Gomenasai Anime Smiley trisillumination: Oktober 2013

Kamis, 24 Oktober 2013

That's All Cause Ify Part 38c & 38d

BAKEKOKKKKK!!!! (???)
Nih hadiah dari saya buat ulang tahun RFM ke 3! #LOV3thRFM
Mantep bener yah kalian ampe 3 tahun… trisil gaknyangkaa :”)
Yap setelah pengaretannya selama satu hari, dan ketidaktahanan saya dari didemo tiap detik. Akhirnya saya putusin ngebrojolin taci hari ini (?)
Okedehh yaa, enjoy mentemennkuuh :3
Maapin makin jelek dan typo bertebaran. Melafyuhhhh


***

Rio hanya mampu duduk tertunduk sambil menunggu Ify yang tengah ditangani para dokter. Silih berganti wanita berbalut seragam putih yang biasa dipanggil suster tersebut tampak bolak-balik keluar masuk ruang Unit Gawat Darurat dengan berbagai peralatan sambil menampakkan wajah tak ingin diganggu.

Rio sendiri juga tidak berniat mengeluarkan suara untuk sekadar bertanya bagaimana keadaan dalam UGD. Semua pikirannya entah sudah melayang kemana karena bercampur aduk menjadi satu. Rasa cemas dan bersalah yang paling mendominan mengisi kepalanya saat ini. Memikirkan hal itu ditambah membayangkan wajah gadis tadi sebelum matanya terpejam rapat benar-benar membuat dadanya sesak.

FLASHBACK ON

Rio sibuk menelepon ambulance, rasa khawatir menghilangkan seluruh kendali dirinya. Hingga justru bukan permintaan justru racauan yang keluar dari mulutnya. Dirasakan ada genggaman lemah ditangannya yang bebas tidak memegang handphone. Rio menatap pemilik tangan tersebut yang justru tersenyum begitu tenang. Seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti gadis itu tidak mengalami suatu apapun. Seperti....... seperti tidak ada luka yang tengah memenuhi tubuh gadis itu.

Rio langsung merasa sulit bernafas begitu menyadarinya. Bagaimana bisa gadis ini masih bisa tersenyum kepadanya disaat tersulit seperti ini? Rio bersumpah dalam hatinya. Jika ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Yang terjadi berikutnya adalah. Entah kekuatan dari mana, Rio langsung menjadi agak tenang melihat senyum dan tatapan teduh gadis itu. Hingga Rio langsung menarik nafas panjang mengisi paru-parunya. Dan perlahan dia mulai kembali berbicara dengan orang diujung telepon untuk segera mengirimkan pertolongan untuk gadis yang ada dipeluknya sekarang.

Rio menutup telepon genggamnya dan kembali memasukkannya disaku celana. Lalu perhatiannya kembali terfokus pada gadis yang menggenggam tangannya –sepertinya- dengan sisa kekuatan gadis itu. Rio harus membuat gadis itu tetap bangun dan berusaha bernafas walau susah payah agar tetap menjaga kestabilan gadis itu. Rio memandang Ify dengan jarak pandang hanya berkisar kurang lebih 20 cm. Sudah berapa lama ia tidak memandang gadis ini dengan jarak pandang yang begitu dekat? Berapa lama waktu yang telah mereka habiskan dengan tidak menggenggam tangan satu dengan yang lainnya. Berapa lama rindu yang mereka tanam dalam hati satu sama lain untuk tidak lagi dekat seperti ini?

Ify hanya memandang wajah Rio dalam diam. Seperti memuaskan egonya untuk memandang laki-laki itu dalam jarak dekat. Atau mungkin menghabiskan kesempatan kecil ini untuk melepaskan semua rasanya yang sudah ditahan selama ini? Ify tersenyum kecil mengingat seluruh kebodohannya selama ini. Dan kebodohan yang tidak akan mungkin bisa ditebusnya adalah melepas Rio. Namun dibalik semua itu Ify tidak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Keikhlasan atas apa yang sudah diperbuatnya selama ini telah membuatnya tidak ingin lagi tertawa atas kebodohannya. Ini titiknya. Ify lelah.

“Ada yang sakit?” Tanya Rio memecah keheningan diantara mereka sambil menyingkap poni Ify yang menghalangi tatapan gadis itu padanya.
Ify sedikit meringis ketika tangan Rio berhenti didahinya. Tangan Rio langsung berhenti mengusap dan memeriksa dahi Ify. Memang ada sedikit memar disana. Entah karena terkena dasbor mobil atau kaca mobil disampingnya tadi. Yang jelas efek benturan keras karena menabrak pohon tadi. Kembali Rio merasa bersalah. Bagaimana bisa gadis ini terluka begitu parah sementara dirinya baik-baik saja? Ingin rasanya saat ini dia bertukar tempat dengan gadis ini. Biar semua sakit yang dirasakan gadis ini biar saja dirasakannya.
“Jangan ngerasa bersalah” Ucap Ify memotong pikirannya Rio. “Kamu pikir aku akan mau kalo kita bertukar tempat?” Lanjut Ify seperti menebak isi kepala Rio.
Rio tidak menjawab. Hanya nampak sedikit berpikir.
“Hidup itu pilihan Fy. Dimana kita bisa memilih apa yang kita mau” Ucap Rio.
Ify menggeleng pelan. “Hidup itu fokus Yo. Fokus kepada orang sekitar, membahagiakan mereka sejauh kita bisa. Menyelamatkan mereka semampu kita dan membantu mereka sekuat kita” Ucap Ify.
“Hidup itu memilih agar kita bisa fokus Fy. Fokus pada pilihan kita. Dimana kita memilih membahagiakan orang disekitar kita dan fokus untuk tetap membahagiakan mereka sampai kapanpun. Begitupun dengan aku. Dengan kamu. Aku bisa memilih jika aku mau menggantikan kamu saat ini. Aku...”
“Udah terlambat Yo. Aku yang udah kayak gini. Kita gak bisa memutar waktu. Kalopun tadi harus kamu yang seperti aku saat ini. Aku akan memilih untuk fokus menyelamatkan kamu lebih dulu.” Potong Ify.
“Untuk kita Fy........”
“Kamu dan aku” Potong Ify pelan tapi tegas.
“Kamu berkata kayak gitu seakan kamu dan aku gak akan pernah menjadi kita” Dengus Rio.
Ify tertawa pelan, kali ini dengan mata terpejam, seperti sedang menahan sakit. Namun otot sekitar mulutnya yang melengkung keatas membuatnya tetap terlihat baik-baik saja. “Nyatanya begitukan?” Ucap Ify lirih. Sepertinya tawanya tadi telah menguras tenaganya.
Rio tidak mempedulikan pertanyaan kecil yang diajukan gadis ini padanya. “Denger aku Fy, untuk kita bukan terlambat. Kamu yang tidak membiarkan aku memilih. Kamu hanya membuat aku langsung fokus. Dan kamu salah. Karena tidak memilih, aku jadi gabisa fokus sampai saat ini” Ucap Rio.
Ify terdiam. Rio mengangkat wajah Ify agar menatap kearahnya lagi.
“Satu-satunya pilihan yang membuat aku fokus itu Cuma kamu Fy. Ify. Alyssa Saufika Umari” Ucap Rio pelan namun begitu tegas.
Ify tidak membalas ucapan Rio. Pikirannya sudah bercampur aduk menjadi satu. Belum lagi rasa sakit disekujur tubuhnya tidak lagi membuatnya konsentrasi terhadap pikirannya sendiri.
Rio membelai lembut pipi Ify. Mengeluarkan Ify dari keasyikannya pada pikirannya sendiri.
“Dari luar semua memang terganti. Dalam sini...........” Rio menunjuk dadanya. “Thats all everything about you”
Ify menggeleng pelan. “Gak ada yang terganti” lirihya. “Kalo kamu melihatnya dengan mata hati” Lanjutnya lagi. “Aku pun sama. Gak ada apapun yang terganti. Semuanya masih sama....... Tentang kamu” Ucap Ify sambil menatap dalam.
Rio melepas tangan Ify yang sedari tadi digenggamnya. Lalu mendengus pelan. Detik berikutnya pandangannya kembali beralih pada Ify yang masih memandangnya dalam. “Masih berani kamu bicara begitu sementara kamu gak pernah mengizinkan aku tetap disisi kamu?” Tanya Rio.
Ify menggeleng pelan. “Bukan mulut aku yang bicara sekarang, tapi hati aku” Jawabnya tenang.
Rio menggeleng tak percaya. “Gak cape kamu bilang sayang tapi akhirnya tetap ngelepas aku?” Tanya Rio lagi.
Ify kembali menggeleng. “Engga, selama aku masih sanggup untuk bicara dan kamu masih tetap mendengar” Jawabnya lagi.
Tak perlu menunggu lama lagi. Rio langsung menarik gadis itu dalam pelukkannya. Dan berjanji pada hatinya tidak akan melepas gadis itu lagi apapun yang akan terjadi nanti. Namun, baru selang beberapa detik Rio kembali melonggarkan pelukkannya. Lalu menatap gadis itu tepat pada manik matanya. “Bisa bunuh aku? Aku cape berkali-kali marah sama kamu tapi tetap gak bisa membenci kamu” Ucapnya.
Ify hanya menanggapi dengan senyum lemah. Percakapan dengan Rio benar-benar menguras habis tenaganya. Ify hanya mampu berkata pelan dan begitu lemah. “Ternyata bukan kamu yang mati dalam pelukan aku. Tapi aku yang mati dalam pelukan kamu” Ify mengingat sepenggal lagu lastchild yang mereka nyanyikan tadi. Sebelum akhirnya matanya terpejam dengan senyum yang begitu damai.

Kuakan tua dan mati dalam pelukmu...
Untukmu seluruh nafas ini...


FLASHBACK OFF

Rio langsung menegakkan diri begitu menyadari dadanya begitu terasa sesak. Mengingat dengan begitu rinci percakapan terakhirnya dengan Ify benar-benar seperti menyebabkan oksigen disekitarnya menipis.

Rio melirik Blackberry yang ada digenggamannya saat ini.

“Ashilla”
Nafas Rio kembali terkecat mengingat bagaimana nada yang diucapkan gadis itu menyebut password BB nya saat ini. Lirih di kondisinya yang begitu kritis. Namun masih tetap diiringi dengan senyum teduh yang begitu tenang.

Rio menatap BB yang dimainkan dalam genggamannya saat ini. ‘Memang harusnya tidak diganti, bahkan takkan pernah terganti’ Bathin Rio sambil kembali mengotak atik BB nya dan mengubah setting pada lock telepon genggam yang setia manjadi alat komunikasinya tersebut kembali ke awal.

