dipassingnya kearah Gabriel tanda dia sudah
siap untuk dimulainya pertandingan.
Gabriel yang menerima
bola tersebut langsung melakukan Jump Ball. Rio dan Gabriel secara bersamaan
melompat untuk memperebutkan si oranye bundar. Gabriel lah orang pertama yang
bisa menguasai bola. Tidak terlihat lelah sedikit pun meski sebelumnya ia sudah
bermain selama 2 jam yang sangat menghabiskan tenaganya. Justru Gabriel makin
terlihat bersemangat seperti baru saja menerima rival yang dicarinya.
Permainan Rio yang
begitu tenang namun mengimbangi permainan Gabriel yang cepat membuat keadaan
berlangsung seimbang. Berkali-kali mereka terus bolak-bolak untuk membalikan
serangan kepada satu sama lain.
Hingga akhirnya mereka
kembali bertemu disatu titik saat Gabriel tengah membawa bola dan Rio mencoba
menghalaunya. Meskipun konsentrasinya tengah pada bola yang sedang didribelnya
tatapan Gabriel tetap begitu menajam kearah Rio. Rio pun melakukan hal yang
sama-sama. Alasan mereka berada ditengah lapangan ini adalah orang yang sama.
Meski dengan rasa sakit yang berbeda.
“Gue gak akan pernah
nyerahin Ify buat loe!” Desis Gabriel sambil berusaha melewati Rio.
Dengan sigap Rio
langsung menghalaunya. “Dan gue akan menghalangi loe untuk melakukan itu” Rio
berusaha untuk merebut bola lagi.
“Jangan mimpi!” Tandas
Gabriel kembali berusaha melewati Rio meski agak membentur bahu Rio yang
membuatnya jadi tergeser kesamping. Tak lama, suara bola yang beradu dengan
papan ring. Point lagi untuk Gabriel.
Rio menatap tajam
Gabriel yang melempar tersenyum meremehkan kepadanya. Emosinya sudah terpancing
saat ini, permainan tenangnya langsung berubah 180 derajat mengikuti permainan
Gabriel. Jika permainan antara Gabriel VS Cakka & Alvin merupakan permainan
yang cepat. Maka kali ini permainan antara Gabriel & Rio teramat cepat dan
agak begitu ‘kasar’.
Satu sama lain tanpa
segan saling mendorong dan menyikut atau sengaja menabrakan diri ke bahu
lawannya. Hingga belum satu jam permainan pun keadaan Rio sudah hampir menyamai
Gabriel yang sudah 3 jam bermain lebih dulu.
Kemarahan yang
menguasai Gabriel yang membuatnya tetap bermain tanpa menurunkan staminanya.
Gabriel bertekat berdamai dengan semuanya, namun dia memang membutuhkan
‘sarana’, dan Rio lah yang terpilih untuk menerima kemarahannya sekarang.
Sedangkan Rio masih tetap dapat mengimbangi permainan Gabriel yang ‘lebih’ dari
biasanya. Pengalamannya sebagai ketua Tim Basket dan raker latihannya sebagai
calon kandidat MVP. Namun disisi lain dia sangat mengakui kemampuan Gabriel
dalam menstabilkan tenaganya. Mungkin, jika Gabriel yang pertama menjadi
anggota team basket, tidak menutup kemungkinan Gabriel lah yang akan terpilih
menjadi ketua. Kemampuan Rio untuk tetap terus bermain hanya dikarenakan satu
hal. Cara bermain Gabriel sangat familiar, tidak mudah terbaca namun Rio tetap
terus bisa mengimbanginya.
Mendadak langkah Rio
yang sedang mengejar bola terhenti karena bayangan Ify yang melintas
dikepalanya. Rio membeku ditempat, teringat cara bermain Gabriel yang sangat
mirip dengan cara Ify bermain basket seperti yang pernah mereka lakukan bersama
dulu. Ify seperti hadir dalam sosok lain saat ini.
Kesempatan yang tidak
disia-siakan Gabriel untuk kembali mengambil point meski tidak ada yang menghitung
secara khusus permainannya. Sorak sorai dari para penonton dadakan semakin
ramai begitu Gabriel mengambil point tanpa perlawanan dari Rio.
“GABRIEL!!!!”
“RIOOOO!!”
Masing-masing pendukung
meneriakkan nama para jagoan mereka masing-masing dengan jumlah yang berimbang.
