BAKEKOKKKKK!!!! (???)
Nih hadiah dari saya buat ulang tahun RFM ke 3! #LOV3thRFM
Mantep bener yah kalian ampe 3 tahun… trisil gaknyangkaa :”)
Yap setelah pengaretannya selama satu hari, dan ketidaktahanan saya
dari didemo tiap detik. Akhirnya saya putusin ngebrojolin taci hari ini
(?)
Okedehh yaa, enjoy mentemennkuuh :3
Maapin makin jelek dan typo bertebaran. Melafyuhhhh
***
Rio hanya mampu duduk tertunduk sambil menunggu Ify yang tengah
ditangani para dokter. Silih berganti wanita berbalut seragam putih yang
biasa dipanggil suster tersebut tampak bolak-balik keluar masuk ruang
Unit Gawat Darurat dengan berbagai peralatan sambil menampakkan wajah
tak ingin diganggu.
Rio sendiri juga tidak berniat mengeluarkan suara untuk sekadar
bertanya bagaimana keadaan dalam UGD. Semua pikirannya entah sudah
melayang kemana karena bercampur aduk menjadi satu. Rasa cemas dan
bersalah yang paling mendominan mengisi kepalanya saat ini. Memikirkan
hal itu ditambah membayangkan wajah gadis tadi sebelum matanya terpejam
rapat benar-benar membuat dadanya sesak.
FLASHBACK ON
Rio sibuk menelepon ambulance, rasa khawatir menghilangkan seluruh
kendali dirinya. Hingga justru bukan permintaan justru racauan yang
keluar dari mulutnya. Dirasakan ada genggaman lemah ditangannya yang
bebas tidak memegang handphone. Rio menatap pemilik tangan tersebut yang
justru tersenyum begitu tenang. Seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti
gadis itu tidak mengalami suatu apapun. Seperti....... seperti tidak ada
luka yang tengah memenuhi tubuh gadis itu.
Rio langsung merasa sulit bernafas begitu menyadarinya. Bagaimana
bisa gadis ini masih bisa tersenyum kepadanya disaat tersulit seperti
ini? Rio bersumpah dalam hatinya. Jika ada sesuatu yang terjadi pada
gadis ini. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Yang terjadi berikutnya adalah. Entah kekuatan dari mana, Rio
langsung menjadi agak tenang melihat senyum dan tatapan teduh gadis itu.
Hingga Rio langsung menarik nafas panjang mengisi paru-parunya. Dan
perlahan dia mulai kembali berbicara dengan orang diujung telepon untuk
segera mengirimkan pertolongan untuk gadis yang ada dipeluknya sekarang.
Rio menutup telepon genggamnya dan kembali memasukkannya disaku
celana. Lalu perhatiannya kembali terfokus pada gadis yang menggenggam
tangannya –sepertinya- dengan sisa kekuatan gadis itu. Rio harus membuat
gadis itu tetap bangun dan berusaha bernafas walau susah payah agar
tetap menjaga kestabilan gadis itu. Rio memandang Ify dengan jarak
pandang hanya berkisar kurang lebih 20 cm. Sudah berapa lama ia tidak
memandang gadis ini dengan jarak pandang yang begitu dekat? Berapa lama
waktu yang telah mereka habiskan dengan tidak menggenggam tangan satu
dengan yang lainnya. Berapa lama rindu yang mereka tanam dalam hati satu
sama lain untuk tidak lagi dekat seperti ini?
Ify hanya memandang wajah Rio dalam diam. Seperti memuaskan egonya
untuk memandang laki-laki itu dalam jarak dekat. Atau mungkin
menghabiskan kesempatan kecil ini untuk melepaskan semua rasanya yang
sudah ditahan selama ini? Ify tersenyum kecil mengingat seluruh
kebodohannya selama ini. Dan kebodohan yang tidak akan mungkin bisa
ditebusnya adalah melepas Rio. Namun dibalik semua itu Ify tidak pernah
menyesali apa yang sudah terjadi. Keikhlasan atas apa yang sudah
diperbuatnya selama ini telah membuatnya tidak ingin lagi tertawa atas
kebodohannya. Ini titiknya. Ify lelah.
“Ada yang sakit?” Tanya Rio memecah keheningan diantara mereka sambil
menyingkap poni Ify yang menghalangi tatapan gadis itu padanya.
Ify sedikit meringis ketika tangan Rio berhenti didahinya. Tangan Rio
langsung berhenti mengusap dan memeriksa dahi Ify. Memang ada sedikit
memar disana. Entah karena terkena dasbor mobil atau kaca mobil
disampingnya tadi. Yang jelas efek benturan keras karena menabrak pohon
tadi. Kembali Rio merasa bersalah. Bagaimana bisa gadis ini terluka
begitu parah sementara dirinya baik-baik saja? Ingin rasanya saat ini
dia bertukar tempat dengan gadis ini. Biar semua sakit yang dirasakan
gadis ini biar saja dirasakannya.
“Jangan ngerasa bersalah” Ucap Ify memotong pikirannya Rio. “Kamu
pikir aku akan mau kalo kita bertukar tempat?” Lanjut Ify seperti
menebak isi kepala Rio.
Rio tidak menjawab. Hanya nampak sedikit berpikir.
“Hidup itu pilihan Fy. Dimana kita bisa memilih apa yang kita mau” Ucap Rio.
Ify menggeleng pelan. “Hidup itu fokus Yo. Fokus kepada orang
sekitar, membahagiakan mereka sejauh kita bisa. Menyelamatkan mereka
semampu kita dan membantu mereka sekuat kita” Ucap Ify.
“Hidup itu memilih agar kita bisa fokus Fy. Fokus pada pilihan kita.
Dimana kita memilih membahagiakan orang disekitar kita dan fokus untuk
tetap membahagiakan mereka sampai kapanpun. Begitupun dengan aku. Dengan
kamu. Aku bisa memilih jika aku mau menggantikan kamu saat ini. Aku...”
“Udah terlambat Yo. Aku yang udah kayak gini. Kita gak bisa memutar
waktu. Kalopun tadi harus kamu yang seperti aku saat ini. Aku akan
memilih untuk fokus menyelamatkan kamu lebih dulu.” Potong Ify.
“Untuk kita Fy........”
“Kamu dan aku” Potong Ify pelan tapi tegas.
“Kamu berkata kayak gitu seakan kamu dan aku gak akan pernah menjadi kita” Dengus Rio.
Ify tertawa pelan, kali ini dengan mata terpejam, seperti sedang
menahan sakit. Namun otot sekitar mulutnya yang melengkung keatas
membuatnya tetap terlihat baik-baik saja. “Nyatanya begitukan?” Ucap Ify
lirih. Sepertinya tawanya tadi telah menguras tenaganya.
Rio tidak mempedulikan pertanyaan kecil yang diajukan gadis ini
padanya. “Denger aku Fy, untuk kita bukan terlambat. Kamu yang tidak
membiarkan aku memilih. Kamu hanya membuat aku langsung fokus. Dan kamu
salah. Karena tidak memilih, aku jadi gabisa fokus sampai saat ini” Ucap
Rio.
Ify terdiam. Rio mengangkat wajah Ify agar menatap kearahnya lagi.
“Satu-satunya pilihan yang membuat aku fokus itu Cuma kamu Fy. Ify. Alyssa Saufika Umari” Ucap Rio pelan namun begitu tegas.
Ify tidak membalas ucapan Rio. Pikirannya sudah bercampur aduk
menjadi satu. Belum lagi rasa sakit disekujur tubuhnya tidak lagi
membuatnya konsentrasi terhadap pikirannya sendiri.
Rio membelai lembut pipi Ify. Mengeluarkan Ify dari keasyikannya pada pikirannya sendiri.
“Dari luar semua memang terganti. Dalam sini...........” Rio menunjuk dadanya. “Thats all everything about you”
Ify menggeleng pelan. “Gak ada yang terganti” lirihya. “Kalo kamu
melihatnya dengan mata hati” Lanjutnya lagi. “Aku pun sama. Gak ada
apapun yang terganti. Semuanya masih sama....... Tentang kamu” Ucap Ify
sambil menatap dalam.
Rio melepas tangan Ify yang sedari tadi digenggamnya. Lalu mendengus
pelan. Detik berikutnya pandangannya kembali beralih pada Ify yang masih
memandangnya dalam. “Masih berani kamu bicara begitu sementara kamu gak
pernah mengizinkan aku tetap disisi kamu?” Tanya Rio.
Ify menggeleng pelan. “Bukan mulut aku yang bicara sekarang, tapi hati aku” Jawabnya tenang.
Rio menggeleng tak percaya. “Gak cape kamu bilang sayang tapi akhirnya tetap ngelepas aku?” Tanya Rio lagi.
Ify kembali menggeleng. “Engga, selama aku masih sanggup untuk bicara dan kamu masih tetap mendengar” Jawabnya lagi.
Tak perlu menunggu lama lagi. Rio langsung menarik gadis itu dalam
pelukkannya. Dan berjanji pada hatinya tidak akan melepas gadis itu lagi
apapun yang akan terjadi nanti. Namun, baru selang beberapa detik Rio
kembali melonggarkan pelukkannya. Lalu menatap gadis itu tepat pada
manik matanya. “Bisa bunuh aku? Aku cape berkali-kali marah sama kamu
tapi tetap gak bisa membenci kamu” Ucapnya.
Ify hanya menanggapi dengan senyum lemah. Percakapan dengan Rio
benar-benar menguras habis tenaganya. Ify hanya mampu berkata pelan dan
begitu lemah. “Ternyata bukan kamu yang mati dalam pelukan aku. Tapi aku
yang mati dalam pelukan kamu” Ify mengingat sepenggal lagu lastchild
yang mereka nyanyikan tadi. Sebelum akhirnya matanya terpejam dengan
senyum yang begitu damai.
Kuakan tua dan mati dalam pelukmu...
Untukmu seluruh nafas ini...
FLASHBACK OFF
Rio langsung menegakkan diri begitu menyadari dadanya begitu terasa
sesak. Mengingat dengan begitu rinci percakapan terakhirnya dengan Ify
benar-benar seperti menyebabkan oksigen disekitarnya menipis.
Rio melirik Blackberry yang ada digenggamannya saat ini.
“Ashilla”
Nafas Rio kembali terkecat mengingat bagaimana nada yang diucapkan
gadis itu menyebut password BB nya saat ini. Lirih di kondisinya yang
begitu kritis. Namun masih tetap diiringi dengan senyum teduh yang
begitu tenang.
Rio menatap BB yang dimainkan dalam genggamannya saat ini. ‘Memang
harusnya tidak diganti, bahkan takkan pernah terganti’ Bathin Rio sambil
kembali mengotak atik BB nya dan mengubah setting pada lock telepon
genggam yang setia manjadi alat komunikasinya tersebut kembali ke awal.