“Dimana kakak gue sekarang?” Sebuah geratakan langsung membuyarkan seluruh pikiran kalut Rio. Yang Rio rasakan adalah. Tubuh belakangnya sudah menghantam dinding dengan kerah kemeja yang sudah bernoda darah disana sini agak tertarik keatas dan terakhir ada bunyi kecil seperti patahan yang sudah pasti berasal dari BB nya yang terlempar dari genggam tangannya karena agresi seseorang barusan.

Namun untuk yang terakhir Rio tidak begitu ambil pusing. Kini seluruh perhatiannya sudah mengarah pada orang yang menggertaknya barusan. Deva.

Melihat tatapan Deva yang begitu berapi-api dan penuh kemarahan padanya Rio hanya bisa menunduk diam. Kalaupun dia harus menerima segala pukulan dari tangan adik gadis yang telah dicelakainya, Rio lebih memilih hal itu daripada harus terbelenggu sesak karena rasa bersalah. Apalagi jika sampai ada kenyataan terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu. Dibunuhpun sepertinya Rio rela untuk menghilangkan rasa sesak atas semuanya.

Melihat reaksi Rio yang hanya diam atas gertakkannya. Deva kembali pada kekesalannya yang sudah memuncak. “Dimana kakak gue? Gimana keadaan dia?” Tanya Deva lagi. Kali ini dengan nada tegas dan penekanan dengan emosi yang sudah mendidih dikepalanya.

“Dev udah Dev. Ini rumah sakit. Ruang UGD pula. Mungkin Kak Ify lagi ditangani didalem” Ucap Ray yang dibelakang Deva menenangkan sambil berusaha melepas cengkraman Deva pada kemeja Rio.
Deva menepis tangan Ray. “Bukan kakak loe Ray yang didalem, tapi kakak gue. Loe gak tau perasaan gue gimana” Bentak Deva.
“Loe lupa kak Ify udah gue anggep sebagai kakak gue? Please, jangan buat keadaan semakin runyam” Jelas Ray sabar.
“Berisik loe” Kecam Deva pada Ray. Pandangan Deva kembali fokus ke Rio. “Kalo loe kesel sama kak Iel karena kejadian beberapa hari lalu. Bukan kayak gini caranya. Bukan kak Ify yang harus jadi korbannya!!” Maki Deva.
Rio hanya memandang Deva lemah. Tenaganya sudah habis untuk membalas kata-kata Deva karena beban pikirannya. “Loe tau?” Rio hanya mampu meluncurkan kata-kata tersebut dari mulutnya.
“Semuanya. Gue tau karena gak sengaja ngeliat semuanya” Tegas Deva sambil mendorong Rio kasar dengan melepas tangannya dikemeja Rio.
Dengan kondisi tubuh yang sudah tidak bekerjasama dengan otaknya. Rio hanya pasrah begitu punggungnya kembali menghantam dinding rumah sakit.

“Rio!!” Sebuah suara barusan terpaksa membuat Rio kembali mengangkat wajahnya. Ternyata Alvin dan Sivia yang tengah berlari dengan wajah cemas kearahnya.
“Loe apain lagi sohib gue Yo?” Ternyata, meski nafas Sivia yang panjang pendek, gadis itu masih punya tenaga untuk siap mengamuk pada Rio.
“Yo loe gapapa?” Tanya Alvin yang hampir berbarengan dengan ucapan sarkatis Sivia barusan. Tatapan Alvin  susah menelusuri kemeja biru Rio yang sudah penuh bercak gelap yang hampir mengering. Jeans skinny putihnya jauh lebih parah lagi. Seperti tidak terlihat seperti celana yang tadi telah menunjang penampilannya. Tapi Rio nampak tidak peduli. Rasa cemas sudah membuatnya lupa akan semua termasuk keadaannya sendiri.
Rio yang menyadari tatapan Alvin begitu rinci melihatnya membuat Rio menebak sendiri apa yang akan Alvin tanyakan selanjutnya. “Gak ada setetes darahpun dari tubuh gue yang berbekas dicelana dan kemeja gue”
Ucapan Rio sukses membuat melongo orang disekitarnya.
“Itu.. itu semua darah Ify” Tanya Sivia terbata, shoocknya belum hilang, tapi dia harus memastikannya.
Rio mengangguk. Detik berikutnya Rio sudah kembali dalam cengkeraman Deva. “Shit! Kakak gue kenapa sampai darahnya kayak gini?” Bentak Deva lagi.
Alvin langsung buru-buru memisahkan antara Deva dan Rio dibantu oleh Ray. Ray mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik Deva menjauh dari Rio. Sementara Alvin membantu Rio berdiri dan mendudukannya di kursi ruang tunggu lagi. Setelah itu, Alvin kembali menghampiri Deva dan Ray yang duduk tidak jauh dari Rio.
“Gak ada waktu lagi Dev. Loe segera hubungi Dokter Tian dan Evan. Mereka lebih mengerti keadaan Ify saat ini. Dan loe harus hubungi Tante Linda dan jelaskan semuanya.” Ucap Alvin.
Deva tidak membantah. Ucapan Alvin benar. Urusan Rio biarlah jika nanti semua sudah beres. Yang penting sekarang adalah nyawa kakaknya lebih dahulu. Tanpa membutuhkan waktu lama lagi Deva dan Ray langsung berjalan meninggalkan Ruang UGD dan masuk lift dekat Ruang Receiptionis untuk ke ruang kerja dokter Tian.

Sementara Rio hanya memandangan percakapan Alvin dan Deva juga mungkin Ray dalam diam. Hanya sedikit yang ditangkapnya dalam pembicaraan tersebut. Dengan jarak diluar jangkauan pendengarannya. Juga kondisi yang tidak membuatnya untuk mendengar lebih baik membuat Rio tetap tidak mengerti apa-apa.

“Setelah ini apalagi Yo...” Suara pelan dan sedikit bergetar menyapa telinga Rio. Ternyata dari Sivia yang ada dihadapannya. Rio sudah pasrah. Dia benar-benar sudah tidak mempunyai tenaga lagi walaupun hanya menghadapi Sivia. Bukan hanya, Sivia adalah teman terbaik Ify yang masih ada tetap disamping gadis itu apapun keadaannya. Bahkan disaat kubu mereka terpecahpun gadis itu tetap disamping Ify. Wajar jika saat ini tatapan Sivia sudah bercampur antara ingin memukul bahkan sampai membunuhnya.

“Belum cukup ya kemarin loe nyakitin hatinya? Sekarang loe masih nyakitin fisiknya. Loe punya hati gak sih?” Desis Sivia tajam.

Rio menunduk dalam, lalu melempar pandangannya kearah pintu ruang unit gawat darurat. Sepertinya dia sudah menyakiti gadis dalam ruangan tersebut itu lebih dari apa yang disadarinya.

“Kalo loe benci sama Ify gak gini caranya Yo” Bentak Sivia sambil mengguncang tubuh Rio. Air mata yang ditahannya tadi sudah tumpah begitu saja mengiringi seluruh emosinya.
Rio hanya diam. Begini lebih baik. Jika semua orang mengamuk padanya itu bisa melepas semua penyesalan yang ditahannya saat ini Rio akan membiarkannya.
“Udah ya Vi udahh” Suara lembut Alvin sekaligus melepas tangan Sivia yang tadi mengguncang tubuh Rio terdengar dalam jarak dekat.
“Apa yang dia lakuin kemaren masih belum nyakitin Ify Vin? Apa belum cukup yang kemarin? Ify gak salah. Ify Cuma... Ify Cuma..”
“Ssstt” Alvin menghentikan racauan Sivia dengan menenangkan Sivia dalam pelukannya. Alvin membelai dengan sayang rambut gadis itu untuk membuatnya tenang sejenak. “Berhenti ya Vi. Ify Cuma butuh doa kamu sekarang. Amarah kamu gak akan ngebantu dia saat ini” Bujuk Alvin.
Sivia hanya mengangguk tanpa suara dalam pelukan Alvin.
Setelah Sivia agak tenang Alvin membantunya untuk duduk tak jauh dari Rio, dengan dirinya sendiri juga tetap disamping Sivia dan merangkul gadis itu. Dan mereka bersama-sama menunggu apa yang sedang terjadi dibalik pintu ruang unit gawat darurat tersebut.

***

Gabriel baru saja terbangun dari tidurnya. Tepatnya baru tersadar dari pengaruh klorofoam yang tadi sempat menghentikan semua tindakan dan kerja otaknya. Gabriel masih berusaha beradaptasi dengan cahaya yang begitu remang dalam ruangan tempatnya tidur dan tengah menebak-nebak kira-kira dimana ia saat ini.

Setelah benar-benar sadar, penglihatan Gabriel mulai terbiasa dengan cahaya temaram yang ternyata berasal dari lampu tidur disamping kasur yang tadi ditidurinya. Gabriel memandang sekelilingnya, begitu familier. Ternyata dia berada dikamarnya sendiri. Kamar yang ada dirumah Papanya yang dulu sempat ditinggalinya sebelum kabur kerumah Ify. Begitu mengerti posisinya Gabriel langsung melangkah untuk menyalakan saklar lampu dikamarnya agar cahayanya menjadi lebih terang.

Gabriel jatuh terduduk dipinggiran tempat tidurnya. Berusaha mengingat apa yang telah terjadi padanya sebelum dia akhirnya tertidur karena biusan. Bagaikan film yang berputar dipercepat semua ingatan tentang apa yang sebelumnya terjadi sudah berputar dikepalanya.

Pembicaraannya dengan Rio saat menjemput Ify, Pembicaraannya dengan Deva, kedatangan Papanya, Langkahnya yang diseret oleh ajudan Papanya menuju Alphard yang akhirnya membawa Gabriel ke kamar ini, Kecelakaan itu.... Ya!! Kecelakaan itu.

Bagai tersengat listrik Gabriel langsung bangun dari duduknya. Gabriel mengacak rambutnya frustasi. Kecelakaan itu. Kecelakaan itu yang kini langsung menjadi fokus pikiran Gabriel sepenuhnya. Kecelakaan yang disebabkan oleh tingkahnya, kecelakaan yang mengorbankan... mengorbankan.....

CKLEK

“Sudah bangun Tuan Muda?”

Suara pintu terbuka disusul sapaan yang dulu begitu familier ditelinganya memutuskan seluruh bayangan Gabriel akan pikirannya. Gabriel hanya menoleh tanpa memberikan jawaban apapun.

Mungkin mengerti akan sifat tuannya atau mungkin memang mengerti keadaan Gabriel saat ini. Suara yang ternyata berasal dari pengurus rumah tadi langsung mengalihkan pertanyaannya.