Dan teriakkan itulah yang membuat Rio akhirnya tersadar kembali. Jika yang
dilawannya kali ini adalah Ify, maka Rio tidak akan pernah bisa menang. Tekat
gadis itu selalu lebih besar dari kemampuannya. Namun disisi lain Rio sadar
yang dihadapannya adalah Gabriel bukan Ify. Lalu bagaimana bisa cara bermain
mereka begitu sama?
“Karna darah lebih
kental daripada air”
Rio langsung menoleh
kearah sumber suara tesebut dan tidak bisa menyembunyikan raut wajah penuh
tanyanya.
Gabriel sedang mendribel
bola disampingnya sambil tersenyum miring mencoba meremehkan tanpa menjawab
pertanyaan yang tersirat dari wajah Rio.
“Bahkan ngerebut bola
ini dari gue aja loe gabisa, gimana mau ngerebut Ify? Gue bakal mempertahankan
dia lebih dari sekedar ini….” Gabriel mengshoot bola hingga memasuki ring dan
langsung berlari kearah jatuhnya bola tersebut. Rio mengikuti tak mau kalah,
namun Gabriel lebih cepat.
Tatapan Rio menajam
marah mendengar kata-kata Gabriel.
“Ify bukan bola basket
yang bisa seenaknya loe passing atau loe dribel sendiri” Desis Rio.
“Jelas gue gak akan
passing dia kemanapun. Dan kalo emang mendribel sendiri bikin dia terus
disamping gue kenapa engga?” Tandas Gabriel.
Rio langsung
membungkam, membuat Gabriel kembali melanjutkan. “Ify emang kayak bola basket
yang bisa bergulir kemana pun, membuat orang-orang mengejarnya, tapi bukannya
ada seorang player yang mengendalikan semua itu?” Tanya Gabriel.
“Dia yang mau” Balas
Rio sambil berusaha mengambil alih bola lagi, namun Gabriel berkelit lincah.
“Poor you capten! Loe
bahkan bisa mempertahankan dia kalo loe mau. Bikin dia gak bergulir seenaknya
dengan pilihannya sendiri”
Rio mengusap mukanya
kasar.
“Loe bilang dia bukan
bola basket, tapi kenapa setelah dia loe bikin ‘rusak’ loe langsung tinggalin aja,
kayak bola basket kempes ga bisa kepake?”
Rio terdiam. Gabriel
mempassing bolanya kearah Rio dengan sekuat tenaga. Sebenernya Rio bisa menahan
dengan baik. Namun jarak diantara mereka yang begitu dekat langsung membuat Rio
limbung dan terjatuh begitu mencoba menerima bola.
Gabriel menghampiri Rio
yang sedang meringis sambil memegangi ulu hatinya.
“Kemana loe malem itu,
BRENGSEK?” Desis Gabriel sambil menundukkan tubuh menjulangnya.
Rio hanya
menunduk. Suasana disekitar mereka yang
mulanya ramai untuk memberi dukungan malah
seakan terhipnotis dengan adegan yang terjadi ditengah lapangan.
Meskipun mereka tidak mengetahui apa yang dibicarakan antara Rio dan Gabriel,
tapi keadaan sudah cukup menggambarkan rasa marah dari satu sama lain.
“Vin gimana nih?”
“Biarin aja Kka”
“Gabriel bisa ngebunuh
Rio”
“Ga akan” Alvin
menjawab singkat karena matanya masih
berkonsentrasi untuk mengawasi sahabat-sahabatnya. Cakka mengikutinya
tanpa bertanya lagi.
“Gue bermaksud
menyelesaikan semua Yel, gue gak bermaksud pergi malam itu…”
“Nyatanya loe pergi”
Potong Gabriel.
“Gue mau nyudahin
semuanya………”
“Loe pikir loe semua
akan selesai dengan loe mutusin Shilla. Loe pikir ada berapa orang yang sakit
karea hal ini” Gabriel kembali memotong pembelaan Rio.
Rio mendengus pelan. “Loe
pikir ini siapa yang mulai? Bahkan gue gak diberitahu apapun”
Kata-kata Rio langsung
menaikkan emosi Gabriel. Dicekalnya kerah kemeja Rio dengan keras, dan
ditariknya Rio hingga berdiri sejajar dengannya, dan tanpa ampun Gabriel
memukul ulu hati Rio tanpa melepaskan cekalannya pada kerahnya. Lalu
diarahkannya lagi pukulannya menuju rahang Rio yang membuat jarak diantara
mereka.
Rio terhempas lagi
begitu Gabriel melepaskan cekalannya. Baru dua pukulan tubuh Gabriel merasa
lemas dan kakinya terhuyung. Namun sebelum dia terjatuh ada tangan yang
menyanggahnya.