“Dimana kakak gue sekarang?” Sebuah geratakan langsung membuyarkan
seluruh pikiran kalut Rio. Yang Rio rasakan adalah. Tubuh belakangnya
sudah menghantam dinding dengan kerah kemeja yang sudah bernoda darah
disana sini agak tertarik keatas dan terakhir ada bunyi kecil seperti
patahan yang sudah pasti berasal dari BB nya yang terlempar dari genggam
tangannya karena agresi seseorang barusan.
Namun untuk yang terakhir Rio tidak begitu ambil pusing. Kini seluruh
perhatiannya sudah mengarah pada orang yang menggertaknya barusan.
Deva.
Melihat tatapan Deva yang begitu berapi-api dan penuh kemarahan
padanya Rio hanya bisa menunduk diam. Kalaupun dia harus menerima segala
pukulan dari tangan adik gadis yang telah dicelakainya, Rio lebih
memilih hal itu daripada harus terbelenggu sesak karena rasa bersalah.
Apalagi jika sampai ada kenyataan terjadi sesuatu yang buruk pada gadis
itu. Dibunuhpun sepertinya Rio rela untuk menghilangkan rasa sesak atas
semuanya.
Melihat reaksi Rio yang hanya diam atas gertakkannya. Deva kembali
pada kekesalannya yang sudah memuncak. “Dimana kakak gue? Gimana keadaan
dia?” Tanya Deva lagi. Kali ini dengan nada tegas dan penekanan dengan
emosi yang sudah mendidih dikepalanya.
“Dev udah Dev. Ini rumah sakit. Ruang UGD pula. Mungkin Kak Ify lagi
ditangani didalem” Ucap Ray yang dibelakang Deva menenangkan sambil
berusaha melepas cengkraman Deva pada kemeja Rio.
Deva menepis tangan Ray. “Bukan kakak loe Ray yang didalem, tapi kakak gue. Loe gak tau perasaan gue gimana” Bentak Deva.
“Loe lupa kak Ify udah gue anggep sebagai kakak gue? Please, jangan buat keadaan semakin runyam” Jelas Ray sabar.
“Berisik loe” Kecam Deva pada Ray. Pandangan Deva kembali fokus ke
Rio. “Kalo loe kesel sama kak Iel karena kejadian beberapa hari lalu.
Bukan kayak gini caranya. Bukan kak Ify yang harus jadi korbannya!!”
Maki Deva.
Rio hanya memandang Deva lemah. Tenaganya sudah habis untuk membalas
kata-kata Deva karena beban pikirannya. “Loe tau?” Rio hanya mampu
meluncurkan kata-kata tersebut dari mulutnya.
“Semuanya. Gue tau karena gak sengaja ngeliat semuanya” Tegas Deva
sambil mendorong Rio kasar dengan melepas tangannya dikemeja Rio.
Dengan kondisi tubuh yang sudah tidak bekerjasama dengan otaknya. Rio
hanya pasrah begitu punggungnya kembali menghantam dinding rumah sakit.
“Rio!!” Sebuah suara barusan terpaksa membuat Rio kembali mengangkat
wajahnya. Ternyata Alvin dan Sivia yang tengah berlari dengan wajah
cemas kearahnya.
“Loe apain lagi sohib gue Yo?” Ternyata, meski nafas Sivia yang
panjang pendek, gadis itu masih punya tenaga untuk siap mengamuk pada
Rio.
“Yo loe gapapa?” Tanya Alvin yang hampir berbarengan dengan ucapan
sarkatis Sivia barusan. Tatapan Alvin susah menelusuri kemeja biru Rio
yang sudah penuh bercak gelap yang hampir mengering. Jeans skinny
putihnya jauh lebih parah lagi. Seperti tidak terlihat seperti celana
yang tadi telah menunjang penampilannya. Tapi Rio nampak tidak peduli.
Rasa cemas sudah membuatnya lupa akan semua termasuk keadaannya sendiri.
Rio yang menyadari tatapan Alvin begitu rinci melihatnya membuat Rio
menebak sendiri apa yang akan Alvin tanyakan selanjutnya. “Gak ada
setetes darahpun dari tubuh gue yang berbekas dicelana dan kemeja gue”
Ucapan Rio sukses membuat melongo orang disekitarnya.
“Itu.. itu semua darah Ify” Tanya Sivia terbata, shoocknya belum hilang, tapi dia harus memastikannya.
Rio mengangguk. Detik berikutnya Rio sudah kembali dalam cengkeraman
Deva. “Shit! Kakak gue kenapa sampai darahnya kayak gini?” Bentak Deva
lagi.
Alvin langsung buru-buru memisahkan antara Deva dan Rio dibantu oleh
Ray. Ray mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik Deva menjauh dari
Rio. Sementara Alvin membantu Rio berdiri dan mendudukannya di kursi
ruang tunggu lagi. Setelah itu, Alvin kembali menghampiri Deva dan Ray
yang duduk tidak jauh dari Rio.
“Gak ada waktu lagi Dev. Loe segera hubungi Dokter Tian dan Evan.
Mereka lebih mengerti keadaan Ify saat ini. Dan loe harus hubungi Tante
Linda dan jelaskan semuanya.” Ucap Alvin.
Deva tidak membantah. Ucapan Alvin benar. Urusan Rio biarlah jika
nanti semua sudah beres. Yang penting sekarang adalah nyawa kakaknya
lebih dahulu. Tanpa membutuhkan waktu lama lagi Deva dan Ray langsung
berjalan meninggalkan Ruang UGD dan masuk lift dekat Ruang Receiptionis
untuk ke ruang kerja dokter Tian.
Sementara Rio hanya memandangan percakapan Alvin dan Deva juga
mungkin Ray dalam diam. Hanya sedikit yang ditangkapnya dalam
pembicaraan tersebut. Dengan jarak diluar jangkauan pendengarannya. Juga
kondisi yang tidak membuatnya untuk mendengar lebih baik membuat Rio
tetap tidak mengerti apa-apa.
“Setelah ini apalagi Yo...” Suara pelan dan sedikit bergetar menyapa
telinga Rio. Ternyata dari Sivia yang ada dihadapannya. Rio sudah
pasrah. Dia benar-benar sudah tidak mempunyai tenaga lagi walaupun hanya
menghadapi Sivia. Bukan hanya, Sivia adalah teman terbaik Ify yang
masih ada tetap disamping gadis itu apapun keadaannya. Bahkan disaat
kubu mereka terpecahpun gadis itu tetap disamping Ify. Wajar jika saat
ini tatapan Sivia sudah bercampur antara ingin memukul bahkan sampai
membunuhnya.
“Belum cukup ya kemarin loe nyakitin hatinya? Sekarang loe masih nyakitin fisiknya. Loe punya hati gak sih?” Desis Sivia tajam.
Rio menunduk dalam, lalu melempar pandangannya kearah pintu ruang
unit gawat darurat. Sepertinya dia sudah menyakiti gadis dalam ruangan
tersebut itu lebih dari apa yang disadarinya.
“Kalo loe benci sama Ify gak gini caranya Yo” Bentak Sivia sambil
mengguncang tubuh Rio. Air mata yang ditahannya tadi sudah tumpah begitu
saja mengiringi seluruh emosinya.
Rio hanya diam. Begini lebih baik. Jika semua orang mengamuk padanya
itu bisa melepas semua penyesalan yang ditahannya saat ini Rio akan
membiarkannya.
“Udah ya Vi udahh” Suara lembut Alvin sekaligus melepas tangan Sivia
yang tadi mengguncang tubuh Rio terdengar dalam jarak dekat.
“Apa yang dia lakuin kemaren masih belum nyakitin Ify Vin? Apa belum cukup yang kemarin? Ify gak salah. Ify Cuma... Ify Cuma..”
“Ssstt” Alvin menghentikan racauan Sivia dengan menenangkan Sivia
dalam pelukannya. Alvin membelai dengan sayang rambut gadis itu untuk
membuatnya tenang sejenak. “Berhenti ya Vi. Ify Cuma butuh doa kamu
sekarang. Amarah kamu gak akan ngebantu dia saat ini” Bujuk Alvin.
Sivia hanya mengangguk tanpa suara dalam pelukan Alvin.
Setelah Sivia agak tenang Alvin membantunya untuk duduk tak jauh dari
Rio, dengan dirinya sendiri juga tetap disamping Sivia dan merangkul
gadis itu. Dan mereka bersama-sama menunggu apa yang sedang terjadi
dibalik pintu ruang unit gawat darurat tersebut.
***
Gabriel baru saja terbangun dari tidurnya. Tepatnya baru tersadar
dari pengaruh klorofoam yang tadi sempat menghentikan semua tindakan dan
kerja otaknya. Gabriel masih berusaha beradaptasi dengan cahaya yang
begitu remang dalam ruangan tempatnya tidur dan tengah menebak-nebak
kira-kira dimana ia saat ini.
Setelah benar-benar sadar, penglihatan Gabriel mulai terbiasa dengan
cahaya temaram yang ternyata berasal dari lampu tidur disamping kasur
yang tadi ditidurinya. Gabriel memandang sekelilingnya, begitu familier.
Ternyata dia berada dikamarnya sendiri. Kamar yang ada dirumah Papanya
yang dulu sempat ditinggalinya sebelum kabur kerumah Ify. Begitu
mengerti posisinya Gabriel langsung melangkah untuk menyalakan saklar
lampu dikamarnya agar cahayanya menjadi lebih terang.
Gabriel jatuh terduduk dipinggiran tempat tidurnya. Berusaha
mengingat apa yang telah terjadi padanya sebelum dia akhirnya tertidur
karena biusan. Bagaikan film yang berputar dipercepat semua ingatan
tentang apa yang sebelumnya terjadi sudah berputar dikepalanya.
Pembicaraannya dengan Rio saat menjemput Ify, Pembicaraannya dengan
Deva, kedatangan Papanya, Langkahnya yang diseret oleh ajudan Papanya
menuju Alphard yang akhirnya membawa Gabriel ke kamar ini, Kecelakaan
itu.... Ya!! Kecelakaan itu.
Bagai tersengat listrik Gabriel langsung bangun dari duduknya.
Gabriel mengacak rambutnya frustasi. Kecelakaan itu. Kecelakaan itu yang
kini langsung menjadi fokus pikiran Gabriel sepenuhnya. Kecelakaan yang
disebabkan oleh tingkahnya, kecelakaan yang mengorbankan...
mengorbankan.....
CKLEK
“Sudah bangun Tuan Muda?”
Suara pintu terbuka disusul sapaan yang dulu begitu familier
ditelinganya memutuskan seluruh bayangan Gabriel akan pikirannya.
Gabriel hanya menoleh tanpa memberikan jawaban apapun.
Mungkin mengerti akan sifat tuannya atau mungkin memang mengerti
keadaan Gabriel saat ini. Suara yang ternyata berasal dari pengurus
rumah tadi langsung mengalihkan pertanyaannya.