“Makan malam sudah siap” Lanjut pengurus rumah tersebut lebih ke pernyataan daripada melanjut pertanyaannya tadi.

Gabriel hanya tetap diam dan kembali berusaha memusatkan pikirannya terhadap apa yang dipikirkannya tadi. Tapi inti dari semua itu, dia harus pergi. Pergi dari rumah ini, secepat dia bisa.

Sadar jika tindakannya tidak akan direspon, pengurus rumah Gabriel langsung pamit sambil menutup pintu kamar Gabriel.

Setelah pintu ditutup Gabriel langsung merogoh sakunya, mencari alat komunikasi yang setidaknya bisa membantunya keluar dari rumah ini. Namun sia-sia ketika dia teringat ternyata BB miliknya justru dia taruh di sofa tempatnya mengobrol dengan Deva sebelum akhirnya Gabriel dibawa paksa kerumahnya.
“Shit” Umpat Gabriel. Lalu pandangannya jatuh kepada Mac miliknya yang sudah ditinggal selama beberapa bulan. Tanpa pikir panjang Gabriel langsung menghampiri tempat Mac nya berada lalu menyalakannya dan menghubungkan dengan internet.

Namun begitu Internet sudah terhubung Gabriel langsung terpaku. Siapa yang akan dihubunginya? Deva? Pasti dia sudah mendengar kabar kecelakaan tersebut. Kalau tidak.. kalau tidak... Gabriel langsung menggeleng keras. Berusaha menghindarkan bayangan buruk.
‘Deva pasti sibuk kalo saat ini dirumah sakit’ Batin Gabriel. Lalu Gabriel mengalihkannya pada teman yang lain. Alvin, Sivia? Gabriel kembali menggeleng. Mana mungkin merepotkan mereka lebih jauh. Tidak ada jalan lain. Dia harus keluar dari rumah ini sendiri seperti waktu itu. Gabriel akan meminta bantuan tukang kebunnya yang dulu pernah membantunya dalam penitipan barang saat dia keluar dari rumah ini bersamaan dengan Shilla yang masuk rumah sakit.

Ah, gadis itu ya. Ingin rasanya Gabriel menumpahkan seluruh kesalahan pada gadis tersebut atas semua yang terjadi saat ini. Sayangnya justru awalnya bukan karena gadis itu, melainkan karena dia sendiri. Seandainya tidak ada sandiwara ini pasti semua akan tetap baik-baik saja. Walaupun Gabriel tidak menjamin apa Ify akan tetap mempertahankan ginjalnya saat itu. Paling tidak kecelakaan tadi sore karena dirinya tidak pernah terjadi.

Gabriel kembali men-shut down Mac nya. Lalu kemudian berlari kearah pintu ingin mencari jalan keluar lain. Namun tepat saat tangannya akan menyentuh handle pintu kamar, disaat itu pula kamarnya sudah terbuka.

“Bermaksud kabur Yel?” Tanya suara berat namun sarat dengan ketenangan dari seseorang yang membuka pintu kamarnya.
Langkah Gabriel langsung terhenti. Sekuat tenaga Gabriel berusaha untuk tidak menumpahkan kemarahannya sekarang. Mengetahui keadaan Ify sudah jauh lebih penting dari segalanya.
“Aku mau pergi sebentar Pa. Aku sama sekali gak bermaksud kabur, begitu urusanku selesai aku akan kembali kesini dan mengikuti kemauan Papa.” Ucap Gabriel penuh penekanan disetiap perkataannya.
Tn. Damanik tersenyum pengertian namun detik berikutnya senyum yang awalnya terlihat tulus berubah menjadi seringai sinis yang penuh kebencian.
“Ada apa Yel? Bermaksud kembali kerumah itu? Atau menolong membawa kerumah sakit anak dari wanita itu?” Tanya Tn. Damanik meremehkan.
Mendengar tidak adanya itikad baik dari Papanya begitu membahas Bundanya, emosi yang baru saja ditahan langsung mencuat begitu saja.
“Maksud Papa apasih? Anak dari wanita mana? Itu Bunda Iel Pa. Deva adik Iel, sama kayak Ify kembaran Iel. Aku coba untuk pergi atas izin Papa secara baik-baik. Tapi apa tanggapan Papa? Sekarang juga biarkan Iel pergi menyelesaikan semua dan Iel janji akan kembali kesini dan mengikuti semua keinginan Papa” Tegas Gabriel.
“Bisa papa percaya omongan kamu?” tanya Tn. Damanik tenang.
“Tentu aja” sahut Gabriel cepat.
“Berapa kali kamu sudah melanggar omongan kamu sebelum ini?” Desis Tn. Damanik langsung.
“Pa, Iel udah gede, Iel tau apa yang Iel lakuin. Seharusnya Papa sebagai orang tua lebih berpikir dan mengerti tentang apa yang udah Papa lakukan.”
“Berani kamu Yel mendikte Papa macam itu?” Bentak Tn. Damanik.
“Iya aku berani!” Tantang Gabriel. “Aku ulang. Iel udah gede dan Iel tau apa yang Iel lakuin” Tegas Gabriel.
“Dan kamu merasa sudah lebih hebat dari Papa? Merasa tau segala hal lebih dari yang Papa tau?” Pojok Tn. Damanik.
“Mungkin Iel jauh dibawah Papa soal kehebatan terutama soal kekuasaan” Sindir Gabriel. “Tapi setidaknya Iel yakin yang Iel lakukan adalah benar” Ucap Gabriel tanpa ketakutan sedikitpun.
“Dan hanya berdasarkan keyakinan kamu itu kamu mau menginjak-injak Papa?” Masih Tn. Damanik dengan nada tingginya.
“Papa merasa diinjak-injak? Kalo iya, Iel ucapkan selamat karena pada masa berjayanya Papa saat ini orang yang pertama kali menginjak-injak Papa adalah anak Papa sendiri. Iel” Ucap Gabriel tanpa rasa gentar.
“Kamuu...”
“BERHENTIII!!”
Puncak kemarahan Tn. Damanik tertelan begitu saja saat ada suara yang seakan mentitahnya untuk berhenti. Baik Tn. Damanik maupun Gabriel sendiri sudah menoleh kearah sang pemilik suara.
“Cakka!!!” seru Gabriel tak percaya.
Orang yang dipanggil tadi mulai berjalan mendekati Gabriel, dan Gabriel sendiri masih setangah tak percaya memandang Cakka.
“Yel” tegur Cakka sambil menepuk pundak Gabriel lalu mengalihkan pandangannya pada sosok Tn. Damanik.
“Gue tadi bermaksud kerumah Ify untuk minjem buku musik untuk gitar klasik yang dia punya, tapi gue malah liat loe ditarik paksa masuk mobil jadi gue ngikutin loe sampai sini dan memaksa masuk”
Bukannya mendengarkan, mendadak bayangan Ify, Rio dan Mobil mereka yang menhantam pohon  melintas dikepala Gabriel bagai potongan film yang berputar cepat, membuatnya sedikit terhuyung sambil memegangi kepalanya.
Sadar dengan keolengan tubuh Gabriel, Cakka langsung merangkulnya untuk menopang berat badan Gabriel. “ Yel, loe kenapa?” Tanya Cakka panik.
“Ify Kka...... Ify..... Rio.... mereka........ Kka tolong...” ucap Gabriel terbata.
Cakka menjadi bingung sendiri karena tidak mengerti maksud Gabriel. “Me.. mereka kenapa Yel?” Tanya Cakka ikut panik sendiri.
Tn. Damanik yang mendengar nama putrinya disebut menjadi terdiam sendiri, menunggu apa yang sebenarnya terjadi.
“Mobil mereka nabrak pohon Kka. Mobil tadi.... tikungan....” Kata-kata Gabriel begitu berantakan sambil menggoncang bahu Cakka.
Cakka berusaha menenangkan dirinya sendiri, mencerna setiap kata yang meluncur dari mulut Gabriel dan mengartikannya sendiri.
Sementara Tn. Damanik langsung mematung ditempatnya, langsung mengerti semua penjelasan Gabriel yang berantakan.

***

Rio meminggirkan motor yang dikendarainya dekat tepi danau. Dengan kesal dia menggebrak stang kawasaki ninja milik Ray yang dipinjamnya. Apa yang dilakukannya saat ini? Kenapa dia harus terburu-buru hanya karena pesan-pesan singkat yang masuk ke Handphone nya? Kenapa juga dia harus menuntaskan egonya malam ini untuk menyelesaikan semuanya? Sedangkan ada orang yang kini terbaring tidak berdaya karena perbuatannya sendiri.

Dimana ketegasannya saat ini? Ketegasan sebagai pemimpin, bukan hanya dikelas sebagai ketua kelas, tapi juga sebagai ketua OSIS disekolahnya. Dimana ketegasan hati miliknya yang jelas-jelas ada dibawah kekuasaan dirinya sendiri?

Tidak. Hatinya dibawah kekuasaan orang lain. Ify. Orang yang kini terbaring karena perbuatannya sendiri yang memiliki kuasa dan kendali atas hatinya kemarin sampai dengan sekarang. Atau mungkin, selamanya.

Lalu? Kenapa dia tidak menetap disana. Menunggui seseorang pemimpin hatinya sampai tersadar?

Rio menarik sebuah Blackberry dari saku celananya yang sudah berganti jeans hitam yang dibawakan Ray untuknya. Setelah menginput password baru –atau lama karena sebelumnya pernah tergantikan. Rio menghela nafas berat, kembali menyesali segala tindakannya yang telah lalu.

Battery Blackberrynya sudah hampir low, tapi Rio sudah tidak begitu ambil pusing. Digesernya trackpad tadi ke arah pesan masuk via BBM yang mau tidak mau membuatnya bergerak dari tempat gadis yang begitu sangat disayanginya.

Ashilla | Mr. R
Kamu kemana sih? Kenapa gak ada kabar :”(

Ashilla : sayang, gimana performnya tadi?
Ashilla : yo, lagi apa? Jangan lupa makan ya sayang :)
Ashilla : yo, kenapa gak di read sih :(((((
Ashilla : acara udah selesai belum? Kamu udh pulang blm?
Ashilla : sayanggggggg
Ashilla : Riooooooooo :( :( :(
Ashilla : reply sekali aja deh, biar aku bisa makan dan minum obat
Ashilla : Aku gk tenang banget ini huhu :(
Ashilla : kamu lg apa sih sama Ify? Lupa sama aku? :”(
Ashilla : angkat telefon aku yooo
Ashilla : aku tau yo ify sahabat kamu. Tp bisakan luangin waktu semenit aja buat read dan reply BBM aku sebagai PACAR kamu? :”)
Ashilla : yaudah kalo gak mau read atas reply gpp, aku gak usah makan dan minum obat sekalian, percuma, gak ada yang peduli ini, bye!