“Yel, loe harus
istirahat. Loe bisa dehidrasi” Ternyata tangan Alvin lah yang menahannya.
“Paling gak loe harus
minum” Kata Cakka sambil menyodorkan minuman isotoniknya.
Gabriel sendiri sedang
merasa heran dengan stamina tubuhnya. Saat ini dia merasa baik-baik saja,
bahkan dia belum merasa kehabisan tenaga jika untuk bermain basket lagi seperti
tadi untuk satu sampai dua jam kedepan. Namun pada saat memukul Rio kenapa
badannya langsung terasa lemas?
Bayangan Ify lah yang
melintas pertama kali begitu dia menanyakan hal tadi didalam pikirannya.
Gabriel memejamkan matanya sejenak. Jelas Ify sudah melarangnya untuk
menyalahkan Rio, namun dia tetap melakukannya. Dan seperti yang tidak sengaja
ia ceploskan tadi kepada Rio yang spertinya sedang menebak-nebak cara
bermainnya. “karena Darah lebih kental daripada Air”. Ify dan Gabriel memiliki
hubungan istimewa yang biasa dimiliki anak kembar pada umumnya. Mungkin ada
bagian dari Ify yang sedang berusaha menyampaikan padanya jika yang Gabriel
lakukan tiadk sesuai dengan permintaan Ify kepadanya malam itu.
Gabriel membuka matanya
dan menggeleng pelan. Menyesal telah bertindak diluar keinginan Ify hanya untuk
menenangkan dirinya sendiri.
Gabriel menepisnya
pelan. Lalu memaksakan dirinya untuk berdiri lagi lalu berjalan kearah Rio.
Cakka dan Alvin tidak menahannya lagi.
Rio sudah pasrah dengan
apa yang akan dilakukan Gabriel kepadanya lagi, dia pantas mendapatkannya. Dan
dia berharap setelah ini semua rasa penyeselan yang menggumpal dihatinya bisa
menghilang atau paling tidak berkurang. Akan tetapi, tanpa diduganya Gabriel
justru mengulurkan tangannya seakan ingin membantunya berdiri.
Rio menerima uluran itu
dan langsung berdiri sejajar dengan Gabriel yang menatapnya lesu. Mereka berdua
berdiri tanpa kata selamat beberapa saat. Hingga Gabriel yang pertama
memberikan respon memejamkan matanya sejenak dan kembali berkata dengan nada
lirih. “Malam itu Ify gatau loe kemana. Dia gatau apa-apa, padahal orang-orang
sekelilingnya tau loe pergi kemana. Tapi dia masih berpesan sama kita pada
malam itu untuk tidak menyalahkan elo. Dan gimana bisa loe menyalahkan dia
dalam keadaan ini?”
Rio hanya bisa terdiam
mendengar kata-kata Gabriel. Rasa bersalah dan penyesalan yang dia harap
menghilang kini justru makin menggumpal menyesakkan hatinya. Gabriel salah, Rio
bukan menyalahkan Ify, dalam hatinya dia
sangat menyalahkan dirinya sendiri.
“Gue minta maaf”
Gabriel membuka suara setelah keadaan menghening lagi dikarenakan keduanya asik
dengan pikiran masing-masing.
Mata Rio kontan melebar
mendengar pernyataan Gabriel. Lalu menggeleng keras. “Gue yang seharusnya minta
maaf.”
Gabriel membuang
mukanya. Lalu kembali menoleh sekilas “Loe salah orang” Lalu pergi menjauhi
lapangan dan meninggalkan Rio yang mulai kembali merasakan kebimbangan hatinya.
***
Hello temen-temen
pembaca yang masih setia ngikut cerita ini! :D
Serius deh ini terharu
wkwkwk *lebay*
Gimana? Aneh dan
pasti ‘beda’ ya?
Abis gimana ya, gue bener-bener
nargetin untuk nyelsain cerita ini tahun ini juga karena mau “move” ke konsep
baru.
Dimohon bantuan doanya
supaya lancar nulisnya. Ini setiap hari beneran udah nyicil perlembar supaya
ada kemajuan (?)
Terimakasih
untuk kalian yang masih mau ngikutin ceritanya ^^
Balik
ke topic ya, thanks yang udah setia sama cerbung ini. Mohon kritik dan saran
untuk kestabilan kelanjutan cerbung ini ;)
Jangan
lupa tinggalin jejak ya, jangan jadi pembaca gelap, maap gak ada system tag
biar adil.
Sekali,
thanks so much my readerrsss :* ({{{{{}}}}})
@tri_susilowati