“Makan malam sudah siap” Lanjut pengurus rumah tersebut lebih ke pernyataan daripada melanjut pertanyaannya tadi.
Gabriel hanya tetap diam dan kembali berusaha memusatkan pikirannya
terhadap apa yang dipikirkannya tadi. Tapi inti dari semua itu, dia
harus pergi. Pergi dari rumah ini, secepat dia bisa.
Sadar jika tindakannya tidak akan direspon, pengurus rumah Gabriel langsung pamit sambil menutup pintu kamar Gabriel.
Setelah pintu ditutup Gabriel langsung merogoh sakunya, mencari alat
komunikasi yang setidaknya bisa membantunya keluar dari rumah ini. Namun
sia-sia ketika dia teringat ternyata BB miliknya justru dia taruh di
sofa tempatnya mengobrol dengan Deva sebelum akhirnya Gabriel dibawa
paksa kerumahnya.
“Shit” Umpat Gabriel. Lalu pandangannya jatuh kepada Mac miliknya
yang sudah ditinggal selama beberapa bulan. Tanpa pikir panjang Gabriel
langsung menghampiri tempat Mac nya berada lalu menyalakannya dan
menghubungkan dengan internet.
Namun begitu Internet sudah terhubung Gabriel langsung terpaku. Siapa
yang akan dihubunginya? Deva? Pasti dia sudah mendengar kabar
kecelakaan tersebut. Kalau tidak.. kalau tidak... Gabriel langsung
menggeleng keras. Berusaha menghindarkan bayangan buruk.
‘Deva pasti sibuk kalo saat ini dirumah sakit’ Batin Gabriel. Lalu
Gabriel mengalihkannya pada teman yang lain. Alvin, Sivia? Gabriel
kembali menggeleng. Mana mungkin merepotkan mereka lebih jauh. Tidak ada
jalan lain. Dia harus keluar dari rumah ini sendiri seperti waktu itu.
Gabriel akan meminta bantuan tukang kebunnya yang dulu pernah
membantunya dalam penitipan barang saat dia keluar dari rumah ini
bersamaan dengan Shilla yang masuk rumah sakit.
Ah, gadis itu ya. Ingin rasanya Gabriel menumpahkan seluruh kesalahan
pada gadis tersebut atas semua yang terjadi saat ini. Sayangnya justru
awalnya bukan karena gadis itu, melainkan karena dia sendiri. Seandainya
tidak ada sandiwara ini pasti semua akan tetap baik-baik saja. Walaupun
Gabriel tidak menjamin apa Ify akan tetap mempertahankan ginjalnya saat
itu. Paling tidak kecelakaan tadi sore karena dirinya tidak pernah
terjadi.
Gabriel kembali men-shut down Mac nya. Lalu kemudian berlari kearah
pintu ingin mencari jalan keluar lain. Namun tepat saat tangannya akan
menyentuh handle pintu kamar, disaat itu pula kamarnya sudah terbuka.
“Bermaksud kabur Yel?” Tanya suara berat namun sarat dengan ketenangan dari seseorang yang membuka pintu kamarnya.
Langkah Gabriel langsung terhenti. Sekuat tenaga Gabriel berusaha
untuk tidak menumpahkan kemarahannya sekarang. Mengetahui keadaan Ify
sudah jauh lebih penting dari segalanya.
“Aku mau pergi sebentar Pa. Aku sama sekali gak bermaksud kabur,
begitu urusanku selesai aku akan kembali kesini dan mengikuti kemauan
Papa.” Ucap Gabriel penuh penekanan disetiap perkataannya.
Tn. Damanik tersenyum pengertian namun detik berikutnya senyum yang
awalnya terlihat tulus berubah menjadi seringai sinis yang penuh
kebencian.
“Ada apa Yel? Bermaksud kembali kerumah itu? Atau menolong membawa
kerumah sakit anak dari wanita itu?” Tanya Tn. Damanik meremehkan.
Mendengar tidak adanya itikad baik dari Papanya begitu membahas
Bundanya, emosi yang baru saja ditahan langsung mencuat begitu saja.
“Maksud Papa apasih? Anak dari wanita mana? Itu Bunda Iel Pa. Deva
adik Iel, sama kayak Ify kembaran Iel. Aku coba untuk pergi atas izin
Papa secara baik-baik. Tapi apa tanggapan Papa? Sekarang juga biarkan
Iel pergi menyelesaikan semua dan Iel janji akan kembali kesini dan
mengikuti semua keinginan Papa” Tegas Gabriel.
“Bisa papa percaya omongan kamu?” tanya Tn. Damanik tenang.
“Tentu aja” sahut Gabriel cepat.
“Berapa kali kamu sudah melanggar omongan kamu sebelum ini?” Desis Tn. Damanik langsung.
“Pa, Iel udah gede, Iel tau apa yang Iel lakuin. Seharusnya Papa
sebagai orang tua lebih berpikir dan mengerti tentang apa yang udah Papa
lakukan.”
“Berani kamu Yel mendikte Papa macam itu?” Bentak Tn. Damanik.
“Iya aku berani!” Tantang Gabriel. “Aku ulang. Iel udah gede dan Iel tau apa yang Iel lakuin” Tegas Gabriel.
“Dan kamu merasa sudah lebih hebat dari Papa? Merasa tau segala hal lebih dari yang Papa tau?” Pojok Tn. Damanik.
“Mungkin Iel jauh dibawah Papa soal kehebatan terutama soal
kekuasaan” Sindir Gabriel. “Tapi setidaknya Iel yakin yang Iel lakukan
adalah benar” Ucap Gabriel tanpa ketakutan sedikitpun.
“Dan hanya berdasarkan keyakinan kamu itu kamu mau menginjak-injak Papa?” Masih Tn. Damanik dengan nada tingginya.
“Papa merasa diinjak-injak? Kalo iya, Iel ucapkan selamat karena pada
masa berjayanya Papa saat ini orang yang pertama kali menginjak-injak
Papa adalah anak Papa sendiri. Iel” Ucap Gabriel tanpa rasa gentar.
“Kamuu...”
“BERHENTIII!!”
Puncak kemarahan Tn. Damanik tertelan begitu saja saat ada suara yang
seakan mentitahnya untuk berhenti. Baik Tn. Damanik maupun Gabriel
sendiri sudah menoleh kearah sang pemilik suara.
“Cakka!!!” seru Gabriel tak percaya.
Orang yang dipanggil tadi mulai berjalan mendekati Gabriel, dan Gabriel sendiri masih setangah tak percaya memandang Cakka.
“Yel” tegur Cakka sambil menepuk pundak Gabriel lalu mengalihkan pandangannya pada sosok Tn. Damanik.
“Gue tadi bermaksud kerumah Ify untuk minjem buku musik untuk gitar
klasik yang dia punya, tapi gue malah liat loe ditarik paksa masuk mobil
jadi gue ngikutin loe sampai sini dan memaksa masuk”
Bukannya mendengarkan, mendadak bayangan Ify, Rio dan Mobil mereka
yang menhantam pohon melintas dikepala Gabriel bagai potongan film yang
berputar cepat, membuatnya sedikit terhuyung sambil memegangi
kepalanya.
Sadar dengan keolengan tubuh Gabriel, Cakka langsung merangkulnya
untuk menopang berat badan Gabriel. “ Yel, loe kenapa?” Tanya Cakka
panik.
“Ify Kka...... Ify..... Rio.... mereka........ Kka tolong...” ucap Gabriel terbata.
Cakka menjadi bingung sendiri karena tidak mengerti maksud Gabriel. “Me.. mereka kenapa Yel?” Tanya Cakka ikut panik sendiri.
Tn. Damanik yang mendengar nama putrinya disebut menjadi terdiam sendiri, menunggu apa yang sebenarnya terjadi.
“Mobil mereka nabrak pohon Kka. Mobil tadi.... tikungan....” Kata-kata Gabriel begitu berantakan sambil menggoncang bahu Cakka.
Cakka berusaha menenangkan dirinya sendiri, mencerna setiap kata yang meluncur dari mulut Gabriel dan mengartikannya sendiri.
Sementara Tn. Damanik langsung mematung ditempatnya, langsung mengerti semua penjelasan Gabriel yang berantakan.
***
Rio meminggirkan motor yang dikendarainya dekat tepi danau. Dengan
kesal dia menggebrak stang kawasaki ninja milik Ray yang dipinjamnya.
Apa yang dilakukannya saat ini? Kenapa dia harus terburu-buru hanya
karena pesan-pesan singkat yang masuk ke Handphone nya? Kenapa juga dia
harus menuntaskan egonya malam ini untuk menyelesaikan semuanya?
Sedangkan ada orang yang kini terbaring tidak berdaya karena
perbuatannya sendiri.
Dimana ketegasannya saat ini? Ketegasan sebagai pemimpin, bukan hanya
dikelas sebagai ketua kelas, tapi juga sebagai ketua OSIS disekolahnya.
Dimana ketegasan hati miliknya yang jelas-jelas ada dibawah kekuasaan
dirinya sendiri?
Tidak. Hatinya dibawah kekuasaan orang lain. Ify. Orang yang kini
terbaring karena perbuatannya sendiri yang memiliki kuasa dan kendali
atas hatinya kemarin sampai dengan sekarang. Atau mungkin, selamanya.
Lalu? Kenapa dia tidak menetap disana. Menunggui seseorang pemimpin hatinya sampai tersadar?
Rio menarik sebuah Blackberry dari saku celananya yang sudah berganti
jeans hitam yang dibawakan Ray untuknya. Setelah menginput password
baru –atau lama karena sebelumnya pernah tergantikan. Rio menghela nafas
berat, kembali menyesali segala tindakannya yang telah lalu.
Battery Blackberrynya sudah hampir low, tapi Rio sudah tidak begitu
ambil pusing. Digesernya trackpad tadi ke arah pesan masuk via BBM yang
mau tidak mau membuatnya bergerak dari tempat gadis yang begitu sangat
disayanginya.
Ashilla | Mr. R
Kamu kemana sih? Kenapa gak ada kabar :”(
Ashilla : sayang, gimana performnya tadi?
Ashilla : yo, lagi apa? Jangan lupa makan ya sayang :)
Ashilla : yo, kenapa gak di read sih :(((((
Ashilla : acara udah selesai belum? Kamu udh pulang blm?
Ashilla : sayanggggggg
Ashilla : Riooooooooo :( :( :(
Ashilla : reply sekali aja deh, biar aku bisa makan dan minum obat
Ashilla : Aku gk tenang banget ini huhu :(
Ashilla : kamu lg apa sih sama Ify? Lupa sama aku? :”(
Ashilla : angkat telefon aku yooo
Ashilla : aku tau yo ify sahabat kamu. Tp bisakan luangin waktu semenit aja buat read dan reply BBM aku sebagai PACAR kamu? :”)
Ashilla : yaudah kalo gak mau read atas reply gpp, aku gak usah makan
dan minum obat sekalian, percuma, gak ada yang peduli ini, bye!