Bunyi sms masuk mengarahkan jempolnya untuk mengarahkan kursornya ke inbox message. Terlihat pesan yang tadi sudah dibacanya.

From : Nyokap Shilla
Message : Yo, kamu dimana? Bisa kesini gak? Shilla beneran gak mau makan dan minum obat. Tante cemas yo. Tante mohon, bantu tante lagi kali ini..

Inilah pesan yang membuat Rio langsung memacu Kawasaki ninja milik Ray sekaligus berharap benar-benar ada penyelesaian malam ini. Sudah cukup, Rio tidak ingin menyakiti siapapun lagi.

Rio mengarahkan trackpadnya pada pesan yang baru masuk yang belum dibacanya tadi.
From : Alvin
Message : Yo lu dimana? Ify udah boleh dikunjungin. Tapi masih tetep di ICU. 

Rio bermaksud menekan tombol reply, tapi peringatan battery low yang dari tadi sudah berkali-kali muncul di screennya, sudah tidak memiliki daya lagi untuk membiarkan alat komunikasi itu tetap hidup, dan layarpun menjadi hitam.

“Damn it” umpatnya, langsung menjejalkan kembali blackberry miliknya ke saku jeansnya.
Tanpa berpikir lagi, Rio langsung memacu kawasaki ninja milik Ray menuju tempat yang kini ada dipikirannya.

***

Alvin dan Sivia memasuki ruang ICU setelah bergantian dengan Deva dan Ray. Sudah ada Dokter Tian dan Dokter Evan yang menangani Ify dari awal ketika masih di Gawat Darurat. Berbagai selang sudah menempel disana-sini tubuh Ify. Dan beberapa kain putih dengan bercak merah agak kecoklatan terlihat membebat kepalanya dan beberapa bagian lengannya. Alvin hanya mampu menatap miris, sedangkan Sivia langsung menumpahkan airmatanya kembali seakan mampu merasakan rasa sakit yang sedang dirasakan sahabatnya.
“Gimana keadaannya sekarang Dok?” Tanya Alvin sambil memandang Dokter Tian dan Dokter Evan bergantian.
Sang Dokter hanya dapat saling pandang, dan menggedikkan kepalanya kearah pintu. Alvin mengerti.
“Vi, kamu jagain Ify disini ya. Jangan nangis, terus kasih Ify kekuatan untuk bertahan. Cuma kamu sahabatnya dia yang dia punya disini” Bisik Alvin sambil setengah memeluk Sivia. Sivia mengangguk kecil.
“Tolong ya sayang” Ucap Alvin sambil mengacak puncak kepala Sivia, lalu melangkahkan kakiknya keluar mengikuti Dokter Tian dan Dokter Evan yang sudah mendahuluinya.

Sepeninggal Alvin. Sivia kembali menatap Ify, matanya kembali memanas. Sivia menggeleng kasar dan memejamkannya matanya kuat-kuat. Dia harus kuat sekarang, sahabatnya membutuhkannya, tidak mungkin ia akan menjadi sandaran kalo dia juga lemah. Sivia mengangguk memantapkan hatinya.

“Ify....” Panggil Sivia pelan.
Tak ada reaksi apapun dari Ify. Mata Sivia sudah kembali memanas.
“Ify...” Panggil Sivia lagi sambil mengenggam tangan Ify yang masih belum ada reaksi.
Sivia menahan isaknya.
“Ify, bangun dong! Loe tidur mulu deh” Ucap Sivia dengan suara yang dibuat-buat merengut.
Tetap tidak ada reaksi dari Ify.
Anak sungai kecil sudah mengalir dipipi chubby Sivia.
“Ini Fy? Ini yang namanya sahabat? Bahkan loe sama sekali gak genggam balik tangan gue sekedar menyalurkan rasa sakit yang loe rasa untuk gue rasakan juga.” Ucap Sivia, sudah tidak peduli Ify mendengarnya atau tidak.
“Kita sahabatkan? Nangis sama-sama. Seneng sama-sana. Dan Sakitpun juga sama-sama Fy” Ucap Sivia yang sudah mulai terisak.
Ify masih tetap bergeming.

Kau ada dikala kusuka, dikala ku duka..
Setiap tangisan dan juga tertawa..
Kau ada dikala kuperlu, setia menemaniku..
Pegang erat tanganku bila aku jatuh..

Sivia bersenandung pelan. “Loe gak mau nyanyi bareng gue Fy?” Tanya Sivia lirih, melihat sama sekali tak ada reaksi dari Ify.

Kaulah yang selalu, selalu menemaniku..
Mendengar kisah pahit manis hidupku..
Kaulah yang disitu setia menungguku..
Kaulah yang satu menjadi sahabatku..

Kutahu kukan selalu ada, ada dirimu..
Dan kuharap kau juga rasa begitu..

Kaulah yang selalu, selalu menemaniku..
Mendengar kisah pahit manis hidupku..
Kaulah yang disitu setia menungguku..
Kaulah yang satu menjadi sahabatku..

Sahabatku..

Sivia menenggelamkan wajahnya dikedua telapak tangannya, sudah tak sanggup lagi menahan isak yang dari tadi dipendamnya. Tanpa menyadari jika ada sungai kecil yang mengalir dipipi tirus itu.

***

“Rio!” Pekik Shilla begitu membuka pintu rumahnya.
Rio hanya bergeming menatap Shilla, bertekat menyelesaikan semuanya.
Sementara Obiet yang tengah menonton tv langsung melesat kedepan begitu mendengar pekikkan Shilla.
“Kak Rio! Loe gak papa? Gimana Kak Ify?” Tanya Obiet bertubi.
Perhatian Rio teralih sesaat, nama itu lagi, dadanya betul-betul terasa nyeri saat mendengar nama itu. Bagaimana keadaan Ify? Saat ini Rio pun tak tau.
“Rio” Panggil Shilla berusaha mengambil perhatian Rio lagi.
“Rio aku minta maaf, aku tadi betul-betul gak tau soal kecelakaan yang nimpa kamu sama Ify. Aku.. Aku.. Kamu gak papa kan?” Tanya Shilla cemas sambil meraba kedua lengan Rio.
“Kak Ify gimana kak?” Sambar Obiet, merasa keadaan Rio tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Rio sendiri masih bingung menjawabnya.
“Kak jawab dong, BBM gue gak dibales-bales lagi sama Deva ataupun Ray” Tanya Obiet tak sabar.
“Rio kamu gak papa kan?” Tanya Shilla lagi.
“Gue gak papa Shill” Jawab Rio singkat.
“Kak” Sahut Obiet.
“Gue juga gak tau Biet” Jawab Rio lirih.
Obiet membuang nafas kasar. Dan langsung berbalik masuk kedalam rumahnya lalu dalam waktu singkat sudah kembali keluar dengan balutan sweater hitamnya sambil mengenggam sebuah kunci lalu berjalan cepat kearah ninja hitam miliknya.
“Mau kemana Biet?” Teriak Shilla.
“Emang harus ada pertanyaan disaat begini?” Balas Obiet sambil melenggang pergi.
Rio terpaku. Tanpa berpikir panjangpun Obiet bisa langsung bertindak secara cepat. Lalu kenapa reaksi tubuhnya berbeda?
“Masuk dulu Yo” Suara lembut Shilla memecahkan keheningan.
“Tapi gue mau langsung...”
“Percaya atau gak, keadaan kamu sekarang kacau banget Yo. Kamu harus tenang dulu, setelah itu kita baru balik kerumah sakit sama-sama” Potong Shilla sambil tersenyum manis dan mengusap punggung Rio.
Rio menurut. Apalagi memang yang harus dilakukannya saat ini?
Shilla membimbingnya masuk kedalam rumah. Dirinya sadar tidak ada cara untuk menahan Rio. Namun tidak ada cara lain juga membuat dirinya sendiri tidak sakit akibat kenyataan jika Rio masih lebih mementingkan Ify. Sampai saat ini, semua yang dilakukannya tidak membuahkan hasil apa-apa. Shilla mungkin bisa berstatus memiliki Rio, tapi kuasanya tidak sampai kesana.
Setelah Rio duduk diatas sofa ruang tamunya. Shilla kembali beranjak untuk mengambilkan minum.

Rio menyenderkan tubuhnya pada sofa dan mengusap wajahnya kasar, mulai memikirkan semuanya satu persatu dengan lebih detail. Tapi saat ini kecerdasan yang biasanya dapat diandalkan tidak dapat menemukan sesuatu selain kegelapan. Rio tidak mampu berpikir.

“Minum dulu Yo” Ucapan Shilla membuyarkan semua pikiran yang dari tadi menggelapkan otaknya. Rio menurut.

Shilla memperhatikan Rio yang sedang minum minuman yang disuguhkannya.

“Makasih” Ucap Rio sambil menoleh kearah Shilla, pikirannya sudah lebih rileks sekarang.

“My pleasure” Balas shilla sungguh-sungguh tak lupa dengan senyum manisnya.

Rio membungkam. Gadis dihadapannya ini benar-benar tulus untuknya, dan dia takkan membohonginya lebih jauh lagi.

“Kamu udah makan?” Tanya Rio.
Shilla tersenyum, “Udah, mama tadi marah banget, karena gak mau buat khawatir aku makan dan minum obat langsung”
“Maaf ya” Ucap Rio rendah sambil mengusap puncak kepala Shilla. Shilla mengangguk kecil, wajahnya sudah menghangat sekarang.
“Ify tadi kecelakaan, gara-gara aku” Jelas Rio, kali ini dia memandang kedepan dengan tatapan menerawang seakan membayangkan kilas-kilas kejadian yang dialaminya tadi. “Aku gak bisa begini terus Shill, aku gak mau ada yang terluka lagi karena aku..” Makin lama suara Rio semakin rendah.
Tidak! Shilla tidak ingin mendengar kelanjutannya. Paling tidak, dia belum siap mendengarnya untuk saat ini.
“Yo” Shilla memotong ucapan Rio yang menggantung.
Rio menoleh.
“BB kamu mati ya? Tadi terakhir aku hubungi no kamu gak aktif” Tanya Shilla mengalihkan pembicaraan secara mulus.
“Ada yang lebih penting dari itu yang aku mau omongin Shill” Sahut Rio.
“Memang ada yang lebih penting selain kamu tau kabar Ify sekarang? Mungkin aja temen-temen kamu lagi nyoba hubungi kamu untuk ngasih tau keadaan ify. Terus kalo BB kamu mati, kamu tau darimana nanti?” Lanjut Shilla mash berusaha keluar dari topik yang hampir dibahas Rio.
Mendadak Rio teringat pesan Alvin yang tidak sempat dibalasnya tadi, sehingga terpaksa membenarkan ucapan Shilla tadi dengan mengeluarkan BB yang sudah tak berdaya dari saku jeansnya lalu menyerahkan ke Shilla.
Shilla menerima BB Rio ditangannya sambil tersenyum.
“Kamu cuci muka dulu gih biar seger, siapa tau pikiran kamu lebih jernih” Ucap Shilla sambil tersenyum.
Tanpa bicara, Rio menyetujui saran Shilla untuk mencuci muka, atau lebih tepatnya menenangkan semua pikiran yang telah memenuhi kepalanya.
Setelah memasang daya pada BB Rio, mendadak Shilla terdiam. Kenyataan ini sangat menohok perasaannya. Perasaan Rio begitu besar kepada Ify, dan sepertinya mendengar kabar Ify sudah cukup penting baginya saat ini. Namun disisi lain dia merasa lega, dapat mengulur sebuah pembicaraan yang tidak harus dia dengar sampai waktu ia siap.

Sebuah lagu luar yang sudah begitu familier ditelinganya, membuyarkan semua lamunan Shilla. Rupanya BB Rio sudah kembali menyala, meski harus tetap dicharge unuk menambahkan dayanya sampai batas maksimal. Shilla menoleh kearah sofa, Rio belum kembali dari toilet. Sementara jeritan dari BB nya masih belum berhenti. Shilla melihat nama penelepon yang masuk tepat saat BB Rio hidup kembali.

AlvinJo’s calling
Shilla memutuskan untuk mengangkatnya. Karena biar bagaimanapun dia juga cemas dengan keadaan Ify yang hampir membuat Rio hancur begitu saja.

“Halo Vin”
“Ha.....” terdengar pekik tertahan. Tak lama, panggilan berakhir.
Shilla terdiam, hanya memandangi BB Rio seakan itu adalah orang yang tiba-tiba memutuskan panggilan. Walaupun hanya sebuah pekikan tertahan, lebih tepatnya omongan yang terputus. Tapi shilla yakin itu bukan suara Alvin, melainkan suara Sivia.

***

Keheningan yang begitu tajam memenuhi ruangan itu. Begitu tenang seperti sewajarnya pada waktu sebelumnya. Perbedaan terletak pada ketegangan yang begitu terasa ditengah-tengah ruangan. Hawa sejuk yang dikeluarkan pendingin ruangan justru lebih menambah ketegangan menjadi sebuah ketenangan yang tidak wajar. Sebuah dehaman dari salah satu yang berkumpul diruangan itu memecahkan sunyi.

Semua pandangan otomatis terfokus kepada pemilik dehaman tersebut, Dokter Tian. Sementara sang pemilik justru berusaha memandang lurus-lurus kepada setiap lawan bicaranya, seolah-olah ada keganjilan yang kasat mata jika luput dari penglihatannya. Aura ketegangan justru semakin terasa.
“Ada apa dok? Jelaskan saja semuanya, jangan ada yang ditutupi. Walaupun kemungkinan terburuk ada, kami akan coba terima.” Ucap Alvin membuka pembicaraan.
Dokter Tian menghela nafas berat, namun tetap tidak mengurangi kekakuan tubuhnya. “Bukan begitu Vin, pasti saya akan menjelaskan semuanya. Siap tidak siap kalian harus mendengarnya.” Dokter Tian berhenti sejenak. “Hanya saja, saya bingung memulai dari mana. Semuanya berlalu cepat, kejadian ini bahkan tidak pernah terlintas sedikitpun di bayangan saya.” Dokter Tia kembali diam. “Gabriel mana Dev?” Tanya Dokter Tian keluar dari topik utama.
Bahu Deva terlihat menurun dari sebelumnya. “Dibawa paksa Papanya” jawabnya kecut.
“Dibawa?” Alvin langsung menoleh. Karena dia memang belum mengetahui kejadiannya. Kemunculan Deva tanpa Gabriel tadi dia pikir hanya sesaat karena mungkin saja mereka tengah berbeda tenpat dan Gabriel akan menyusul kesini setelahnya. Namun, sampai menit telah berganti jam, sosok Gabriel tetap tak terlihat. Alvin bukan tidak menyadari keganjilan ini. Namun tadi pikirannya lebih tersita pada Rio yang terlihat hancur karena kejadian ini.
“Iya, diseret Papanya dari Rumah gue” Lanjut Deva.
“Papanya Gabriel sama kayak Papa kamu Dev” Sahut Dokter Tian.
“Bukan. Saya gak percaya punya Papa begitu.” Ucap Deva kecut.
“Almarhumah Bunda kamu dan kakak kamu yang terbaring disana berusaha terus untuk meyakinkan kalo diantara kamu dan orang yang disebut Papanya Gabriel itu ada pertalian hubungan ayah dan anak. Berusaha terus meyakinkan kalo kamu adalah anak Bunda dari Papanya Gabriel, meyakinkan kamu, bahwa Kamu adalah saudara sekandung dengan Ify dan Gabriel. Tapi kamu sendiri yang justru menolak semua itu? Kamu berpikiran sebaliknya sementara mereka terus mempertahankan kamu?” Perkataan Dokter Evan yang penuh tekanan membuat Deva untuk mencerna semuanya.

“Back to the focus. Waktu kita Cuma sedikit.” Ucap Dokter Evan memecah keheningan.
“Apa maksud dokter ‘Cuma sedikit’” Sahut Alvin menyela percakapan.
“Kita akan bermain dengan waktu Vin. Tadi saya sudah merujuk semua data Ify pada Rumah Sakit di singapore.  Dan baru saja mereka memberi kabar jika mereka sanggup menangani Ify dengan peralatan yang lebih memungkinkan disana.”  Ucap Dokter Evan sambil terfokus pada laptopnya. “Mereka memberi kabar, jika jam 2 pagi malam ini, Ify harus sudah tiba disana dan mereka akan langsung menanganinya.”
“MALAM INI?” Tanya Alvin, Deva dan Ray serentak.
Dokter Evan mengangguk. “Kita tidak mungkin tetap menahannya disini. Semua obat dalam yang kami berikan mungkin menopang rasa sakitnya. Tapi mungkin juga memperparah kondisinya.”
Semua terdiam.
“Keputusan saat ini semua ada dikamu Dev” Lanjut Dokter Tian. “Disini, kamulah satu-satunya anggota keluarga Ify yang bisa memberikan keputusan medis kepada kami semua. Tadi saya sudah menelepon Mama kamu, dia setuju namun ingin semua kembali kepada kamu dan Gabriel. Sedangkan kita semua tau, Gabriel tidak ada disini. Jadi, kamulah satu-satu-satunya orang yang bisa memberikan kami semua keputusan.

Deva terdiam.
Jauh dari Ify dikondisi sulit yang Deva sendiri tidak yakin. Dia tidak pernah sekalipun jauh dari Ify dalam kondisi yang begitu pelik. Mereka tinggal serumah, dimana mereka juga selalu bersekolah disekolah yang sama. Meskipun sering bertengkar karena hal sepele bukan berarti Ify tidak menyayangi Deva dan sebaliknya. Jika salah satu dari mereka pergi berwisata ketempat berbeda pun sudah pasti karena mereka sedang mencari sebuah kesenangan dengan teman-teman mereka. Bukan dikarenakan harus berjuang hidup untuk kesembuhan, seperti saat ini. Dan itu yang membuat Deva tidak tenang dan tidak yakin dengan keputusannya sendiri.

“Kakak kamu begitu kuat Dev, bahkan dia masih bertahan sampai sekarang di kondisi fisiknya yang seperti ini. Jiwanya yang penuh semangat seakan tidak mau berhenti disini. “ Dokter Tian menambahkan. “Kamu harus yakin jika dia bisa bertahan sampai nanti. Kamu harus yakin, kamu salah satu dari orang yang membuatnya bertahan. Karena dengan dirinya sendiri, kita tidak tahu sampai kapan Ify mampu bertahan. Karena kalianlah, orang-orang yang dsekitar Ify yang membuat dia terus berusaha bertahan.”

Salah. Dokter Tian salah besar. Justru karena Ify begitu berpengaruh kepada kami semua, maka kami ada disini. Kami tidak tau jadinya sekarang jika kedepan Ify tidak lagi bersama kami. That’s all because her. That’s All Cause Ify. Kami tidak tau jika bagaimana jadinya jika hanya tau kondisinya dari jauh bahkan tanpa kami bisa melihat wajah tenangnya dan menggenggam tangan yang tidak bisa menggenggam balik tangan kami lagi.

Begitulah kira-kira suara bathin 3 orang yang ada dihadapan Dokter Tian dan Dokter Evan. Namun, menahannya tetap disini sama saja memupuskan kondisi fisik yang tidak bisa diobati oleh semangatnya. Kami tidak bisa begitu egois.

Suasana yang begitu hening menyentakkan Ray terlebih dahulu yang langsung mengusap bahu Deva. Ray menganggukkan kepalanya pelan. Deva memandang Ray ragu lalu mengalihkan pandangannya kepada Alvin yang sama bereaksi seperti Ray.

Deva menunduk, menghela nafas berat untuk memantapkan hatinya. “Lakukan” gumamnya kecil. “Lakukanlah yang terbaik, saya percaya pada kalian” Jelas Deva sambil menatap Dokter Tian dan Dokter Evan lurus.

Kedua Dokter saling berpandangan. Lalu sama-sama menganggukkan kepala pelan seakan dapat membaca pikiran satu sama lain. Selanjutnya Dokter Evan langsung menyodorkan seberkas map yang harus ditandatangani Deva untuk perjanjian tindakan medis. Dan Deva langsung menoreh tinta hitam diatasnya. Setelah itu dikembalikan lagi kepada Dokter Evan.

“Kamu tenang saja Deva, saya berjanji akan melakukan yang terbaik. Bahkan mempertaruhkan jabatan saya sebagai Dokter untuk ini. Saya juga akan turun langsung dalam perawatan Ify selama di Singapore sebagai referensi terbaik. Sedangkan Dokter Evan akan menggantikan saya disini sekaligus membantu kalian memonitor kondisi Ify disana dengan bukti medis yang jelas. Bantu kami semua dengan Doa kalian. Bantu Ify malam ini dengan menyalurkan semangat kalian dan optimisme kehidupan yang pasti sangat berpengaruh pada optimismenya sendiri” Ucap Dokter Tian yang membuat ketiga orang didepannya mengangguk patuh.