Bunyi sms masuk mengarahkan jempolnya untuk mengarahkan kursornya ke inbox message. Terlihat pesan yang tadi sudah dibacanya.
From : Nyokap Shilla
Message : Yo, kamu dimana? Bisa kesini gak? Shilla beneran gak mau
makan dan minum obat. Tante cemas yo. Tante mohon, bantu tante lagi kali
ini..
Inilah pesan yang membuat Rio langsung memacu Kawasaki ninja milik
Ray sekaligus berharap benar-benar ada penyelesaian malam ini. Sudah
cukup, Rio tidak ingin menyakiti siapapun lagi.
Rio mengarahkan trackpadnya pada pesan yang baru masuk yang belum dibacanya tadi.
From : Alvin
Message : Yo lu dimana? Ify udah boleh dikunjungin. Tapi masih tetep di ICU.
Rio bermaksud menekan tombol reply, tapi peringatan battery low yang
dari tadi sudah berkali-kali muncul di screennya, sudah tidak memiliki
daya lagi untuk membiarkan alat komunikasi itu tetap hidup, dan layarpun
menjadi hitam.
“Damn it” umpatnya, langsung menjejalkan kembali blackberry miliknya ke saku jeansnya.
Tanpa berpikir lagi, Rio langsung memacu kawasaki ninja milik Ray menuju tempat yang kini ada dipikirannya.
***
Alvin dan Sivia memasuki ruang ICU setelah bergantian dengan Deva dan
Ray. Sudah ada Dokter Tian dan Dokter Evan yang menangani Ify dari awal
ketika masih di Gawat Darurat. Berbagai selang sudah menempel
disana-sini tubuh Ify. Dan beberapa kain putih dengan bercak merah agak
kecoklatan terlihat membebat kepalanya dan beberapa bagian lengannya.
Alvin hanya mampu menatap miris, sedangkan Sivia langsung menumpahkan
airmatanya kembali seakan mampu merasakan rasa sakit yang sedang
dirasakan sahabatnya.
“Gimana keadaannya sekarang Dok?” Tanya Alvin sambil memandang Dokter Tian dan Dokter Evan bergantian.
Sang Dokter hanya dapat saling pandang, dan menggedikkan kepalanya kearah pintu. Alvin mengerti.
“Vi, kamu jagain Ify disini ya. Jangan nangis, terus kasih Ify
kekuatan untuk bertahan. Cuma kamu sahabatnya dia yang dia punya disini”
Bisik Alvin sambil setengah memeluk Sivia. Sivia mengangguk kecil.
“Tolong ya sayang” Ucap Alvin sambil mengacak puncak kepala Sivia,
lalu melangkahkan kakiknya keluar mengikuti Dokter Tian dan Dokter Evan
yang sudah mendahuluinya.
Sepeninggal Alvin. Sivia kembali menatap Ify, matanya kembali
memanas. Sivia menggeleng kasar dan memejamkannya matanya kuat-kuat. Dia
harus kuat sekarang, sahabatnya membutuhkannya, tidak mungkin ia akan
menjadi sandaran kalo dia juga lemah. Sivia mengangguk memantapkan
hatinya.
“Ify....” Panggil Sivia pelan.
Tak ada reaksi apapun dari Ify. Mata Sivia sudah kembali memanas.
“Ify...” Panggil Sivia lagi sambil mengenggam tangan Ify yang masih belum ada reaksi.
Sivia menahan isaknya.
“Ify, bangun dong! Loe tidur mulu deh” Ucap Sivia dengan suara yang dibuat-buat merengut.
Tetap tidak ada reaksi dari Ify.
Anak sungai kecil sudah mengalir dipipi chubby Sivia.
“Ini Fy? Ini yang namanya sahabat? Bahkan loe sama sekali gak genggam
balik tangan gue sekedar menyalurkan rasa sakit yang loe rasa untuk gue
rasakan juga.” Ucap Sivia, sudah tidak peduli Ify mendengarnya atau
tidak.
“Kita sahabatkan? Nangis sama-sama. Seneng sama-sana. Dan Sakitpun juga sama-sama Fy” Ucap Sivia yang sudah mulai terisak.
Ify masih tetap bergeming.
Kau ada dikala kusuka, dikala ku duka..
Setiap tangisan dan juga tertawa..
Kau ada dikala kuperlu, setia menemaniku..
Pegang erat tanganku bila aku jatuh..
Sivia bersenandung pelan. “Loe gak mau nyanyi bareng gue Fy?” Tanya Sivia lirih, melihat sama sekali tak ada reaksi dari Ify.
Kaulah yang selalu, selalu menemaniku..
Mendengar kisah pahit manis hidupku..
Kaulah yang disitu setia menungguku..
Kaulah yang satu menjadi sahabatku..
Kutahu kukan selalu ada, ada dirimu..
Dan kuharap kau juga rasa begitu..
Kaulah yang selalu, selalu menemaniku..
Mendengar kisah pahit manis hidupku..
Kaulah yang disitu setia menungguku..
Kaulah yang satu menjadi sahabatku..
Sahabatku..
Sivia menenggelamkan wajahnya dikedua telapak tangannya, sudah tak
sanggup lagi menahan isak yang dari tadi dipendamnya. Tanpa menyadari
jika ada sungai kecil yang mengalir dipipi tirus itu.
***
“Rio!” Pekik Shilla begitu membuka pintu rumahnya.
Rio hanya bergeming menatap Shilla, bertekat menyelesaikan semuanya.
Sementara Obiet yang tengah menonton tv langsung melesat kedepan begitu mendengar pekikkan Shilla.
“Kak Rio! Loe gak papa? Gimana Kak Ify?” Tanya Obiet bertubi.
Perhatian Rio teralih sesaat, nama itu lagi, dadanya betul-betul
terasa nyeri saat mendengar nama itu. Bagaimana keadaan Ify? Saat ini
Rio pun tak tau.
“Rio” Panggil Shilla berusaha mengambil perhatian Rio lagi.
“Rio aku minta maaf, aku tadi betul-betul gak tau soal kecelakaan
yang nimpa kamu sama Ify. Aku.. Aku.. Kamu gak papa kan?” Tanya Shilla
cemas sambil meraba kedua lengan Rio.
“Kak Ify gimana kak?” Sambar Obiet, merasa keadaan Rio tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Rio sendiri masih bingung menjawabnya.
“Kak jawab dong, BBM gue gak dibales-bales lagi sama Deva ataupun Ray” Tanya Obiet tak sabar.
“Rio kamu gak papa kan?” Tanya Shilla lagi.
“Gue gak papa Shill” Jawab Rio singkat.
“Kak” Sahut Obiet.
“Gue juga gak tau Biet” Jawab Rio lirih.
Obiet membuang nafas kasar. Dan langsung berbalik masuk kedalam
rumahnya lalu dalam waktu singkat sudah kembali keluar dengan balutan
sweater hitamnya sambil mengenggam sebuah kunci lalu berjalan cepat
kearah ninja hitam miliknya.
“Mau kemana Biet?” Teriak Shilla.
“Emang harus ada pertanyaan disaat begini?” Balas Obiet sambil melenggang pergi.
Rio terpaku. Tanpa berpikir panjangpun Obiet bisa langsung bertindak secara cepat. Lalu kenapa reaksi tubuhnya berbeda?
“Masuk dulu Yo” Suara lembut Shilla memecahkan keheningan.
“Tapi gue mau langsung...”
“Percaya atau gak, keadaan kamu sekarang kacau banget Yo. Kamu harus
tenang dulu, setelah itu kita baru balik kerumah sakit sama-sama” Potong
Shilla sambil tersenyum manis dan mengusap punggung Rio.
Rio menurut. Apalagi memang yang harus dilakukannya saat ini?
Shilla membimbingnya masuk kedalam rumah. Dirinya sadar tidak ada
cara untuk menahan Rio. Namun tidak ada cara lain juga membuat dirinya
sendiri tidak sakit akibat kenyataan jika Rio masih lebih mementingkan
Ify. Sampai saat ini, semua yang dilakukannya tidak membuahkan hasil
apa-apa. Shilla mungkin bisa berstatus memiliki Rio, tapi kuasanya tidak
sampai kesana.
Setelah Rio duduk diatas sofa ruang tamunya. Shilla kembali beranjak untuk mengambilkan minum.
Rio menyenderkan tubuhnya pada sofa dan mengusap wajahnya kasar,
mulai memikirkan semuanya satu persatu dengan lebih detail. Tapi saat
ini kecerdasan yang biasanya dapat diandalkan tidak dapat menemukan
sesuatu selain kegelapan. Rio tidak mampu berpikir.
“Minum dulu Yo” Ucapan Shilla membuyarkan semua pikiran yang dari tadi menggelapkan otaknya. Rio menurut.
Shilla memperhatikan Rio yang sedang minum minuman yang disuguhkannya.
“Makasih” Ucap Rio sambil menoleh kearah Shilla, pikirannya sudah lebih rileks sekarang.
“My pleasure” Balas shilla sungguh-sungguh tak lupa dengan senyum manisnya.
Rio membungkam. Gadis dihadapannya ini benar-benar tulus untuknya, dan dia takkan membohonginya lebih jauh lagi.
“Kamu udah makan?” Tanya Rio.
Shilla tersenyum, “Udah, mama tadi marah banget, karena gak mau buat khawatir aku makan dan minum obat langsung”
“Maaf ya” Ucap Rio rendah sambil mengusap puncak kepala Shilla. Shilla mengangguk kecil, wajahnya sudah menghangat sekarang.
“Ify tadi kecelakaan, gara-gara aku” Jelas Rio, kali ini dia
memandang kedepan dengan tatapan menerawang seakan membayangkan
kilas-kilas kejadian yang dialaminya tadi. “Aku gak bisa begini terus
Shill, aku gak mau ada yang terluka lagi karena aku..” Makin lama suara
Rio semakin rendah.
Tidak! Shilla tidak ingin mendengar kelanjutannya. Paling tidak, dia belum siap mendengarnya untuk saat ini.
“Yo” Shilla memotong ucapan Rio yang menggantung.
Rio menoleh.
“BB kamu mati ya? Tadi terakhir aku hubungi no kamu gak aktif” Tanya Shilla mengalihkan pembicaraan secara mulus.
“Ada yang lebih penting dari itu yang aku mau omongin Shill” Sahut Rio.
“Memang ada yang lebih penting selain kamu tau kabar Ify sekarang?
Mungkin aja temen-temen kamu lagi nyoba hubungi kamu untuk ngasih tau
keadaan ify. Terus kalo BB kamu mati, kamu tau darimana nanti?” Lanjut
Shilla mash berusaha keluar dari topik yang hampir dibahas Rio.