***
Setelah keluar dari Ruangan Dokter Evan, Alvin langsung mengeluarkan BB nya untuk menghubungi Rio. Rio harus tau ini sekarang. Rio harus ada disini. Karena satu-satunya semangat yang paling dibutuhkan ify saat ini pasti Rio. Alvin begitu percaya pada itu semua. Kekuatan Cinta. Terdengar sederhana namun memiliki dampak yang luar biasa. Alvin merasakannya. Merasakan pada almarhumah Ibunya, Omanya yang mengurusnya, Olivia adik perempuannya dan juga Sivia kekasihnya.

Alvin begitu hancur ketika ibunya meninggalkannya pada usia dini. Namun Omanya berusaha membangkitkan semangatnya. Ditambah Olivia yang masih lebih kecil darinya saat itu jauh terlihat tegar untuk itu. Lalu datang Sivia yang sifatnya justru bertolak belakang dengannya, namun itulah yang mebuat Alvin nyaman sampai saat ini. Dan itu semua karena sesuatu hal yang mungkin dianggap kuno oleh sebagian orang. Cinta.

Cinta? Ah, Alvin sedikit lupa dengan Papanya saat ini. Salah papanya yang tidak menjaga cintanya untuk mamanya. Malah sibut merajut cinta dengan wanita lain. Apa itu cinta? Entahlah, pikiran Alvin terlalu rumit untuk berpikir saat ini. Alvin kembali menfokuskan dirinya untuk kembali mencoba (ntah untuk yang keberapakali) menghubungi Rio. Namun lagi-lagi hanya suara auto answer yang diterimanya.

Setelah hampir mendekati ruangan khusus untuk perawatan Ify, Alvin dapat menangkap bayangan Sivia yang terduduk sambil menyembunyikan wajahnya. Alvin langsung mempercepat langkahnya untuk menggapai Sivia.

“Kamu kenapa?” Tanya Alvin sambil langsung memeluk Sivia.
Sivia masih menangis dalam pelukkannya.
“Via” Suara alvin lebih melembut.
Sivia mengangkat wajahnya. “Ify bahkan gamau bangun untuk aku” ucapnya tersendat.
Alvin tersenyum miris. “Kamu gak boleh nyerah sayang, kamu harus terus, supaya Ify mau bangun untuk kamu. Untuk kita semua. Kalo kamu berhenti, gimana kalo semangat Ify didalam sana juga berhenti karena gak ada yang menyemangatinya? Kamu sayang dia kan?” Alvin mencoba memberi pengertian. Walaupun dalam hatinya sendirinya ragu. Apa harus Rio? Bathinnya.
Sivia mengangguk, lalu melepaskan dirinya dari Alvin. Alvin tersenyum.
“Kamu kedalem aja ya, aku mau nyoba telepon Rio lagi. Handphonenya kayaknya gak aktif” Ucap Alvin.
“Gantian aja, tadi aku kan udah liat kondisi dia. Pasti kamu mau kan liat kondisi Ify? Biar aku yang telepon Rio dan bilang ke dia” Pinta Sivia.
“Tapi gapake marah-marah yah. Kasian sohibku tuh, kena semprot kamu mulu” Cibir Alvin.
Sivia tertawa. “Aku jamin, kalo aku punya sohib kayak dia bakal aku tendang sampe luar angkasa biar cepet peka”
“Bahaya ya urusan sama kamu” Cengir Alvin.
Sivia nyengiR sambil meraih BB dalam genggaman Alvin. “gabakal aku semprot deh tuh anak. Tapi kalo keadaan urgent, aku gajanji.” Ucap Sivia sambil menaikkan alisnya menggoda.
Alvin tersenyum sambil mengacak puncak kepala Sivia. “Aku kedalem ya”
Anggukan Sivia langsung membuat Alvin melangkahkan kakinya kedalam.
Sivial langsung men-dial nomor Rio yang memang sudah ada log panggilan keluar. Sebuah Nada sambung menyapa indera pendengaran Sivia. Sivia mengernyitkan dahinya, bukannya Alvin tadi bilang HP Rio sepertinya gak aktif? Sedangkan nada sambung yang menggema di telinganya sekarang menandakan jika nomor tersebut aktif dan bisa dihubungi, (tentunya) jika sang pemilik mengangkat telepon.
Suara hening yang hanya sekejap menyadarkan Sivia jika telepon telah disambungkan. Namun bukannya suara bariton (yang pastinya) pemilik telepon genggam, Sivia justru mendengar suara sopran yang begitu dikenalnya.
“Halo Vin” / “Ha..” Sivia langsung membungkam dan menekan tombol merah disebelah kanan untuk memutuskan sambungan.
Sivia meremas BB Alvin dalam genggamannya. Kekesalan, kesedihan sudah bercampur dalam benaknya sekarang. Pikirannya sekarang meruntut kejadian yang terjadi pada hari ini.

Tadi pagi Ify pergi bersama Rio untuk lomba yang mewakili sekolah mereka, pulangnya mereka kecelakaan dikarenakan mobil Rio menabrak pohon dan Ify terjepit disana. Rio tadi menunggui Ify sampai akhirnya didamprat dirinya dan juga Deva. Lalu Rio pergi entah kemana. Alvin mencoba menghubungi HP Rio namun ternyata tidak aktif dan ketika dirinya mencoba menghubungi HP Rio yang ternyata sudah aktif lagi. Namun yang mengangkat bukan lah Rio. Melainkan suara Shilla yang terdengar disana. Kesimpulannya adalah, sekarang Rio sedang bersama Shilla. Disaat sahabatnya Ify berjuang antara hidup dan mati karena kecelakaan bersama Rio tadi dengan sebelah ginjal yang sudah diberikan kepada Shilla. sekarang mereka berdua justru tidak ada disini dan malah ada ditempat lain berdua.

Krakkk…
BB Alvin dalam genggaman Sivia akhirnya menjadi sasaran menghantam dinding yang ada dihadapannya. “Sialan.. sialan.. sialan..” maki Sivia utnuk mengungkap kemarahannya saat ini. Lalu kembali menyerah pada air matanya yang bergulir begitu saja.

***

Alvin melangkahkan kakinya mendekati Ify. Sudah ada Deva dan Ray yang masuk duluan. Tubuh Ify yang memang tergolong kecil semakin terlihat rapuh dengan alat-alat medis yang dipasang ditubuhnya untuk menunjang kehidupannya sekarang. Mata yang biasa memandang penuh semangat kini justru terkatup dengan tenangnya. Tidak ada lagi seringai jahil yang justru lebih sering terlihat dari pada senyum manisnya.

“Heh kebo! Bangun kek loe. Tidur tuh liat-liat tempat dikit kenapa?” Cerocos Deva sambil menghempaskan tangan Ify pelan.
“Mau-maunya loe tidur dirumah sakit sambil dililit kabel gini” Lanjutnya lagi.
“Sebagai adek lo yang begitu ganteng gini. Loe tuh keliatan cupu tau tidur dengan posisi gini” Mata Deva mulai memanas.
“Kebo behellll!! Sampe kapan coba gue harus terus bangunin elo?” Suara Deva menyerak.
Ray mengusap bahu Deva pelan. Alvin hanya bisa memandang semuanya. Belum pernah dia menebak semua akan seperti ini. Bahkan tidak pernah ada dalam bayangannya sendiri.
“Kak….Please bangun…. Apa loe gak ada niat sedikitpun untuk bangun dan ngebales semua omongan gue?” Suara Deva makin melemah, wajahnya ia telungkupkan pada tangan Ify.

Ray masih mengusap punggung Deva, berharap mampu memberi kekuatan. Karena sekarang pun semua kata-katanya hanya mampu sampai dipangkal tenggorokan. Dan ntah kenapa sekarang ia merasa posisinya serba salah. Bagaimanapun Rio kakaknya, orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Tapi ia tidak bisa menyalahkan begitu saja. Dari awal Ify yang mau semuanya tertutupi menjadi sebuah rahasia.

Sementara pikiran Alvin tidak jauh semrawut daripada dua orang dihadapannya. Bagaimanapun ia Pernah merasakan menjadi seorang Rio maupun Gabriel sekarang. Memikirkan 2 orang yang tidak ada ditempat saat ini membuat pikirannya makin ruwet. Bagaimana jika nanti Ify sempat sadar dan tidak ada kedua orang itu? Apa jawaban yang akan menjadi alasan?
Dulu dia pernah bagaimana merasakan apa yang dirasakan Rio, sesuatu yang tidak diketahui orang lain, bahkan Sivia sampai ini. Dia jatuh cinta kepada gadis yang berbaring tenang dihadapannya kini. Alvin begitu kagum sekaligus menyayanginya. Hingga adanya perasaan Rio yang membungkam semuanya. Lalu kehadiran Sivia yang membawa kebahagiaan tersendiri, membuat posisi Alvin menjadi sama seperti Gabriel, menjadi kakak yang tetap bisa menyayangi dan kagum terhadap adiknya.

“Krakkk” Bunyi yang tidak begitu keras, namun tetap menyita perhatian Alvin yang langsung membuyarkan semua pikirannya. Pandangan Alvin langsung bertubrukkan dengan pandangan Ray sementara Deva yang masih menelungkupkan wajahnya, tanda tidak begitu ambil peduli.
“Dari luar” bisik Ray sambil menggedikkan bahunya kearah pintu.
“Via” Alvin langsung melesat kearah pintu keluar.

***

Sesampainya diluar, Alvin langsung menemukan Via yang justru terduduk dilantai sambil menelungkupkan wajahnya sambil meracau tak jelas dan menghentakkan genggamannya kelantai yang dingin. Seperti berharap dapat mengeluarkan semua emosinya disana.
Sementara tak jauh dari tempat Sivia terduduk, BB Alvin tergeletak begitu sembarang dengan battery yang sudah mencuat dari tempatnya. Namun Alvin tak begitu ambil peduli, Alvin langsung menggapai kedua tangan Sivia untuk tidak lagi memukul lantai yang dingin namun begitu keras.
"Sialan.. sialan.. sialan..” Maki Sivia.
“Vi kamu kenapa?” Tanya Alvin sambil berusaha memeluk Sivia menenangkan Gadis itu.
Sivia memandang Alvin tajam. Menghempas kasar tangan Alvin yang menggenggam.
“Sivia..” bujuk Alvin lembut sambil berusaha membelai rambut Sivia. Namun Sivia langsung menghindar.
“Kamu kenapa?” Tanya Alvin bingung.
“Sohib yang loe bela-belain tuh beneran brengsek yah?” Jelas Sivia sambil menunjuk Alvin. “Sahabat gue didalem berjuang mati-matian untuk hidupnya sendiri loe pikir karna siapa?” Tekan Sivia.
Alvin mencoba tenang agar tidak terpancing emosi Sivia. Dan mencoba menebak semua yang terjadi.
“Kondisi dia kritis begitu bukan kemauan dia sendiri.” Ucap Sivia sambil menunjuk pintu dimana tempat Ify dirawat.
“Sohib loe yang bikin dia celaka, dan temen gue yang gak tau terima kasih, dengan ginjalnya bikin memperparah keadaan. Dan mereka gak ada disini satupun untuk sekedar tau kondisi dia…”
“Rio dimana Vi?” Potong Alvin begitu mulai menangkap sesuatu.
“Gue kurang yakin dimana, tapi dia lagi sama Shilla. Dan karena Shilla gaboleh keluar malem kecuali sama d’V-Mile udah pasti sekarang mereka dirumahnya.” Jelas Sivia tanpa mengurangi penekanan disetiap katanya.
Mendadak rahang Alvin mengeras. Lalu menarik pergelangan tangan Sivia.”Kita kesana, sekar….”
Mendadak pintu Ruang inap Ify terbuka. “Kak Ify sadar kak” Suara Ray memutus ucapan Alvin.
Sivia menarik tangannya dari genggaman Alvin. “Mereka bisa nunggu, tapi Ify ngga” Suara Sivia langsung diikuti gerakkannya masuk kedalam ruangan.

***

Ify membuka matanya perlahan. Ruangan yang didominasi warna putih langsung begitu mnyilaukan matanya. Indera pendengarannya bisa mendengar jelas jika ada langkah terburu-buru mendekatinya.
“Fy..” Ntah suara siapa yang memanggilnya sekarang.
Ify mencoba menggerakan anggota tubuhnya. “nggghhh..” terdengar ringisan kecil yang Ify tidak yakin dari mulutnya sendiri. Seluruh anggota badannya terasa sakit.
“jangan banyak bergerak dulu Fy, kondisi kamu tidak memungkinkan untuk melakukan aktifitas, meski itu hanya membalikkan tangan” Nasihat dari suara yang dikenalnya sebagi Dokter Tian.
Lalu yang berikutnya Ify merasakan badannya dipaksa bergerak untuk pemeriksaan.
“Kondisinya saya rasa lumayan stabil untuk saat ini. Tapi kita tidak tahu akan bertahan sampai kapan” Jelas Dokter Evan.
“Kami tinggal dulu untuk persiapan nanti malam.” Ucap Dokter Tian sambil berjalan meninggalkan ruangan diikuti Dokter Evan.

Mata Ify mulai terbiasa untuk menerima cahaya dalam ruangan tersebut. Dilihatnya satu persatu orang-orang disekelilingnya. Deva, Ray, Alvin, Sivia.
Mata Ify kembali berpendar kesekelilingnya. Orang yang justru diharapkannya ada disaat dia membuka mata malah tidak ada. Ify menelan kekecewaannya dengan tersenyum tipis. Alvin dapat menangkap kekecewaan tersebut.
“Rio gak ada Fy” Ucapnya pelan.
Ify tersenyum. “Gue nyari kak Gabriel kok” Sahut Ify mengalihkan pembicaraan dengan mulus. Ify tahu, ucapan Alvin tidak sepenuhnya berbohong. Tapi dia tak ingin mendengar kelanjutan kebohongan yang akan diucapkan nanti.
“Kak Gabriel mana?” Tanya Ify lagi. Sekelilingnya terdiam tak ada yang menjawab.
Mendadak perasaan Ify dicekam rasa takut. “ngghh..” tubuhnya bereaksi diluar kendalinya. Rasa sakit menderanya.
“Kak Ify” / “Fy...” “Fy, loe kenapa?” Sahut-sahutan dari orang disekelilingnya membuat Ify langsung mengendalikan rasa sakitnya. “Gue gak papa” Jawab Ify sambil tersenyum kecil.
“Gue panggil Dokter Tian ya?” Tawar Alvin.
“Gak perlu Vin. Btw, Gabriel mana?” Tanya Ify ulang.
Semua kembali terdiam. Tidak tahu harus menjawab. Keheningan menyelimuti mereka sekarang. Sementara Ify berusaha mati-matian untuk mengendalikan perasaannya sekarang.
Disaat Deva ingin angkat bicara, mendadak ada yang membuka pintu.
“Gue disini Fy” Jawab Gabriel dengan nafas terengah.

***

Cakka memarkirkan cagiva merahnya dibelakang Alphard Hitam yang menghalangi jalan masuk ke Rumah Ify. Niatnya ingin meminjam buku gitar klasik yang dimiliki Ify untuk referensi bermusiknya. Namun ketika sampai digerbang, Cakka mendengar keributan dai dalam rumah. Dengan sikap penuh kewaspadaan Cakka langsung menyembunyikan dirinya. Namun begitu mendengar seretan langkah keluar, Cakka langsung buru-buru kearah cagivanya dan langsung menjalankan kearah samping, bertingkah seperti orang lewat. Helm fullface menutupi wajahnya dengan sempurna tanpa menimbulkan kecurigaan. Karenanya setelah berhasil memaksa orang yang diseret tadi masuk Alphard tersebut. Badan mobil langsung meninggalkan jalan.

“Gabriel” Gumamnya kecil begitu menangkap dari sudut matanya, orang yang dipaksa masuk mobil. Cakka langsung menstarter cagivanya dan mulai mengikuti mobil Alphard dalam jarak aman dan tidak menucurigakan.

Namun ditengah jalan mendadak jalannya mobil terlihat tidak terkendali, jalannya mulai oleng kekiri bahkan kanan, jalanan lawan arah. Cakka langsung mengerem cagivanya, karena jika terjadi sesuatu yang berbahaya, dia pasti bisa langsung menjadi korban. Sebuah mobil pick-up langsung menyalip dari sebelah kanannya. Cakka mempunyai firasat tidak baik untuk ini. Tidak lama terdengar bunyi benturan yang cukup keras.

BRAKKKK..

Cakka langsung melajukan cagivanya kembali kearah suara. Sebuah jaguar hitam terlihat ringsek menabrak pohon dipinggir jalan. Mobil pick up yang menyalipnya sudah pergi menjauh, bahkan menyalip Alphard hitam yang membawa Gabriel. Mobil Alphard tersebut bahkan sudah kembali berjalan tenang seperti tidak terjadi apapun. Kini Cakka berada didua pilihan.Menyelamatkan korban yang baru saja kecelakaan atau tetap mengikuti Gabriel. Namun begitu melihat pintu mobil Jaguar terbuka, Cakka dapat melihat sang pengemudi terlihat baik-baik saja yang terlihat langsung mengecek bagian kiri mobil. Cakka tidak terlalu memperhatikan sang pengemudi dikarenakan pikirannya terpecah menjadi 2 bagian, blm lagi Alphard hitam yang semakin jauh dari pandangan. Tanpa pikir panjang lagi, Cakka langsung menstarter cagivanya kembali untuk mengejar Alphard hitam yang membawa Gabriel.

***

Cakka memarkirkan cagivanya tidak jauh dari gerbang rumah yang dimasuki Alphard hitam yang diikutinya sedari tadi, matanya memandang penuh waspada sambil menunggu suasana lebih tenang. Cakka menajamkan pendengarannya, tidak lag terdengar suara gaduh seprti dirumah Ify. Ada kemungkinan Gabriel mulai pasrah atau mungkin juga mereka mebungkam Gabriel dengan membiusnya, mengingat kejadian mobil yang tidak terkendali dan hampir membahayakan nyawa mereka semua. Dan sudah dipastikan itu ulah Gabriel.

Mengingat kemungkinan terkahir membuat Cakka langsung tidak tenang. Apa sebenarnya niat kelompok tadi menculik Gabriel? Siapa mereka? Cakka tidak begitu mengenal Gabriel dengan baik. Murid pindahan yang menjadi teman dekatnya namun bisa dibilang lebih pendiam daripada Rio dan Alvin. Apa motif sampai mereka harus menyeret Gabriel bahkan tidak mempedulikan orang lain yang celaka karena mereka?

Perlahan Cakka berjalan kearah gerbang, mengendap dengan sikap penuh siaga. Ternyata tidak ada penjaga dekat Gerbang. Mungkin mereka menurunkan kewaspadaan di perumahan sepi ini karena kedatangan sang Tuan Rumah.

Karena didepan pintu rumah masih terlihat ramai. Cakka memutuskan menyembunyikan diri disemak-semak yang tumbuh rimbun dihalaman bergaya mediterania ini.

‘Mereka gak mungkin penculik. Apalagi dengan rumah mewah kayak gini. Rumah siapa ini? Siapa Gabriel sebenarnya?’ Bathin Cakka. Cakka kembali merunduk begitu ada orang yang sepertinya satpam gerbang melewatinya. Cakka melihat kearah pintu rumah yang sudah terlihat sepi.

‘Aman’ Bathinnya yang langsung berjalan dengan agak membungkuk untuk mendekati pintu rumah. Cakka memutar handle pintu dan mencoba mendorongnya. ‘Gotcha!’ tidak terkunci, Cakka langsung meningkatkan kewaspadaannya. Benar saja, begitu pintu sudah terbuka, langsung ada 5 orang berbadan lebih besar darinya menghadang.

“Ada tikus kecil rupanya” Ucap seseorang yang paling besar diantara mereka.

Cakka langsung menegapkan badan. Mata yang biasa penuh dengan seringai jahil berubah tajam dan berbahaya. Kewaspadaannya kini benar-benar meningkat drastis. Ini saatnya membuktikan diri jika ia pantas menyandang jabatan sebagai Ketua Klub Karate di SMA Cagvairs.

“Gue Cuma nyari temen gue” Ucapnya dengan suara rendah namun penuh penekanan.
“Tidak diajari cara etika bertamu yang baik rupanya” Ucap salah satu dari 5 orang dihadapannya.
“Iya, makanya saya langsung masuk” Sahut Cakka dengan nekat langsung menerobos 5 orang dihadapannya. Namun langsung sigap dihadang salah satunya. Tanpa pikir panjang Cakka langsung menghantamkan bogemnya kearah muka orang tadi. Dua orang yang masih bebas langsung bersiap memegangi Cakka, dengan sigap pula Cakka langsung menyikut rusuk keduanya. Lalu dengan gerakan memutar Cakka langsung mengarahkan tendangan kearah 2 yang tersisa tepat diulu hatinya. Dengan gerakan yang simple namun tetap terkena bagian vital cukup melumpuhkan 5 orang lawannya. Dengan gerakan cepat Cakka langsung berlari kearah tangga menuju atas karena mendengar keributan disana.