Mendadak Rio teringat pesan Alvin yang tidak sempat dibalasnya tadi,
sehingga terpaksa membenarkan ucapan Shilla tadi dengan mengeluarkan BB
yang sudah tak berdaya dari saku jeansnya lalu menyerahkan ke Shilla.
Shilla menerima BB Rio ditangannya sambil tersenyum.
“Kamu cuci muka dulu gih biar seger, siapa tau pikiran kamu lebih jernih” Ucap Shilla sambil tersenyum.
Tanpa bicara, Rio menyetujui saran Shilla untuk mencuci muka, atau
lebih tepatnya menenangkan semua pikiran yang telah memenuhi kepalanya.
Setelah memasang daya pada BB Rio, mendadak Shilla terdiam. Kenyataan
ini sangat menohok perasaannya. Perasaan Rio begitu besar kepada Ify,
dan sepertinya mendengar kabar Ify sudah cukup penting baginya saat ini.
Namun disisi lain dia merasa lega, dapat mengulur sebuah pembicaraan
yang tidak harus dia dengar sampai waktu ia siap.
Sebuah lagu luar yang sudah begitu familier ditelinganya, membuyarkan
semua lamunan Shilla. Rupanya BB Rio sudah kembali menyala, meski harus
tetap dicharge unuk menambahkan dayanya sampai batas maksimal. Shilla
menoleh kearah sofa, Rio belum kembali dari toilet. Sementara jeritan
dari BB nya masih belum berhenti. Shilla melihat nama penelepon yang
masuk tepat saat BB Rio hidup kembali.
AlvinJo’s calling
Shilla memutuskan untuk mengangkatnya. Karena biar bagaimanapun dia
juga cemas dengan keadaan Ify yang hampir membuat Rio hancur begitu
saja.
“Halo Vin”
“Ha.....” terdengar pekik tertahan. Tak lama, panggilan berakhir.
Shilla terdiam, hanya memandangi BB Rio seakan itu adalah orang yang
tiba-tiba memutuskan panggilan. Walaupun hanya sebuah pekikan tertahan,
lebih tepatnya omongan yang terputus. Tapi shilla yakin itu bukan suara
Alvin, melainkan suara Sivia.
***
Keheningan yang begitu tajam memenuhi ruangan itu. Begitu tenang
seperti sewajarnya pada waktu sebelumnya. Perbedaan terletak pada
ketegangan yang begitu terasa ditengah-tengah ruangan. Hawa sejuk yang
dikeluarkan pendingin ruangan justru lebih menambah ketegangan menjadi
sebuah ketenangan yang tidak wajar. Sebuah dehaman dari salah satu yang
berkumpul diruangan itu memecahkan sunyi.
Semua pandangan otomatis terfokus kepada pemilik dehaman tersebut,
Dokter Tian. Sementara sang pemilik justru berusaha memandang
lurus-lurus kepada setiap lawan bicaranya, seolah-olah ada keganjilan
yang kasat mata jika luput dari penglihatannya. Aura ketegangan justru
semakin terasa.
“Ada apa dok? Jelaskan saja semuanya, jangan ada yang ditutupi.
Walaupun kemungkinan terburuk ada, kami akan coba terima.” Ucap Alvin
membuka pembicaraan.
Dokter Tian menghela nafas berat, namun tetap tidak mengurangi
kekakuan tubuhnya. “Bukan begitu Vin, pasti saya akan menjelaskan
semuanya. Siap tidak siap kalian harus mendengarnya.” Dokter Tian
berhenti sejenak. “Hanya saja, saya bingung memulai dari mana. Semuanya
berlalu cepat, kejadian ini bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun di
bayangan saya.” Dokter Tia kembali diam. “Gabriel mana Dev?” Tanya
Dokter Tian keluar dari topik utama.
Bahu Deva terlihat menurun dari sebelumnya. “Dibawa paksa Papanya” jawabnya kecut.
“Dibawa?” Alvin langsung menoleh. Karena dia memang belum mengetahui
kejadiannya. Kemunculan Deva tanpa Gabriel tadi dia pikir hanya sesaat
karena mungkin saja mereka tengah berbeda tenpat dan Gabriel akan
menyusul kesini setelahnya. Namun, sampai menit telah berganti jam,
sosok Gabriel tetap tak terlihat. Alvin bukan tidak menyadari keganjilan
ini. Namun tadi pikirannya lebih tersita pada Rio yang terlihat hancur
karena kejadian ini.
“Iya, diseret Papanya dari Rumah gue” Lanjut Deva.
“Papanya Gabriel sama kayak Papa kamu Dev” Sahut Dokter Tian.
“Bukan. Saya gak percaya punya Papa begitu.” Ucap Deva kecut.
“Almarhumah Bunda kamu dan kakak kamu yang terbaring disana berusaha
terus untuk meyakinkan kalo diantara kamu dan orang yang disebut Papanya
Gabriel itu ada pertalian hubungan ayah dan anak. Berusaha terus
meyakinkan kalo kamu adalah anak Bunda dari Papanya Gabriel, meyakinkan
kamu, bahwa Kamu adalah saudara sekandung dengan Ify dan Gabriel. Tapi
kamu sendiri yang justru menolak semua itu? Kamu berpikiran sebaliknya
sementara mereka terus mempertahankan kamu?” Perkataan Dokter Evan yang
penuh tekanan membuat Deva untuk mencerna semuanya.
“Back to the focus. Waktu kita Cuma sedikit.” Ucap Dokter Evan memecah keheningan.
“Apa maksud dokter ‘Cuma sedikit’” Sahut Alvin menyela percakapan.
“Kita akan bermain dengan waktu Vin. Tadi saya sudah merujuk semua
data Ify pada Rumah Sakit di singapore. Dan baru saja mereka memberi
kabar jika mereka sanggup menangani Ify dengan peralatan yang lebih
memungkinkan disana.” Ucap Dokter Evan sambil terfokus pada laptopnya.
“Mereka memberi kabar, jika jam 2 pagi malam ini, Ify harus sudah tiba
disana dan mereka akan langsung menanganinya.”
“MALAM INI?” Tanya Alvin, Deva dan Ray serentak.
Dokter Evan mengangguk. “Kita tidak mungkin tetap menahannya disini.
Semua obat dalam yang kami berikan mungkin menopang rasa sakitnya. Tapi
mungkin juga memperparah kondisinya.”
Semua terdiam.
“Keputusan saat ini semua ada dikamu Dev” Lanjut Dokter Tian.
“Disini, kamulah satu-satunya anggota keluarga Ify yang bisa memberikan
keputusan medis kepada kami semua. Tadi saya sudah menelepon Mama kamu,
dia setuju namun ingin semua kembali kepada kamu dan Gabriel. Sedangkan
kita semua tau, Gabriel tidak ada disini. Jadi, kamulah
satu-satu-satunya orang yang bisa memberikan kami semua keputusan.
Deva terdiam.
Jauh dari Ify dikondisi sulit yang Deva sendiri tidak yakin. Dia
tidak pernah sekalipun jauh dari Ify dalam kondisi yang begitu pelik.
Mereka tinggal serumah, dimana mereka juga selalu bersekolah disekolah
yang sama. Meskipun sering bertengkar karena hal sepele bukan berarti
Ify tidak menyayangi Deva dan sebaliknya. Jika salah satu dari mereka
pergi berwisata ketempat berbeda pun sudah pasti karena mereka sedang
mencari sebuah kesenangan dengan teman-teman mereka. Bukan dikarenakan
harus berjuang hidup untuk kesembuhan, seperti saat ini. Dan itu yang
membuat Deva tidak tenang dan tidak yakin dengan keputusannya sendiri.
“Kakak kamu begitu kuat Dev, bahkan dia masih bertahan sampai
sekarang di kondisi fisiknya yang seperti ini. Jiwanya yang penuh
semangat seakan tidak mau berhenti disini. “ Dokter Tian menambahkan.
“Kamu harus yakin jika dia bisa bertahan sampai nanti. Kamu harus yakin,
kamu salah satu dari orang yang membuatnya bertahan. Karena dengan
dirinya sendiri, kita tidak tahu sampai kapan Ify mampu bertahan. Karena
kalianlah, orang-orang yang dsekitar Ify yang membuat dia terus
berusaha bertahan.”
Salah. Dokter Tian salah besar. Justru karena Ify begitu berpengaruh
kepada kami semua, maka kami ada disini. Kami tidak tau jadinya sekarang
jika kedepan Ify tidak lagi bersama kami. That’s all because her.
That’s All Cause Ify. Kami tidak tau jika bagaimana jadinya jika hanya
tau kondisinya dari jauh bahkan tanpa kami bisa melihat wajah tenangnya
dan menggenggam tangan yang tidak bisa menggenggam balik tangan kami
lagi.
Begitulah kira-kira suara bathin 3 orang yang ada dihadapan Dokter
Tian dan Dokter Evan. Namun, menahannya tetap disini sama saja
memupuskan kondisi fisik yang tidak bisa diobati oleh semangatnya. Kami
tidak bisa begitu egois.
Suasana yang begitu hening menyentakkan Ray terlebih dahulu yang
langsung mengusap bahu Deva. Ray menganggukkan kepalanya pelan. Deva
memandang Ray ragu lalu mengalihkan pandangannya kepada Alvin yang sama
bereaksi seperti Ray.
Deva menunduk, menghela nafas berat untuk memantapkan hatinya.
“Lakukan” gumamnya kecil. “Lakukanlah yang terbaik, saya percaya pada
kalian” Jelas Deva sambil menatap Dokter Tian dan Dokter Evan lurus.
Kedua Dokter saling berpandangan. Lalu sama-sama menganggukkan kepala
pelan seakan dapat membaca pikiran satu sama lain. Selanjutnya Dokter
Evan langsung menyodorkan seberkas map yang harus ditandatangani Deva
untuk perjanjian tindakan medis. Dan Deva langsung menoreh tinta hitam
diatasnya. Setelah itu dikembalikan lagi kepada Dokter Evan.
“Kamu tenang saja Deva, saya berjanji akan melakukan yang terbaik.
Bahkan mempertaruhkan jabatan saya sebagai Dokter untuk ini. Saya juga
akan turun langsung dalam perawatan Ify selama di Singapore sebagai
referensi terbaik. Sedangkan Dokter Evan akan menggantikan saya disini
sekaligus membantu kalian memonitor kondisi Ify disana dengan bukti
medis yang jelas. Bantu kami semua dengan Doa kalian. Bantu Ify malam
ini dengan menyalurkan semangat kalian dan optimisme kehidupan yang
pasti sangat berpengaruh pada optimismenya sendiri” Ucap Dokter Tian
yang membuat ketiga orang didepannya mengangguk patuh.