***

Cakka melihat Gabriel tengah beradu argument dengan seorang pria yang tidak dikenalnya. Sepertinya kehadirannya juga tidak disadari kedua orang ini.
“Papa merasa diinjak-injak? Kalo iya, Iel ucapkan selamat karena pada masa berjayanya Papa saat ini orang yang pertama kali menginjak-injak Papa adalah anak Papa sendiri. Iel” Ucap Gabriel tanpa rasa gentar.
Cakka melihat Pria itu bersiap melayangkan tangannya kearah Gabriel.
“Kamuu...”
 “BERHENTIII!!”
Puncak kemarahan Tn. Damanik tertelan begitu saja saat ada suara yang seakan mentitahnya untuk berhenti. Baik Tn. Damanik maupun Gabriel sendiri sudah menoleh kearah sang pemilik suara.
“Cakka!!!” seru Gabriel tak percaya.
Cakka mulai berjalan mendekati Gabriel, dan Gabriel sendiri masih setangah tak percaya memandang Cakka.
“Yel” tegur Cakka sambil menepuk pundak Gabriel lalu mengalihkan pandangannya pada sosok Tn. Damanik.
“Gue tadi bermaksud kerumah Ify untuk minjem buku musik untuk gitar klasik yang dia punya, tapi gue malah liat loe ditarik paksa masuk mobil jadi gue ngikutin loe sampai sini dan memaksa masuk”
“PENGAWAL!” Panggil Tn. Damanik marah.
“udah gue bikin tepar dibawah” Sahut Cakka santai.
Rahang Tn. Damanik mengeras, tidak percaya bahwa semua pengawal kepercayaannya tunduk pada bocah yang tidak dikenalnya.
Bukannya mendengarkan, mendadak bayangan Ify, Rio dan Mobil mereka yang menhantam pohon  melintas dikepala Gabriel bagai potongan film yang berputar cepat, membuatnya sedikit terhuyung sambil memegangi kepalanya.
Sadar dengan keolengan tubuh Gabriel, Cakka langsung merangkulnya untuk menopang berat badan Gabriel. “ Yel, loe kenapa?” Tanya Cakka panik.
“Ify Kka...... Ify..... Rio.... mereka........ Kka tolong...” ucap Gabriel terbata.
Cakka menjadi bingung sendiri karena tidak mengerti maksud Gabriel. “Me.. mereka kenapa Yel?” Tanya Cakka ikut panik sendiri.
Tn. Damanik yang mendengar nama putrinya disebut menjadi terdiam sendiri, menunggu apa yang sebenarnya terjadi.
“Mobil mereka nabrak pohon Kka. Mobil tadi.... tikungan....” Kata-kata Gabriel begitu berantakan sambil menggoncang bahu Cakka.
Cakka berusaha menenangkan dirinya sendiri, mencerna setiap kata yang meluncur dari mulut Gabriel dan mengartikannya sendiri.
Sementara Tn. Damanik langsung mematung ditempatnya, langsung mengerti semua penjelasan Gabriel yang berantakan.
“Jangan bilang jaguar yang nabrak pohon tadi adalah mobil Rio” Ucap Cakka setelah memahami semua.
“Iya, sama Ify” hanya itu yang dapat Gabriel ucapkan.
“APAA???” Cakka kaget, sambil berusaha mengingat badan mobil sebelah kiri ringsek berat dikarenakan menabrak pohon. “Kalo Ify didalemnya, ada kemungkinan… ada kemungkinan..” Cakka mendadak kehilangan kata-kata. Semua bayangan buruk memenuhi benaknya.
“Kenapa Kka” desak Gabriel.
“Gue tadi liat pengemudinya turun yel, tapi gue gak ngeh itu Rio karena banyak kepulan asap. Kalo Rio yang nyetir, otomatis Ify ada dikursi penumpang samping kirinya. Dan tadi gue sempet liat kalo badan mobil sebelah kiri depan ringsek berat. Berarti ify…” Tanpa Cakka harus melanjutkan kata-katanya Gabriel langsung memahami akhirnya. Gabriel jatuh terduduk tanpa sanggahan Cakka. ‘Ini semua ulahnya, ini semua ulahnya! Seandainya ia tadi lebih tenang’ Sesal Gabriel.
Sementara Tn. Damanik tercenung ditempatnya sendiri. Namun gengsi yang tinggi masih mengalahkan rasa khawatir terhadap nasib anak perempuan satusatunya. Hingga dia tetap bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Yel..” Panggil Cakka sambil menepuk pundak Gabriel. “Jangan salahin diri loe” Hibur Cakka sambil meremas pundaknya.
Gabriel mengangkat pandangannya. “Kita kesana sekarang Kka, waktu kita sedikit.” Ucap Gabriel yang langsung berdiri.
“Seperti janji Iel tadi. Iel akan kembali pada papa saat semuanya selesai” Ucap Gabriel dengan suara rendah dan langsung berlari menuruni diikuti Cakka.

***

“Yel” Panggil Cakka.
“Yel”
Gabriel masih tidak ambil peduli, hanya ify yang ada dipikirannya sekarang.
“Yel” Cakka langsung menarik  pundak Gabriel yang tengah berjalan dengan langkah tergesa didepannya.
Sekarang mereka tengah menyusuri koridor rumah sakit yang pasti menjadi tempat dimana Ify dirawat.
“Apaan si Kka” Tanya Gabriel berusaha sabar.
“Gue gak ngerti” Sahut cakka.
“Please jangan sekarang” Ucap Gabriel sambil melanjutkan langkahnya.
“Kenapa? Apa yang sebenernya terjadi?” Kejar Cakka.
“Kka!!” Ucap Gabriel tegas yang langsung memutar tubuhnya. “Gue bilang nanti, dan gue gak akan melanggar itu. Sekarang adek gue lagi sekarat karena gue, gak mungkin gue bisa cerita-cerita sama loe dengan santai tanpa tau keadaannya” Bentak Gabriel.
Cakka terdiam. “Adek  loe?” Hanya dua kata yang keluar dari mulutnya.
“Iya, adek kembar gue, yang tadi adalah bokap gue” Sahut Gabriel yang terus berjalan.
Kali ini cakka tidak bertanya lagi. Hanya mengikuti kemana Gabriel melangkah.

“Dokter Evan” Suara Gabriel memecah keheningan mereka. Seorang pria berjas putih yang dikenal Cakka sebagai Dokter yang menangani operasi Shilla terlihat kaget dengan kedatangan Gabriel.

“Gabriel? Kata Deva…”
“Ify dimana?” Ucapan Gabriel memutus omongan Dokter Evan.
“Kamar biasa, sepertinya dia mencari kamu juga” Jawab Dokter Evan
Gabriel mengangguk dan langsung berlari keruangan yang dimaksud Dokter Evan. Ruangan khusus pada saat Ify dirawat setelah operasi transpalasi ginjalnya. Ketika pintu ruangan sudah terbingkai matanya, Gabriel langsung mempercepat langkah dan membuka pintu.

“Gue disini Fy” Ucap Gabriel dengan nafas terengah.
Semua yang ada didalam ruangan langsung menoleh kearah pintu.
“Iel” / “Kak Iel”
“Cakka??” Sahut Alvin begitu melihat sosok dibelakang Gabriel. Cakka mengangguk.
Gabriel langsung menggelengkan kepalanya cepat. Memberi isyarat agar tidak membicarakan sesuatu yang tejadi padanya dihadapan Ify. Semua membungkam. Gabriel menyeret langkahnya kearah Ify.
“Gimana keadaan loe?” Tanya Gabriel lembut sambil membelai rambut Ify.
Ify mengernyit sedikit, rasa nyeri menderanya, dan Gabriel menangkap. Ya Tuhan.. seberapa parah keadaan adiknya sekarang?
“Maaf” Ucap Gabriel menyesal.
“Bukan salah elo kok” Ucap Ify lemah, meski bingung dengan ucapan Gabriel.
“Salah gue Fy” Ucap Gabriel sambil menundukkan kepalanya.
“Kalo emang loe salah, gue minta jangan salahin diri loe sendiri untuk dapat maaf dari gue” Sahut Ify sambil tersenyum.
Gabriel memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafas untuk melegakan paru-parunya dan mengangguk pelan.
“Malam ini Ify harus terbang ke Singapore untuk perawatan lebih lanjut. Loe dating disaat yang tepat Yel.” Jelas Alvin.
Gabriel menoleh kearah Alvin menuntut penjelasan lebih.
Alvin menggeleng lemah, tidak mampu menjelaskan apa yang tadi didengar dari mulut Dokter Tian dan Dokter Evan.
Ify menutup matanya melihat reaksi Alvin. Separah apa keadaannya? Jika memang ini saat terakhir Ify hanya ingin bersama semuanya, tidak disana yang hanya sendirian. Matanya terbuka, menatap satu persatu orang yang terus didekatnya. Ingin berusaha menggapai meraka semua namun keadaannya tidak memungkinkan. Secepat inikah?

***

TO BE CONTINUE ON PART 39 =))

Wahhaaahhaaahh *emaaptrisilkhilap.
Udah yaa utangnyaa :D
Teruntuk yang terkhusus Ibu Pelly , gue udah post TACI yee. Sooo?? Gue dapet Novel lu gratis yaa. Besok kuisnya gue tuangkan dalam bentuk catatan aja ;;)

Nah buat RFM & ICL yang mau order kumpulan cerpen dari author RFM bisa order di @anascania & @MFabray_
Judul bukunya Listen to (My) Heart harganya sekitar Rp 70.000
Penulisnya adalah @anascania @niyaaarasyied @shasmawan @MFabray_ @emeurmp @nahrasyied @shiwi_NRG @Ieerrma_D @Shellysvtr_
Buat yang gak punya duit, bisa ikut kuisnya yang berhadiah buku gratis. Cek Fav @anascania deh. Kuisnya gampang lho. Yuk diramaikann ;)

Sebelumnya, Happy #LOV3thRFM semuanyaaa. semoga wish wish kalian terkabul yaa ;)
Happy birthday juga buat pak @riostevadit . semoga cepet peka ya pak ~
Happy anniv buat twitter ibu @ifyalyssa juga, semoga makin rajin bales mention kita pada wkwkw

Balik ke topic ya, thanks yang udah setia sama cerbung ini. Mohon kritik dan saran untuk kestabilan kelanjutan cerbung ini ;) ayo nih mumpung saya lagi semangat nulis. :D.
Jangan lupa tinggalin jejak ya, jangan jadi pembaca gelap, maap gak ada system tag biar adil.
Sekali, thanks so much my readerrsss :* ({{{{{}}}}})

jangan lupa difollow yak blog ane nya :*

Much Love, @tri_susilowati