***
Setelah keluar dari Ruangan Dokter Evan, Alvin langsung mengeluarkan
BB nya untuk menghubungi Rio. Rio harus tau ini sekarang. Rio harus ada
disini. Karena satu-satunya semangat yang paling dibutuhkan ify saat ini
pasti Rio. Alvin begitu percaya pada itu semua. Kekuatan Cinta.
Terdengar sederhana namun memiliki dampak yang luar biasa. Alvin
merasakannya. Merasakan pada almarhumah Ibunya, Omanya yang mengurusnya,
Olivia adik perempuannya dan juga Sivia kekasihnya.
Alvin begitu hancur ketika ibunya meninggalkannya pada usia dini.
Namun Omanya berusaha membangkitkan semangatnya. Ditambah Olivia yang
masih lebih kecil darinya saat itu jauh terlihat tegar untuk itu. Lalu
datang Sivia yang sifatnya justru bertolak belakang dengannya, namun
itulah yang mebuat Alvin nyaman sampai saat ini. Dan itu semua karena
sesuatu hal yang mungkin dianggap kuno oleh sebagian orang. Cinta.
Cinta? Ah, Alvin sedikit lupa dengan Papanya saat ini. Salah papanya
yang tidak menjaga cintanya untuk mamanya. Malah sibut merajut cinta
dengan wanita lain. Apa itu cinta? Entahlah, pikiran Alvin terlalu rumit
untuk berpikir saat ini. Alvin kembali menfokuskan dirinya untuk
kembali mencoba (ntah untuk yang keberapakali) menghubungi Rio. Namun
lagi-lagi hanya suara auto answer yang diterimanya.
Setelah hampir mendekati ruangan khusus untuk perawatan Ify, Alvin
dapat menangkap bayangan Sivia yang terduduk sambil menyembunyikan
wajahnya. Alvin langsung mempercepat langkahnya untuk menggapai Sivia.
“Kamu kenapa?” Tanya Alvin sambil langsung memeluk Sivia.
Sivia masih menangis dalam pelukkannya.
“Via” Suara alvin lebih melembut.
Sivia mengangkat wajahnya. “Ify bahkan gamau bangun untuk aku” ucapnya tersendat.
Alvin tersenyum miris. “Kamu gak boleh nyerah sayang, kamu harus
terus, supaya Ify mau bangun untuk kamu. Untuk kita semua. Kalo kamu
berhenti, gimana kalo semangat Ify didalam sana juga berhenti karena gak
ada yang menyemangatinya? Kamu sayang dia kan?” Alvin mencoba memberi
pengertian. Walaupun dalam hatinya sendirinya ragu. Apa harus Rio?
Bathinnya.
Sivia mengangguk, lalu melepaskan dirinya dari Alvin. Alvin tersenyum.
“Kamu kedalem aja ya, aku mau nyoba telepon Rio lagi. Handphonenya kayaknya gak aktif” Ucap Alvin.
“Gantian aja, tadi aku kan udah liat kondisi dia. Pasti kamu mau kan
liat kondisi Ify? Biar aku yang telepon Rio dan bilang ke dia” Pinta
Sivia.
“Tapi gapake marah-marah yah. Kasian sohibku tuh, kena semprot kamu mulu” Cibir Alvin.
Sivia tertawa. “Aku jamin, kalo aku punya sohib kayak dia bakal aku tendang sampe luar angkasa biar cepet peka”
“Bahaya ya urusan sama kamu” Cengir Alvin.
Sivia nyengiR sambil meraih BB dalam genggaman Alvin. “gabakal aku
semprot deh tuh anak. Tapi kalo keadaan urgent, aku gajanji.” Ucap Sivia
sambil menaikkan alisnya menggoda.
Alvin tersenyum sambil mengacak puncak kepala Sivia. “Aku kedalem ya”
Anggukan Sivia langsung membuat Alvin melangkahkan kakinya kedalam.
Sivial langsung men-dial nomor Rio yang memang sudah ada log
panggilan keluar. Sebuah Nada sambung menyapa indera pendengaran Sivia.
Sivia mengernyitkan dahinya, bukannya Alvin tadi bilang HP Rio
sepertinya gak aktif? Sedangkan nada sambung yang menggema di telinganya
sekarang menandakan jika nomor tersebut aktif dan bisa dihubungi,
(tentunya) jika sang pemilik mengangkat telepon.
Suara hening yang hanya sekejap menyadarkan Sivia jika telepon telah
disambungkan. Namun bukannya suara bariton (yang pastinya) pemilik
telepon genggam, Sivia justru mendengar suara sopran yang begitu
dikenalnya.
“Halo Vin” / “Ha..” Sivia langsung membungkam dan menekan tombol merah disebelah kanan untuk memutuskan sambungan.
Sivia meremas BB Alvin dalam genggamannya. Kekesalan, kesedihan sudah
bercampur dalam benaknya sekarang. Pikirannya sekarang meruntut
kejadian yang terjadi pada hari ini.
Tadi pagi Ify pergi bersama Rio untuk lomba yang mewakili sekolah
mereka, pulangnya mereka kecelakaan dikarenakan mobil Rio menabrak pohon
dan Ify terjepit disana. Rio tadi menunggui Ify sampai akhirnya
didamprat dirinya dan juga Deva. Lalu Rio pergi entah kemana. Alvin
mencoba menghubungi HP Rio namun ternyata tidak aktif dan ketika dirinya
mencoba menghubungi HP Rio yang ternyata sudah aktif lagi. Namun yang
mengangkat bukan lah Rio. Melainkan suara Shilla yang terdengar disana.
Kesimpulannya adalah, sekarang Rio sedang bersama Shilla. Disaat
sahabatnya Ify berjuang antara hidup dan mati karena kecelakaan bersama
Rio tadi dengan sebelah ginjal yang sudah diberikan kepada Shilla.
sekarang mereka berdua justru tidak ada disini dan malah ada ditempat
lain berdua.
Krakkk…
BB Alvin dalam genggaman Sivia akhirnya menjadi sasaran menghantam
dinding yang ada dihadapannya. “Sialan.. sialan.. sialan..” maki Sivia
utnuk mengungkap kemarahannya saat ini. Lalu kembali menyerah pada air
matanya yang bergulir begitu saja.
***
Alvin melangkahkan kakinya mendekati Ify. Sudah ada Deva dan Ray yang
masuk duluan. Tubuh Ify yang memang tergolong kecil semakin terlihat
rapuh dengan alat-alat medis yang dipasang ditubuhnya untuk menunjang
kehidupannya sekarang. Mata yang biasa memandang penuh semangat kini
justru terkatup dengan tenangnya. Tidak ada lagi seringai jahil yang
justru lebih sering terlihat dari pada senyum manisnya.
“Heh kebo! Bangun kek loe. Tidur tuh liat-liat tempat dikit kenapa?” Cerocos Deva sambil menghempaskan tangan Ify pelan.
“Mau-maunya loe tidur dirumah sakit sambil dililit kabel gini” Lanjutnya lagi.
“Sebagai adek lo yang begitu ganteng gini. Loe tuh keliatan cupu tau tidur dengan posisi gini” Mata Deva mulai memanas.
“Kebo behellll!! Sampe kapan coba gue harus terus bangunin elo?” Suara Deva menyerak.
Ray mengusap bahu Deva pelan. Alvin hanya bisa memandang semuanya.
Belum pernah dia menebak semua akan seperti ini. Bahkan tidak pernah ada
dalam bayangannya sendiri.
“Kak….Please bangun…. Apa loe gak ada niat sedikitpun untuk bangun
dan ngebales semua omongan gue?” Suara Deva makin melemah, wajahnya ia
telungkupkan pada tangan Ify.
Ray masih mengusap punggung Deva, berharap mampu memberi kekuatan.
Karena sekarang pun semua kata-katanya hanya mampu sampai dipangkal
tenggorokan. Dan ntah kenapa sekarang ia merasa posisinya serba salah.
Bagaimanapun Rio kakaknya, orang yang bertanggung jawab atas semua ini.
Tapi ia tidak bisa menyalahkan begitu saja. Dari awal Ify yang mau
semuanya tertutupi menjadi sebuah rahasia.
Sementara pikiran Alvin tidak jauh semrawut daripada dua orang
dihadapannya. Bagaimanapun ia Pernah merasakan menjadi seorang Rio
maupun Gabriel sekarang. Memikirkan 2 orang yang tidak ada ditempat saat
ini membuat pikirannya makin ruwet. Bagaimana jika nanti Ify sempat
sadar dan tidak ada kedua orang itu? Apa jawaban yang akan menjadi
alasan?
Dulu dia pernah bagaimana merasakan apa yang dirasakan Rio, sesuatu
yang tidak diketahui orang lain, bahkan Sivia sampai ini. Dia jatuh
cinta kepada gadis yang berbaring tenang dihadapannya kini. Alvin begitu
kagum sekaligus menyayanginya. Hingga adanya perasaan Rio yang
membungkam semuanya. Lalu kehadiran Sivia yang membawa kebahagiaan
tersendiri, membuat posisi Alvin menjadi sama seperti Gabriel, menjadi
kakak yang tetap bisa menyayangi dan kagum terhadap adiknya.
“Krakkk” Bunyi yang tidak begitu keras, namun tetap menyita perhatian
Alvin yang langsung membuyarkan semua pikirannya. Pandangan Alvin
langsung bertubrukkan dengan pandangan Ray sementara Deva yang masih
menelungkupkan wajahnya, tanda tidak begitu ambil peduli.
“Dari luar” bisik Ray sambil menggedikkan bahunya kearah pintu.
“Via” Alvin langsung melesat kearah pintu keluar.
***
Sesampainya diluar, Alvin langsung menemukan Via yang justru terduduk
dilantai sambil menelungkupkan wajahnya sambil meracau tak jelas dan
menghentakkan genggamannya kelantai yang dingin. Seperti berharap dapat
mengeluarkan semua emosinya disana.
Sementara tak jauh dari tempat Sivia terduduk, BB Alvin tergeletak
begitu sembarang dengan battery yang sudah mencuat dari tempatnya. Namun
Alvin tak begitu ambil peduli, Alvin langsung menggapai kedua tangan
Sivia untuk tidak lagi memukul lantai yang dingin namun begitu keras.
"Sialan.. sialan.. sialan..” Maki Sivia.
“Vi kamu kenapa?” Tanya Alvin sambil berusaha memeluk Sivia menenangkan Gadis itu.
Sivia memandang Alvin tajam. Menghempas kasar tangan Alvin yang menggenggam.
“Sivia..” bujuk Alvin lembut sambil berusaha membelai rambut Sivia. Namun Sivia langsung menghindar.
“Kamu kenapa?” Tanya Alvin bingung.
“Sohib yang loe bela-belain tuh beneran brengsek yah?” Jelas Sivia
sambil menunjuk Alvin. “Sahabat gue didalem berjuang mati-matian untuk
hidupnya sendiri loe pikir karna siapa?” Tekan Sivia.
Alvin mencoba tenang agar tidak terpancing emosi Sivia. Dan mencoba menebak semua yang terjadi.
“Kondisi dia kritis begitu bukan kemauan dia sendiri.” Ucap Sivia sambil menunjuk pintu dimana tempat Ify dirawat.
“Sohib loe yang bikin dia celaka, dan temen gue yang gak tau terima
kasih, dengan ginjalnya bikin memperparah keadaan. Dan mereka gak ada
disini satupun untuk sekedar tau kondisi dia…”
“Rio dimana Vi?” Potong Alvin begitu mulai menangkap sesuatu.
“Gue kurang yakin dimana, tapi dia lagi sama Shilla. Dan karena
Shilla gaboleh keluar malem kecuali sama d’V-Mile udah pasti sekarang
mereka dirumahnya.” Jelas Sivia tanpa mengurangi penekanan disetiap
katanya.
Mendadak rahang Alvin mengeras. Lalu menarik pergelangan tangan Sivia.”Kita kesana, sekar….”
Mendadak pintu Ruang inap Ify terbuka. “Kak Ify sadar kak” Suara Ray memutus ucapan Alvin.
Sivia menarik tangannya dari genggaman Alvin. “Mereka bisa nunggu,
tapi Ify ngga” Suara Sivia langsung diikuti gerakkannya masuk kedalam
ruangan.
***
Ify membuka matanya perlahan. Ruangan yang didominasi warna putih
langsung begitu mnyilaukan matanya. Indera pendengarannya bisa mendengar
jelas jika ada langkah terburu-buru mendekatinya.
“Fy..” Ntah suara siapa yang memanggilnya sekarang.
Ify mencoba menggerakan anggota tubuhnya. “nggghhh..” terdengar
ringisan kecil yang Ify tidak yakin dari mulutnya sendiri. Seluruh
anggota badannya terasa sakit.
“jangan banyak bergerak dulu Fy, kondisi kamu tidak memungkinkan
untuk melakukan aktifitas, meski itu hanya membalikkan tangan” Nasihat
dari suara yang dikenalnya sebagi Dokter Tian.
Lalu yang berikutnya Ify merasakan badannya dipaksa bergerak untuk pemeriksaan.
“Kondisinya saya rasa lumayan stabil untuk saat ini. Tapi kita tidak tahu akan bertahan sampai kapan” Jelas Dokter Evan.
“Kami tinggal dulu untuk persiapan nanti malam.” Ucap Dokter Tian sambil berjalan meninggalkan ruangan diikuti Dokter Evan.
Mata Ify mulai terbiasa untuk menerima cahaya dalam ruangan tersebut.
Dilihatnya satu persatu orang-orang disekelilingnya. Deva, Ray, Alvin,
Sivia.
Mata Ify kembali berpendar kesekelilingnya. Orang yang justru
diharapkannya ada disaat dia membuka mata malah tidak ada. Ify menelan
kekecewaannya dengan tersenyum tipis. Alvin dapat menangkap kekecewaan
tersebut.
“Rio gak ada Fy” Ucapnya pelan.
Ify tersenyum. “Gue nyari kak Gabriel kok” Sahut Ify mengalihkan
pembicaraan dengan mulus. Ify tahu, ucapan Alvin tidak sepenuhnya
berbohong. Tapi dia tak ingin mendengar kelanjutan kebohongan yang akan
diucapkan nanti.
“Kak Gabriel mana?” Tanya Ify lagi. Sekelilingnya terdiam tak ada yang menjawab.
Mendadak perasaan Ify dicekam rasa takut. “ngghh..” tubuhnya bereaksi diluar kendalinya. Rasa sakit menderanya.
“Kak Ify” / “Fy...” “Fy, loe kenapa?” Sahut-sahutan dari orang
disekelilingnya membuat Ify langsung mengendalikan rasa sakitnya. “Gue
gak papa” Jawab Ify sambil tersenyum kecil.
“Gue panggil Dokter Tian ya?” Tawar Alvin.
“Gak perlu Vin. Btw, Gabriel mana?” Tanya Ify ulang.
Semua kembali terdiam. Tidak tahu harus menjawab. Keheningan
menyelimuti mereka sekarang. Sementara Ify berusaha mati-matian untuk
mengendalikan perasaannya sekarang.
Disaat Deva ingin angkat bicara, mendadak ada yang membuka pintu.
“Gue disini Fy” Jawab Gabriel dengan nafas terengah.
***
Cakka memarkirkan cagiva merahnya dibelakang Alphard Hitam yang
menghalangi jalan masuk ke Rumah Ify. Niatnya ingin meminjam buku gitar
klasik yang dimiliki Ify untuk referensi bermusiknya. Namun ketika
sampai digerbang, Cakka mendengar keributan dai dalam rumah. Dengan
sikap penuh kewaspadaan Cakka langsung menyembunyikan dirinya. Namun
begitu mendengar seretan langkah keluar, Cakka langsung buru-buru kearah
cagivanya dan langsung menjalankan kearah samping, bertingkah seperti
orang lewat. Helm fullface menutupi wajahnya dengan sempurna tanpa
menimbulkan kecurigaan. Karenanya setelah berhasil memaksa orang yang
diseret tadi masuk Alphard tersebut. Badan mobil langsung meninggalkan
jalan.
“Gabriel” Gumamnya kecil begitu menangkap dari sudut matanya, orang
yang dipaksa masuk mobil. Cakka langsung menstarter cagivanya dan mulai
mengikuti mobil Alphard dalam jarak aman dan tidak menucurigakan.
Namun ditengah jalan mendadak jalannya mobil terlihat tidak
terkendali, jalannya mulai oleng kekiri bahkan kanan, jalanan lawan
arah. Cakka langsung mengerem cagivanya, karena jika terjadi sesuatu
yang berbahaya, dia pasti bisa langsung menjadi korban. Sebuah mobil
pick-up langsung menyalip dari sebelah kanannya. Cakka mempunyai firasat
tidak baik untuk ini. Tidak lama terdengar bunyi benturan yang cukup
keras.
BRAKKKK..
Cakka langsung melajukan cagivanya kembali kearah suara. Sebuah
jaguar hitam terlihat ringsek menabrak pohon dipinggir jalan. Mobil pick
up yang menyalipnya sudah pergi menjauh, bahkan menyalip Alphard hitam
yang membawa Gabriel. Mobil Alphard tersebut bahkan sudah kembali
berjalan tenang seperti tidak terjadi apapun. Kini Cakka berada didua
pilihan.Menyelamatkan korban yang baru saja kecelakaan atau tetap
mengikuti Gabriel. Namun begitu melihat pintu mobil Jaguar terbuka,
Cakka dapat melihat sang pengemudi terlihat baik-baik saja yang terlihat
langsung mengecek bagian kiri mobil. Cakka tidak terlalu memperhatikan
sang pengemudi dikarenakan pikirannya terpecah menjadi 2 bagian, blm
lagi Alphard hitam yang semakin jauh dari pandangan. Tanpa pikir panjang
lagi, Cakka langsung menstarter cagivanya kembali untuk mengejar
Alphard hitam yang membawa Gabriel.
***
Cakka memarkirkan cagivanya tidak jauh dari gerbang rumah yang
dimasuki Alphard hitam yang diikutinya sedari tadi, matanya memandang
penuh waspada sambil menunggu suasana lebih tenang. Cakka menajamkan
pendengarannya, tidak lag terdengar suara gaduh seprti dirumah Ify. Ada
kemungkinan Gabriel mulai pasrah atau mungkin juga mereka mebungkam
Gabriel dengan membiusnya, mengingat kejadian mobil yang tidak
terkendali dan hampir membahayakan nyawa mereka semua. Dan sudah
dipastikan itu ulah Gabriel.
Mengingat kemungkinan terkahir membuat Cakka langsung tidak tenang.
Apa sebenarnya niat kelompok tadi menculik Gabriel? Siapa mereka? Cakka
tidak begitu mengenal Gabriel dengan baik. Murid pindahan yang menjadi
teman dekatnya namun bisa dibilang lebih pendiam daripada Rio dan Alvin.
Apa motif sampai mereka harus menyeret Gabriel bahkan tidak
mempedulikan orang lain yang celaka karena mereka?
Perlahan Cakka berjalan kearah gerbang, mengendap dengan sikap penuh
siaga. Ternyata tidak ada penjaga dekat Gerbang. Mungkin mereka
menurunkan kewaspadaan di perumahan sepi ini karena kedatangan sang Tuan
Rumah.
Karena didepan pintu rumah masih terlihat ramai. Cakka memutuskan
menyembunyikan diri disemak-semak yang tumbuh rimbun dihalaman bergaya
mediterania ini.
‘Mereka gak mungkin penculik. Apalagi dengan rumah mewah kayak gini.
Rumah siapa ini? Siapa Gabriel sebenarnya?’ Bathin Cakka. Cakka kembali
merunduk begitu ada orang yang sepertinya satpam gerbang melewatinya.
Cakka melihat kearah pintu rumah yang sudah terlihat sepi.
‘Aman’ Bathinnya yang langsung berjalan dengan agak membungkuk untuk
mendekati pintu rumah. Cakka memutar handle pintu dan mencoba
mendorongnya. ‘Gotcha!’ tidak terkunci, Cakka langsung meningkatkan
kewaspadaannya. Benar saja, begitu pintu sudah terbuka, langsung ada 5
orang berbadan lebih besar darinya menghadang.
“Ada tikus kecil rupanya” Ucap seseorang yang paling besar diantara mereka.
Cakka langsung menegapkan badan. Mata yang biasa penuh dengan
seringai jahil berubah tajam dan berbahaya. Kewaspadaannya kini
benar-benar meningkat drastis. Ini saatnya membuktikan diri jika ia
pantas menyandang jabatan sebagai Ketua Klub Karate di SMA Cagvairs.
“Gue Cuma nyari temen gue” Ucapnya dengan suara rendah namun penuh penekanan.
“Tidak diajari cara etika bertamu yang baik rupanya” Ucap salah satu dari 5 orang dihadapannya.
“Iya, makanya saya langsung masuk” Sahut Cakka dengan nekat langsung
menerobos 5 orang dihadapannya. Namun langsung sigap dihadang salah
satunya. Tanpa pikir panjang Cakka langsung menghantamkan bogemnya
kearah muka orang tadi. Dua orang yang masih bebas langsung bersiap
memegangi Cakka, dengan sigap pula Cakka langsung menyikut rusuk
keduanya. Lalu dengan gerakan memutar Cakka langsung mengarahkan
tendangan kearah 2 yang tersisa tepat diulu hatinya. Dengan gerakan yang
simple namun tetap terkena bagian vital cukup melumpuhkan 5 orang
lawannya. Dengan gerakan cepat Cakka langsung berlari kearah tangga
menuju atas karena mendengar keributan disana.
***
Cakka melihat Gabriel tengah beradu argument dengan seorang pria yang
tidak dikenalnya. Sepertinya kehadirannya juga tidak disadari kedua
orang ini.
“Papa merasa diinjak-injak? Kalo iya, Iel ucapkan selamat karena pada
masa berjayanya Papa saat ini orang yang pertama kali menginjak-injak
Papa adalah anak Papa sendiri. Iel” Ucap Gabriel tanpa rasa gentar.
Cakka melihat Pria itu bersiap melayangkan tangannya kearah Gabriel.
“Kamuu...”
“BERHENTIII!!”
Puncak kemarahan Tn. Damanik tertelan begitu saja saat ada suara yang
seakan mentitahnya untuk berhenti. Baik Tn. Damanik maupun Gabriel
sendiri sudah menoleh kearah sang pemilik suara.
“Cakka!!!” seru Gabriel tak percaya.
Cakka mulai berjalan mendekati Gabriel, dan Gabriel sendiri masih setangah tak percaya memandang Cakka.
“Yel” tegur Cakka sambil menepuk pundak Gabriel lalu mengalihkan pandangannya pada sosok Tn. Damanik.
“Gue tadi bermaksud kerumah Ify untuk minjem buku musik untuk gitar
klasik yang dia punya, tapi gue malah liat loe ditarik paksa masuk mobil
jadi gue ngikutin loe sampai sini dan memaksa masuk”
“PENGAWAL!” Panggil Tn. Damanik marah.
“udah gue bikin tepar dibawah” Sahut Cakka santai.
Rahang Tn. Damanik mengeras, tidak percaya bahwa semua pengawal kepercayaannya tunduk pada bocah yang tidak dikenalnya.
Bukannya mendengarkan, mendadak bayangan Ify, Rio dan Mobil mereka
yang menhantam pohon melintas dikepala Gabriel bagai potongan film yang
berputar cepat, membuatnya sedikit terhuyung sambil memegangi
kepalanya.
Sadar dengan keolengan tubuh Gabriel, Cakka langsung merangkulnya
untuk menopang berat badan Gabriel. “ Yel, loe kenapa?” Tanya Cakka
panik.
“Ify Kka...... Ify..... Rio.... mereka........ Kka tolong...” ucap Gabriel terbata.
Cakka menjadi bingung sendiri karena tidak mengerti maksud Gabriel. “Me.. mereka kenapa Yel?” Tanya Cakka ikut panik sendiri.
Tn. Damanik yang mendengar nama putrinya disebut menjadi terdiam sendiri, menunggu apa yang sebenarnya terjadi.
“Mobil mereka nabrak pohon Kka. Mobil tadi.... tikungan....” Kata-kata Gabriel begitu berantakan sambil menggoncang bahu Cakka.
Cakka berusaha menenangkan dirinya sendiri, mencerna setiap kata yang meluncur dari mulut Gabriel dan mengartikannya sendiri.
Sementara Tn. Damanik langsung mematung ditempatnya, langsung mengerti semua penjelasan Gabriel yang berantakan.
“Jangan bilang jaguar yang nabrak pohon tadi adalah mobil Rio” Ucap Cakka setelah memahami semua.
“Iya, sama Ify” hanya itu yang dapat Gabriel ucapkan.
“APAA???” Cakka kaget, sambil berusaha mengingat badan mobil sebelah
kiri ringsek berat dikarenakan menabrak pohon. “Kalo Ify didalemnya, ada
kemungkinan… ada kemungkinan..” Cakka mendadak kehilangan kata-kata.
Semua bayangan buruk memenuhi benaknya.
“Kenapa Kka” desak Gabriel.
“Gue tadi liat pengemudinya turun yel, tapi gue gak ngeh itu Rio
karena banyak kepulan asap. Kalo Rio yang nyetir, otomatis Ify ada
dikursi penumpang samping kirinya. Dan tadi gue sempet liat kalo badan
mobil sebelah kiri depan ringsek berat. Berarti ify…” Tanpa Cakka harus
melanjutkan kata-katanya Gabriel langsung memahami akhirnya. Gabriel
jatuh terduduk tanpa sanggahan Cakka. ‘Ini semua ulahnya, ini semua
ulahnya! Seandainya ia tadi lebih tenang’ Sesal Gabriel.
Sementara Tn. Damanik tercenung ditempatnya sendiri. Namun gengsi
yang tinggi masih mengalahkan rasa khawatir terhadap nasib anak
perempuan satusatunya. Hingga dia tetap bergeming tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
“Yel..” Panggil Cakka sambil menepuk pundak Gabriel. “Jangan salahin diri loe” Hibur Cakka sambil meremas pundaknya.
Gabriel mengangkat pandangannya. “Kita kesana sekarang Kka, waktu kita sedikit.” Ucap Gabriel yang langsung berdiri.
“Seperti janji Iel tadi. Iel akan kembali pada papa saat semuanya
selesai” Ucap Gabriel dengan suara rendah dan langsung berlari menuruni
diikuti Cakka.
***
“Yel” Panggil Cakka.
“Yel”
Gabriel masih tidak ambil peduli, hanya ify yang ada dipikirannya sekarang.
“Yel” Cakka langsung menarik pundak Gabriel yang tengah berjalan dengan langkah tergesa didepannya.
Sekarang mereka tengah menyusuri koridor rumah sakit yang pasti menjadi tempat dimana Ify dirawat.
“Apaan si Kka” Tanya Gabriel berusaha sabar.
“Gue gak ngerti” Sahut cakka.
“Please jangan sekarang” Ucap Gabriel sambil melanjutkan langkahnya.
“Kenapa? Apa yang sebenernya terjadi?” Kejar Cakka.
“Kka!!” Ucap Gabriel tegas yang langsung memutar tubuhnya. “Gue
bilang nanti, dan gue gak akan melanggar itu. Sekarang adek gue lagi
sekarat karena gue, gak mungkin gue bisa cerita-cerita sama loe dengan
santai tanpa tau keadaannya” Bentak Gabriel.
Cakka terdiam. “Adek loe?” Hanya dua kata yang keluar dari mulutnya.
“Iya, adek kembar gue, yang tadi adalah bokap gue” Sahut Gabriel yang terus berjalan.
Kali ini cakka tidak bertanya lagi. Hanya mengikuti kemana Gabriel melangkah.
“Dokter Evan” Suara Gabriel memecah keheningan mereka. Seorang pria
berjas putih yang dikenal Cakka sebagai Dokter yang menangani operasi
Shilla terlihat kaget dengan kedatangan Gabriel.
“Gabriel? Kata Deva…”
“Ify dimana?” Ucapan Gabriel memutus omongan Dokter Evan.
“Kamar biasa, sepertinya dia mencari kamu juga” Jawab Dokter Evan
Gabriel mengangguk dan langsung berlari keruangan yang dimaksud
Dokter Evan. Ruangan khusus pada saat Ify dirawat setelah operasi
transpalasi ginjalnya. Ketika pintu ruangan sudah terbingkai matanya,
Gabriel langsung mempercepat langkah dan membuka pintu.
“Gue disini Fy” Ucap Gabriel dengan nafas terengah.
Semua yang ada didalam ruangan langsung menoleh kearah pintu.
“Iel” / “Kak Iel”
“Cakka??” Sahut Alvin begitu melihat sosok dibelakang Gabriel. Cakka mengangguk.
Gabriel langsung menggelengkan kepalanya cepat. Memberi isyarat agar
tidak membicarakan sesuatu yang tejadi padanya dihadapan Ify. Semua
membungkam. Gabriel menyeret langkahnya kearah Ify.
“Gimana keadaan loe?” Tanya Gabriel lembut sambil membelai rambut Ify.
Ify mengernyit sedikit, rasa nyeri menderanya, dan Gabriel menangkap. Ya Tuhan.. seberapa parah keadaan adiknya sekarang?
“Maaf” Ucap Gabriel menyesal.
“Bukan salah elo kok” Ucap Ify lemah, meski bingung dengan ucapan Gabriel.
“Salah gue Fy” Ucap Gabriel sambil menundukkan kepalanya.
“Kalo emang loe salah, gue minta jangan salahin diri loe sendiri untuk dapat maaf dari gue” Sahut Ify sambil tersenyum.
Gabriel memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafas untuk melegakan paru-parunya dan mengangguk pelan.
“Malam ini Ify harus terbang ke Singapore untuk perawatan lebih lanjut. Loe dating disaat yang tepat Yel.” Jelas Alvin.
Gabriel menoleh kearah Alvin menuntut penjelasan lebih.
Alvin menggeleng lemah, tidak mampu menjelaskan apa yang tadi didengar dari mulut Dokter Tian dan Dokter Evan.
Ify menutup matanya melihat reaksi Alvin. Separah apa keadaannya?
Jika memang ini saat terakhir Ify hanya ingin bersama semuanya, tidak
disana yang hanya sendirian. Matanya terbuka, menatap satu persatu orang
yang terus didekatnya. Ingin berusaha menggapai meraka semua namun
keadaannya tidak memungkinkan. Secepat inikah?
***
TO BE CONTINUE ON PART 39 =))
Wahhaaahhaaahh *emaaptrisilkhilap.
Udah yaa utangnyaa :D
Teruntuk yang terkhusus Ibu Pelly , gue udah post TACI yee. Sooo??
Gue dapet Novel lu gratis yaa. Besok kuisnya gue tuangkan dalam bentuk
catatan aja ;;)
Nah buat RFM & ICL yang mau order kumpulan cerpen dari author RFM bisa order di @anascania & @MFabray_
Judul bukunya Listen to (My) Heart harganya sekitar Rp 70.000
Penulisnya adalah @anascania @niyaaarasyied @shasmawan @MFabray_ @emeurmp @nahrasyied @shiwi_NRG @Ieerrma_D @Shellysvtr_
Buat yang gak punya duit, bisa ikut kuisnya yang berhadiah buku
gratis. Cek Fav @anascania deh. Kuisnya gampang lho. Yuk diramaikann ;)
Sebelumnya, Happy #LOV3thRFM semuanyaaa. semoga wish wish kalian terkabul yaa ;)
Happy birthday juga buat pak @riostevadit . semoga cepet peka ya pak ~
Happy anniv buat twitter ibu @ifyalyssa juga, semoga makin rajin bales mention kita pada wkwkw
Balik ke topic ya, thanks yang udah setia sama cerbung ini. Mohon
kritik dan saran untuk kestabilan kelanjutan cerbung ini ;) ayo nih
mumpung saya lagi semangat nulis. :D.
Jangan lupa tinggalin jejak ya, jangan jadi pembaca gelap, maap gak ada system tag biar adil.
Sekali, thanks so much my readerrsss :* ({{{{{}}}}})
jangan lupa difollow yak blog ane nya :*
Much Love, @tri_susilowati